Mohon tunggu...
D Asikin
D Asikin Mohon Tunggu... Wiraswasta - hobi menulis

menulis sejak usia muda

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Memang Susah Mengolah Dana Jemaah

1 Juni 2022   20:42 Diperbarui: 1 Juni 2022   20:51 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anggota komisi 8 DPR Bukhari Yusuf sangat khawatir pada keberlanjutan  pengelolaan dana haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Dia pula yang mengibaratkan dana haji itu ibarat ekor tikus.  Dari besar mengecil terus mengecil, lama lama hilang sama sekali.

Ketua BPKH Anggito Abimanyu tak berani tegas  membantah sinyalemen politisi PKS itu. Setengah bergumam ia justru menggambarkan situasi yang sedang dihadapi. Pesimistis juga ternyata.

Katanya dalam dua tahun ini (2020 dan 2021) jumlah pendaftar berkurang 50 %. Katanya, tahun 2019 masih 710 ribu, sekarang hanya 355 ribu.

Selain itu banyak JCH yang membatalkan dan menarik dananya. Dana  itu sudah ditransfer ke virtual account mereka.

Sejak awal, sejak diresmikan tahun 2017, memang banyak orang tak begitu yaqin. BPKH disebut mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden tapi gerak langkahnya dibatasi. Ini tidak sejalan dengan tugasnya yang harus mengembangkan dana itu untuk kesejahteraan para JCH. Dan jangan merugi. Kalau rugi mereka bisa dituntut. Ini mah seperti orang  disuruh lari  kencang dengan  kaki diikat atuh.

Rantai yang membelit kaki  mereka itu  antara lain prinsip syari'ah dan nirlaba. Di Indonesia, sistim syariah itu masih belum diminati masyarakat luas. Maklum sudah beratus tahun sejak jaman colonial, perdagangan dan perbankan kita sudah nyaman dengan sistim  konvensional.

Begitu juga dengan prinsip nirlaba. Apa  namanya orang dagang tak berharap untung ? Apa lagi kalau rugi diancam  sanksi.  Ini mah bukan main main lagi. Lawakan Srimulat kali.

Sangat mungkin kontradiksi itu membuat kesan pengelolaan keuangan haji oleh BPKH  tidak transparan dan tidak  akuntabel. Karena itu banyak desakan agar BPKH diaudit. Teriakan Itu antara lain datang dari  Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. Kecurigaan publik lebih terdengar lantang pasca menteri agama membatalkan haji tahun 2021. Sampai sampai merebak tagar "audit dana haji".

Ada isu yang berkembang, haji Indonesia tidak bisa berangkat karena Indonesia punya utang kepada sejumlah mitra bisnis di Saudi Arabia. Ada juga isu dana haji dipakai membiayai proyek infra struktur.

Semua isu isu dibantah baik oleh Kemenag maupun juga oleh BPKH. Anggito menyebut setiap tahun BPKH diaudit BPK. Hasilnya selalu WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). 

Tapi soal WTP itu ditepis Mustolih Siradj. Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengaku telah membuka wibesite BPK maupun BPKH, tidak ada itu. Mitolih juga telah mencoba membuktikan keterangan Anggito tentang pengiriman hasil pemanfaatan dana kepada virtual account para jemaah.  Menyangkut virtual account dia sendiri katanya ternyata error.

Sebenarnya, kata Mustolih, tuduhan yang bertolak dari keresahan masyarakat terutama para JCH tidak akan muncul jika BPKH bersikap terbuka dan akuntabel. Mengumumkan secara periodik apa yang dikerjakan,  dihasilkan dan diberikan hak para JCH.

Lalu ada pula pertanyaan yang masih menggantung yang belum terjawab secara tegas dan masuk akal. Sekarang ini berapa sebenarnya dana yang ada dalam dekapan BPKH ? Yang publik tahu pada awal mereka dilantik katanya dana itu ada sekitar Rp. 90 trilyun.  Dana itu berasal dari Dana Abadi Ummat dan setoran awal para JCH. Lalu tahun 2019 katanya sudah mendekati angka 135 trilyun.

Kabar kabur ini meragukan. Karena kalau benar sekarang sudah  ada pendaftar 5 juta dan mereka sudah membayar uang muka 25 juta, dihitung hitung itu saja sudah sekitar 125 trilyun. BPKH memang setiap tahun menanggung kekurangan biaya yang dikenakan kepada para JCH. Kekurangan itu sekitar 40 juta setiap jemaah. Dalam keadaan normal, dengan jumlah 220 ribu JCH, maka jumlah dana yang ditanggung BPKH hanya sekitar 8,8 trilyun.

Sepanjang tidak ada penjelasan yang  transparan dan akuntabel maka jangan disalahkan kalau masyarakat tetap waswas  bin curiga.

Jangan jangan benar tiori Bukhari Yusuf tentang ekor tikus itu. Awalnya besar, mengecil terus mengecil lama lama hilang tuh. Alamaaaaak!!!.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun