Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Jejak Nostalgia Ramadan Tahun 80-an

20 April 2021   00:48 Diperbarui: 20 April 2021   01:03 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bernostalgia mengenang masa kecil itu selalu menyenangkan. Apalagi buat yang menjalani masa kecil di tahun 80-an, itu masa paling bahagia deh. Selain membahagiakan, setelah dipikir-pikir lagi, rangkaian peristiwa masa kecil itulah yang membentuk kita jadi pribadi saat ini. 

Mencoba bercermin ke masa lalu sambil mengingat kembali masa-masa bahagia itu. Tentunya banyak sekali kenangan Ramadan menyenangkan yang terpateri di ingatan. Kali ini sambil refleksi, berusaha memahami dan memaknai segala peristiwa yang disebut nostalgia. Mulai dini hari ketika sahur bersama keluarga hingga lepas tarawih bahkan lebih jauh lagi ketika Ramadan usai di Syawal yang fitri.

Makan Sahur Bersama

Sebagai bungsu dari 4 bersaudara, aku kerap dibangunkan paling akhir dan (tidak) menikmati makan sahur sambil masih terkantuk-kantuk. Beranjak lebih besar, aku pun ikut dilibatkan untuk menyiapkan hidangan sahur bersama. Terkadang hanya bantu menata piring, gelas, sendok saja, lalu bertahap membantu ibu menghangatkan hidangan untuk makan sahur, hingga memasak nasi atau lauk lainnya. Rangkaian peristiwa ini membuatku merasa jadi bagian penting dalam keluarga dan memperkuat rasa kebersamaan dalam keluarga. 

Ada satu aktivitas rutin lainnya yang kami jalani bersama, yaitu minum minyak ikan yang di masa itu hanya ada 1 varian rasa: rasa yang yaah... begitulah. Kami semua harus mengantri di depan bapak yang siap menyuapkan sesendok cairan kental berbau sengak itu, dan saling dorong karena tak mau jadi yang pertama. Kadang sulung dapat giliran pertama, berurutan hingga aku yang bungsu. Kadang sesuai urutan alfabetis nama kami. Tapi mau tak mau, ya kadang kena giliran pertama juga sih ketika berurutan dari si bungsu dulu. Kupikir, ini mengasah kemampuan kami berkomunikasi dan berkompromi. 

Beraktivitas Setelah Sahur

Bersama ketiga kakak perempuanku, kami sangat jarang tidur lagi selepas makan sahur dan shalat subuh. Kami biasa main bersama atau mulai membersihkan rumah. Mencuci piring, menyapu, mengepel, menyiram tanaman, dan pekerjaan rumah lainnya kami kerjakan bergantian. Semua punya giliran masing-masing. Hal ini mengasah kemampuan kami mengelola rumah setelah dewasa. Kerjasama tim dan tanggung jawab pun semakin terlatih. 

Berpuasa sambil beraktivitas, tak masalah kami jalani. Aku termasuk yang cukup aktif dan tak menemui kendala apapun selama berpuasa. Sementara kakak yang nomor 3 kadang pusing atau lemas, sehingga giliran ibu perlu sesuatu untuk dibeli ke warung, seringkali aku yang kena giliran untuk pergi. Dulu sih rasanya asyik aja, karena jadi sarana untuk jalan-jalan melihat suasana kampung sambil merintang waktu menunggu berbuka.

Ngabuburit yang Asyik

Saat-saat menjelang maghrib kami jalani dengan keseruan khas anak kampung. Kadang kami bersepeda sore sambil menunggu saat berbuka. Kadang main board game bersama jika agak terlalu lelah untuk bersepeda. Tak jarang kami main tebak-tebakan atau permaian tradisional lainnya.  Tak ada yang namanya merintang waktu sambil main game yang dilakukan sendirian saja. Main bersama membuat kita belajar bersabar menunggu giliran. Terkadang harus bertoleransi juga saat teman seregu bertindak tatk sesuai harapan kita. Belajar mengelola emosi juga sih ya.

Selain ngabuburit bersama teman, tentunya tak jarang kami pun dilibatkan dalam aktivitas menyiapkan hidangan berbuka. Selain aktivitas sederhana semacam mengupas pisang dan memotongnya untuk dijadikan kolak, mencuci kacang hijau dan mengiris gula merah untuk dibuat bubur kacang hijau, atau memarut kelapa yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Kalau tak sabar-sabar, jari bisa ikut terparut. Ya di masa itu belum ada lah yang namanya santan instan sachetan yang siap pakai. Kalau perlu santan, ya harus mau marut dan meras santan sendiri. Melelahkan, tapi puas juga sih, lagi-lagi jadi bagian penting dalam rantai produksi hidangan untuk keluarga. Kalau tak ikut serta di dalamnya, ya malu sendiri jadinya. Tak enak hati kalau melihat ibu sibuk berjibaku di dapur sementara kami santai-santai baca buku atau nonton tivi. Tak elok rasanya. Humm... walaupun terkadang harus dipanggil dulu sih sebelum akhirnya ikut terlibat di dapur. 

