Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Supir Nekat vs Supir Disiplin

16 Februari 2018   11:00 Diperbarui: 16 Februari 2018   12:18 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roller Coaster tercepat di area Fujikyu Highland, Jepang.

Bismillaahi majreeha wa mursaaha inna Robbi laghofuururrahiim (Q.S.11, Huud: 41)

Dengan nama Allah aku berkendaraan dan dengan nama Allah aku sampai di tempat tujuan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Aku belajar mengemudi kendaraan selepas kuliah. Agak terlambat ya rasanya, mengingat anak-anak jaman sekarang bahkan teman-teman saya dulu sudah mulai belajar mengemudi sejak kaki mereka cukup panjang untuk mencapai pedal gas, kopling dan rem. Sementara aku mulai belajar mengendarai mobil saat aku merasa adanya urgensi untuk menggantikan peran bapak mengantar-jemput anak-anaknya. 

Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, aku lulus kuliah saat bapak mulai sepuh dan sakit-sakitan. Dengan bismillah, aku belajar mengemudi dengan niat mulia (jieeeh...) untuk gantian mengantar-jemput bapak atau ibu.

Terima kasih untuk instruktur setirku yang mengajarkan percaya diri di jalan raya sejak saat pertama dia kami bertemu. Katanya, belajar nyetir itu langsung saja ke jalan raya supaya berani.

 Kalau mulai di jalan sepi, nanti tak percaya diri saat harus meluncur di jalan yang ramai. Maka aku pun pe-de saja akhirnya. Di jalanan aku cukup berani tapi kalkulatif. Tapi pada di tanjakan dan harus berhenti-berhenti, wah... jantungku bisa berdebar 2 kali lebih cepat, keringat dingin pun menitik satu-satu. Tapi apa daya, ini adalah pengalaman yang harus dijalani oleh siapapun yang menjadi pengemudi.

Bertahun-tahun menjelajah jalanan Bandung membuatku merasa cukup berpengalaman sebagai sopir, walaupun masih belum cukup pengalaman menjadi sopir antarkota. 

Ibu belum mengizinkan aku dan aku jadi tidak berani nekat. Pernah sih menjajal rute Bandung-Depok dengan didampingi sepupu sebagai sopir cadangan, Bandung-Karawang dengan satu penumpang sebagai pendamping, atau Bandung-Cianjur sendirian. 

Tapi yang mau ngajakin ke luar kota bahkan menjajal Indonesia berkendaraan, hayu aja sih sekarang mah, asal kendaraan terjamin aja. Jangan khawatir, aku punya SIM resmi, kok. ;)

Jangankan Indonesia lah, pengalaman menyetir di negeri orang pernah juga kujalani dengan nekat. Di masa tinggalku selama 1,5 tahun di Jepang dulu, biasanya aku berkendaraan umum yang sungguh nyaman atau memilih bersepeda ke mana-mana dalam jarak dekat. 

Tapi di suatu musim liburan musim panas, kami berenam yang semuanya mahasiswa berkebangsaan asing berencana untuk berwisata ke taman bermain serupa Dufan di Fujikyu Highland, Prefektur Shizuoka. Lumayan juga jauhnya. Kami berencana menempuh perjalanan itu dengan kendaraan van yang biasa dibawa oleh Lucero, seorang berkebangsaan Peru yang sudah sekitar 5 tahun-an tinggal di Jepang. 

Bada subuh (saat itu waktu subuh jatuh sekitar pukul 3 pagi), kami berangkat dengan janji bahwa Eva, seorang Chinese yang juga sudah biasa membawa kendaraan di Jepang akan menggantikan Lucero sesekali. Tapi setelah beberapa jam menyetir dan nyasar ke beberapa tempat akibat salah membaca peta, Eva masih belum mau bertukar tempat ke kursi pengemudi untuk menggantikan Lucero yang mulai terlihat kelelahan. 

Alasannya, dia biasa mengemudikan mobil otomatis, sedangkan mobil van yang kami kendarai masih menggunakan persneling manual. Oh... sedikit frustrasi karena belum menemukan jalur yang tepat ke tujuan kami, kami lalu berhenti di sebuah convecience store untuk mempelajari peta lagi. 

Saat itu belum musim deh yang namanya wazeatau google map, jadi kami masih membaca peta secara manual. Menurut perhitungan, seharusnya kami kami sudah sampai di tempat tujuan hanya dalam waktu tempuh 5 jam saja. 

Mencermati peta dan meluruskan kaki, kami lalu berunding. Sebetulnya di negara kami masing-masing, kami semua bisa menyetir dan biasa membawa kendaraan sendiri, tapi sistem jalur lalu lintas yang berbeda membuat Barbara (Slovenia), Chi Ling (Taiwan), dan satu-satunya laki-laki bersama kami, Oscar dari Guatemala tidak berani mengemudikan kendaraan di Jepang. 

