Covid-19Â
Setelah drama herpes usai, batuk-batuk tetep berlanjut. Tapi ya itu belum sampai taraf mengganggu, tidak ada gejala lain dan tidak berefek dengan kondisi tubuh, dalam arti tetap fit dan tetap bisa jogging tanpa ngerasa capek ataupun ngos-ngosan.
Nah saat bulan puasa di tahun 2021, batuk mulai mengganggu, frekuensinya mulai sering dan berat badan turun terus. Padahal biasanya aku kalau puasa berat badan malah naik, karena malamnya suka makan ini itu. (Jangan tanya apaan makanan ini itu? Yah pokoknya ini itu deh.)
Akhirnya aku berencana berobat sehabis lebaran. Karena kepotong kunjungan sana-sini pas lebaran, jadinya suami bilang berobat awal Juni 2021 aja, pas sudah santai. Dan sebelum jadwal Vaksin Dosis I Covid-19, yang menurut jadwal di RT, sekitar minggu kedua bulan Juni.
Etapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rencana tinggal rencana, tanggal 4 Juni 2021 di kantor suami, ada temannya yang positif Covid-19, akhirnya semua diswab. Hasilnya 15 orang positif Covid-19, termasuk suami. Emang agak kesel sih, temennya yang bawa virus ke kantor itu habis mudik lebaran, pas masuk kantor ditanya sudah swab belum, jawabnya sudah dan hasilnya negatif. Ternyata dia bohong, gak lama dia mulai demam dan segala gejala Covid-19 mulai terasa. Dan kantor ngewajibin dia swab di Klinik dekat kantor, hasilnya sudah pasti positif.
Suami sih awalnya gak ngerasain apa-apa, tapi di rumah tetap dipisah semuanya. Beda kamar, beda kamar mandi dan ruangan yang boleh ditempati suami ruang makan dan ruang tamu. Sedang aku ruang keluarga dan dapur.
Tetep aja aku malamnya mulai demam. Cuma gak tau emang tertular Covid-19 atau gak. Besoknya mulai gampang ngos-ngosan, baru jalan 3 langkah sudah ngos-ngosan kayak habis jogging 5Km. Bahkan sholat 2 rakaat aja gak sanggup, ngos-ngosan banget sampai kayak kehabisan nafas. Akhirnya sholatnya sambil duduk.
Batuknya juga makin parah, bikin gak bisa tidur. Yang paling berat itu gak bisa nelan makanan sama sekali, sudah dikunyah sehalus-halusnya tetap gak bisa ditelan. Kayak ada yang nolak di tenggorokan. Dan ternyata lebih berat ditolak tenggorokan ketimbang ditolak waktu ngelamar kerja.
Padahal aku tuh walau sakit tetep bisa maksa makan. Biasanya sampai aku dorong dengan air minum, yang penting ketelen. Nah baru kali ini yang gak bisa dipaksa gitu, bahkan udah pake acara dibujuk-bujuk tetep gak bisa. Asli lemes banget, karena gak ada makanan yang masuk. Bahkan untuk mikirin kamu aja aku gak ada tenaga.
Aku nanya ke sepupu yang dokter, enaknya aku beli obat apa. Dia suruh aku beli antibiotik dan pengencer dahak, sisanya minum multi vitamin.
Besoknya tanggal 5 Juni 2021, aku pikir gak bisa dibiarin kondisi kayak gini, lama-lama bisa lemes kekurangan nutrisi juga kekurangan harapan (hihihi), saatnya ke RS biar bisa diinfus. Dengan kondisi suami gak bisa nganterin, jadi dianterin sepupu yang rumahnya dekat dengan rumah aku.
Saat ke RS pertama, kondisi full, bahkan IGD pun sudah gak bisa nampung. Nah pas ke RS kedua akhirnya masih bisa melayani pasien. Memang di awal Juni 2021 mulai banyak yang terkena Covid-19 varian Delta, tapi belum sampai yang susah banget untuk dapat kamar kosong di RS. Secara RS mulai penuh kapasitasnya di akhir Juni hingga Juli.Â
Singkatnya pas aku di RS, nunggu dokternya lama banget, mungkin karena hari Sabtu, dokternya juga hanya ada dokter di IGD, sementara pasiennya mbludak. Asli ngos-ngosan gak hilang-hilang, dokternya lama banget baru nongol.
Dan pas dicek saturasi aku masih bagus 96, dokter menyarankan gak usah dirawat, nanti malah jadi stress, karena pasien yang dirawat rata-rata kondisinya parah. Tapi masalahnya kan aku gak bisa makan. Kata dokter, coba makan telor rebus aja dan minum susu. Terus disuruh datang Senin untuk PCR, karena Sabtu Minggu labnya tutup. Sementara nunggu Senin, aku dikasih obat antivirus, antibiotik dan pengencer dahak. Dan sebenarnya aku juga sudah minum antibiotic dan pengencer dahak karena sudah diinfo sepupu aku sebelumnya. Cuma bedanya ketambahan antivirus.
Dan aku pun pulang ke rumah dengan kondisi lemas, ngos-ngosan, susah ngatur nafas, mulai hilang penciuman dan hilang indera pengecap. Jadilah mulai nyoba makan telor rebus, Alhamdulillah bisa masuk. Agak tenang, akhirnya ada yang bisa dimakan. Ada untungnya juga, gak bisa nyium bau dan gak bisa ngerasain makanan, karena jadi gak enek makanin telor rebus, yang sehari aku bisa makan 7 butir.
Karena sudah hilang penciuman, maka aku simpulkan sudah pasti positif Covid-19, jadi aku males datang lagi ke RS untuk PCR.
Banyak yang nyaranin minum ramuan ini itu dan suplemen ini itu. Aku saat itu selain obat dari dokter, minum colostrum, vitamin C 500mg, ngunyah jahe yang diiris tipis, 3x sehari. Terus ngirup uap larutan garam Himalaya, lumayan ngeluarin dahak.
Setelah 3 hari ngerasa rada membaik dan mulai bisa makan bubur, juga perlahan bisa makan nasi. Seminggu kemudian, penciuman dan indera pengecap pun kembali normal.
Hanya saja saat harusnya tes swab, karena sudah 14 hari, di tanggal 18 Juni drop lagi. Terutama malam, tenggorokan sakit, demam, batuk2, kalau kebangun tenggorokan kering, setelah banyak minum baru keluar dahak. Akhirnya Tanya lagi ke sepupu yang berprofesi sebagai dokter, disuruh minum antibiotik lagi selama seminggu dan tunda tes swab seminggu lagi.
Dan perlahan membaik, demam hilang, sakit tenggorokan berkurang, walau batuk belum hilang juga. Cuma banyak yang cerita batuk pasca Covid-19, emang lama hilang, bisa 3 bulan.
Akhirnya 28 Juni tes swab, hasilnya negatif. Alhamdulillah. Tapiii... masih ada babak selanjutnya.
__
Artikel sebelumnya
Satu Kata Berharga itu "Pulih" (1)
Artikel selanjutnya
Satu Kata Berharga itu "Pulih" (3)
Satu Kata Berharga itu "Pulih" (4)
Satu Kata Berharga itu "Pulih" (5)
Satu Kata Berharga itu "Pulih" (6)
Satu Kata Berharga itu "Pulih" (7)
Satu Kata Berharga itu "Pulih" (8)
Satu Kata Berharga itu "Pulih" (9)
Satu Kata Berharga itu "Pulih" (10)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H