Tarawih di Malam Ramadan

Ada masanya kami pergi ke masjid untuk shalat tarawih bersama teman atau orangtua. Mencari tempat terbaik di dekat jendela atau pintu masjid supaya dapat semilir angin sejuk ketika shalat. Setelah itu mencatat rangkuman ceramah tarawih untuk kemudian mengantri minta tanda tangan penceramah atau cap DKM. Menurutku, itu latihan yang bagus untuk menyimak dan merangkum. Putar otak juga untuk menuliskan kembali isi ceramah dalam ruang terbatas 1 halaman (terkadang efektifnya hanya setengah halaman) buku tulis. Tak jarang kami saling intip catatan teman untuk melengkapi catatan ceramah kami yang merupakan tugas sekolah. Kalau bukan tugas sekolah, haha... ya ngapain juga ya dijabanin. 

Selain pergi ke masjid, kami rasanya cukup sering juga tarawih di rumah dengan bapak sebagai imamnya. Ceramah tarawih di-skip tentunya. Kadang kami yang nawar-nawar, minta bapak untuk membaca surat-surat pendek saja, supaya tarawihnya nggak usah lama-lama. Kadang kami minta tarawihnya diundur sedikit, nggak langsung setelah beduk isya. Dalihnya sih mau nurunin makanan dulu. Ujung-ujungnya keburu ngantuk deh. Hehee... Walaupun demikian, tarawih bersama keluarga di rumah memperkuat ikatan keluarga. Sungguh rindu masa-masa itu.

Siap Sambut Lebaran

Di penghujung Ramadan, semua keluarga tampaknya menyiapkan segala sesuati yang istimewa, baik penganan maupun pakaian. Ibu biasa menjahit baju-baju kami untuk lebaran. Sesekali beli juga sih, tapi ibu lebih sering menjahit sendiri baju-baju kami. Ibu adalah guru di sekolah pendidikan puteri, jadi urusan membuat pola dan menjahit, tak masalah buat ibu, walaupun bukan baju yang extravagant juga siih. Yang jelas sih, kami merasakan cinta di setiap baju lebaran yang kami kenakan. Ketika ibu membuat pola, memotong dan menjahitnya, giliran ke tukang obras, biasanya aku yang disuruh pergi. Ya okesip saja siih, walaupun kadang kesal juga, kenapa sih aku lagi, aku terus yang harus pergi, kenapa nggak kakak yang lain gitu sekali-sekali. Tapi sebagai bungsu kadang ya tak bisa mengelak juga sih. Harus nurut belaka. Apa boleh buat... nasib anak bungsu.

Menjelang lebaran, ibu belanja besar ke pasar Kebon Kelapa. Aku seringkali ikut serta. Membantu membawakan keranjang belanja dan ikut berhimpitan di pasar yang padat pengunjung. Mengamati interaksi ibu dengan penjual atau pembeli lainnya menjadi pelajaran bersosialisasi. Bagaimana cara menawar yang elegan, memilih bahan makanan yang baik, dan menjaga hubungan baik dengan pedagang langganan. 

Memasak hidangan lebaran jadi satu tantangan lainnya. Kami saling berbagi tugas. Aku dan kakak ketiga biasanya dapat jatah mengupas kulit kacang yang sudah direndam semalaman untuk dibuat kacang bawang. Mengupas kulit kacang satu atau dua kilo lumayan juga ya bikin jari keriput karena kelamaan terendam air. Bapak kebagian tugas menggoreng kacang. Kakak lainnya membantu menyiapkan ketupat dan hidangan lainnya. Sempat juga aku belajar membuat cangkang ketupat dan di beberapa lebaran aku membuat cangkang ketupat sendiri. 

Sekarang pun membuat cangkang ketupat sendiri masih suka kulakukan karena bisa mengontrol ukuran ketupat yang diinginkan. Ibu biasa membuat ketupat ketan untuk hidangan lebaran. Aroma ketupat yang dimasak dalam kuah santan kembali menari-nari di ingatan. Sungguh jadi nostalgia yang menghangatkan hati. Rindu ibu rasanya sedikit terobati ketika mencium aroma ketupat yang baru matang. Terima kasih ibu, sudah mengajari aku begitu banyak hal sepanjang Ramadan bahkan sepanjang kehidupan. Serunya nostalgia Ramadan tahun 80-an kembali mengingatkan aku akan hangatnya ikatan keluarga yang kurasakan. Semoga Ramadanmu juga tak kalah berkesan yaa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun