Salah satu industri yang cepat “menyambar” popularitas stand-up comedy adalah televisi. Dan ketika acara stand-up comedy diboyong untuk ditampilkan di layar kaca, penyesuaian-penyesuaian mau tidak mau harus mengikuti apa yang kita kenal sebagai “kebijakan dunia televisi”.
Komika yang muncul di televisi dihadapkan bukan hanya pada batasan materi yang terkait dengan tabu-tabu SARA, seks, kesopanan, kritik penguasa, melainkan juga dihadapkan pada penyesuaian materi agar sesuai dengan target audience yang dirancang penyelenggara program.
Ketika acara stand-up comedy di televisi kemudian berkembang dengan salah satu alternatif acaranya adalah ajang kompetisi pencarian bakat, maka konsep “idol-idolan” pun kita tahu memang sangat identik dengan target audiens remaja.
Trend Komika Muda
Ketika kemudian stand-up comedy benar-benar menjadi sebuah gelombang baru di masyarakat, tentu saja tren yang tercipta menarik banyak penggiat untuk ikut terjun ke dunia stand-up comedy. Dan karena memang idola yang muncul sebagai pelopor terlihat rata-rata masih berusia muda (atau paling tidak kalaupun sudah cukup tua penampilannya terlihat muda), maka gelombang masyarakat yang berlomba-lomba menjadi Komika pun rata-rata didominasi oleh anak muda.
Tentu saja ketika kemudian seorang Komika mencoba untuk melahirkan bit-bitnya, usia, wawasan dan concern (perhatian) terhadap isu-isu publik yang menjadi sumber keresahan untuk menciptakan bitnya akan lebih didominasi material yang dekat dengan kehidupannya sendiri maupun lingkungannya, atau dalam kata yang singkat, joke-nya ya akan bicara tentang isu anak remaja.
Akumulasi: Terjebak dalam Pasar yang Tercipta
Beberapa faktor di atas -dan mungkin faktor lainnya juga seperti persoalan teknis, tingkat kesulitan, keluasan wawasan untuk menciptakan bit- pada akhirnya kemudian seakan menciptakan “jebakan Betmen” tersendiri untuk para penggiat dunia stand-up comedy Indonesia.
Rata-rata Komika terjebak untuk mengakomodasi pasar target audiens yang tersedia. Dalam aktivitas saya berkecimpung di salah satu komunitas regional, sering kali saya melihat komika-komika menekankan pentingnya respons audiens yang rata-rata masih usia remaja ketika mencari “bantingan” untuk punchline-nya. Jadi, tidak lagi membentuk bit dalam perspektif argumentasi apa yang sebetulnya hendak disampaikan ke publik, tapi terfokus pada mencari bantingan apa yang bisa membuat penonton merespons bit-nya dengan tertawa.
Dan ketika pola demikian terjadi, akibatnya kemudian Komika tidak terpacu untuk menciptakan joke-joke yang bisa mengantarkan pemikiran-pemikiran yang cukup dalam terhadap suatu fenomena. Segala hal bisa diangkat menjadi materi, karena dibanting dalam punchline-nya pun dalam pola yang sederhana. “Yang penting lucu” menjadi jurus baku, dan pada gilirannya “mau menyampaikan apa”, sudah tidak menjadi penting lagi bagi seorang Komika.
Salah satu dampak dari hal ini adalah seperti apa yang telah diuraikan pada awal tulisan ini. Dunia stand-up comedy Indonesia di satu sisi cukup sukses untuk menarik dan mengikat target pasar remaja dan kaum muda usia, tapi seperti gagap untuk dapat memenuhi ekspektasi dari kalangan yang lebih dewasa dan menuntut joke-joke yang lebih berkualitas “dewasa”.