Tarawih di Malam Ramadan
Ada masanya kami pergi ke masjid untuk shalat tarawih bersama teman atau orangtua. Mencari tempat terbaik di dekat jendela atau pintu masjid supaya dapat semilir angin sejuk ketika shalat. Setelah itu mencatat rangkuman ceramah tarawih untuk kemudian mengantri minta tanda tangan penceramah atau cap DKM. Menurutku, itu latihan yang bagus untuk menyimak dan merangkum. Putar otak juga untuk menuliskan kembali isi ceramah dalam ruang terbatas 1 halaman (terkadang efektifnya hanya setengah halaman) buku tulis. Tak jarang kami saling intip catatan teman untuk melengkapi catatan ceramah kami yang merupakan tugas sekolah. Kalau bukan tugas sekolah, haha... ya ngapain juga ya dijabanin.Â
Selain pergi ke masjid, kami rasanya cukup sering juga tarawih di rumah dengan bapak sebagai imamnya. Ceramah tarawih di-skip tentunya. Kadang kami yang nawar-nawar, minta bapak untuk membaca surat-surat pendek saja, supaya tarawihnya nggak usah lama-lama. Kadang kami minta tarawihnya diundur sedikit, nggak langsung setelah beduk isya. Dalihnya sih mau nurunin makanan dulu. Ujung-ujungnya keburu ngantuk deh. Hehee... Walaupun demikian, tarawih bersama keluarga di rumah memperkuat ikatan keluarga. Sungguh rindu masa-masa itu.
Siap Sambut Lebaran
Di penghujung Ramadan, semua keluarga tampaknya menyiapkan segala sesuati yang istimewa, baik penganan maupun pakaian. Ibu biasa menjahit baju-baju kami untuk lebaran. Sesekali beli juga sih, tapi ibu lebih sering menjahit sendiri baju-baju kami. Ibu adalah guru di sekolah pendidikan puteri, jadi urusan membuat pola dan menjahit, tak masalah buat ibu, walaupun bukan baju yang extravagant juga siih. Yang jelas sih, kami merasakan cinta di setiap baju lebaran yang kami kenakan. Ketika ibu membuat pola, memotong dan menjahitnya, giliran ke tukang obras, biasanya aku yang disuruh pergi. Ya okesip saja siih, walaupun kadang kesal juga, kenapa sih aku lagi, aku terus yang harus pergi, kenapa nggak kakak yang lain gitu sekali-sekali. Tapi sebagai bungsu kadang ya tak bisa mengelak juga sih. Harus nurut belaka. Apa boleh buat... nasib anak bungsu.
Menjelang lebaran, ibu belanja besar ke pasar Kebon Kelapa. Aku seringkali ikut serta. Membantu membawakan keranjang belanja dan ikut berhimpitan di pasar yang padat pengunjung. Mengamati interaksi ibu dengan penjual atau pembeli lainnya menjadi pelajaran bersosialisasi. Bagaimana cara menawar yang elegan, memilih bahan makanan yang baik, dan menjaga hubungan baik dengan pedagang langganan.Â
Memasak hidangan lebaran jadi satu tantangan lainnya. Kami saling berbagi tugas. Aku dan kakak ketiga biasanya dapat jatah mengupas kulit kacang yang sudah direndam semalaman untuk dibuat kacang bawang. Mengupas kulit kacang satu atau dua kilo lumayan juga ya bikin jari keriput karena kelamaan terendam air. Bapak kebagian tugas menggoreng kacang. Kakak lainnya membantu menyiapkan ketupat dan hidangan lainnya. Sempat juga aku belajar membuat cangkang ketupat dan di beberapa lebaran aku membuat cangkang ketupat sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H