Aku lalu mengajukan diri untuk menyetir menggantikan Lucero yang kelelahan, toh sistem lajur kendaraan di Jepang dan Indonesia tidak berbeda. 

Kemudi mobil terletak di kanan, dan kendaraan melaju di sebelah kiri jalan. Aku hanya agak 'gamang' dengan sistem rem tangan yang sedikit berbeda dengan Kijang yang biasa kukemudikan. 

Tapi menggantikan teman yang sudah kelelahan? Nggak apa-apalah... Kebetulan, aku juga penasaran sih, ingin punya pengalaman nyetir di Jepang (walaupun tak punya SIM internasional. Ssst...! Nekat kan?). Hehe...

Maka bismillah... Aku pun mulai melaju di jalanan yang relatif lengang.  Lucero ternyata tidak memanfaatkan kesempatan bertukar peran itu untuk beristirahat dengan tidur. Dia justru mencermati peta dan menjadi 'navigator' selama lebih-kurang satu jam. Dia malah nyaris menjelma jadi instruktur menyetir bagiku karena dia juga memberi petunjuk untuk mempercepat laju kendaraan atau melambatkan, mengambil jalur kanan atau tengah, dan seterusnya dan seterusnya. 

Aku sendiri cukup excited dengan pengalaman itu, walaupun sempat berdebar-debar karena berpapasan dengan polisi yang sedang mengatur lalu lintas di jalur jalan yang sedang diperbaiki. 

Untunglah kami tidak dihentikan dan ditanyai. Bila kami dihentikan dan aku tak bisa menunjukkan SIM yang berlaku di Jepang, tidak hanya aku yang akan dikenai denda, tapi juga pemilik kendaraan yang membiarkan kendaraannya dikemudikan oleh orang yang tak berlisensi resmi. Tapi... untunglah tak berapa lama kemudian (justru ketika aku telah 'akrab' dengan kendaraan van itu), kami  sampai di tempat tujuan. Lucero segera mengambil alih kemudi untuk memasuki arena Fujikyu Higland, membiarkan kami menikmati pemandangan gunung Fuji yang diselimuti awan di puncaknya. Indah...

Selama beberapa jam kami menikmati beberapa wahana permainan di sana. Dari dalam komidi putar raksasa, yang kebetulan kami mendapatkan tempat duduk di 'kapsul' transparan, bisa kami saksikan pemandangan seluruh area Fujikyu Highland beserta latar belakang gunung Fuji di kejauhan yang makin lama makin malu-malu tertutup awan di musim panas itu. 

Kami juga menjajal nyali dengan menaiki jet coaster tercepat di dunia (katanya...), yang mencapai kecepatan 175 km per detik!! Bisa dipahami, karena pada saat itu, kendaraan tersebut melaju tegak lurus dengan permukaan tanah, walaupun hanya dalam lintasan waktu selama 1,7 detik saja. Keseluruhan waktu menaiki jet coaster itu tidak lebih dari 30 detik, tapi waktu mengantrinya dong... 2 jam saja!!! Kenyang ngantri deh. 

Roller Coaster tercepat di area Fujikyu Highland, Jepang.
Roller Coaster tercepat di area Fujikyu Highland, Jepang.
Dalam perjalanan pulang, aku tidak lagi memegang kemudi karena Lucero dengan percaya diri menyatakan siap untuk mengendarai mobilnya sendiri dengan rute yang lebih dipahaminya kini. Dia tak mau ambil resiko memberikan kemudi pada orang yang tidak memiliki SIM yang berlaku di negaranya walaupun aku cukup mumpuni untuk membawa kendaraan besar dengan beberapa penumpang di dalamnya. 

Sebetulnya aku sudah siap mental untuk kembali mengemudikan mobil dalam perjalanan pulang, tapi tentu saja modal nekat tidak cukup. 

Lucero yang sudah 5 tahun lebih tinggal di Jepang rupanya sudah tertular kedisiplinan tinggi yang dimiliki hampir seluruh warga Jepang. Walaupun polisi tidak menghentikan kami, tapi peraturan adalah peraturan yang harus dipatuhi. Sungguh sikap mental yang baik. Ya sudahlah... kupikir itu juga merupakan suatu tindakan yang tepat dan bijak.

 Sopir berpengalaman lebih baik cari aman saja untuk keselamatan bersama. Dengan Lucero mengemudikan kendaraan lagi, tidak sampai 4 jam, kami sudah sampai kembali di Maebashi, tempat kami berangkat. 

Sekembalinya aku ke Indonesia, aku kembali mengemudikan Kijang peninggalan ayahku, dengan SIM yang masih berlaku, tentu. Pada saat itu, 2 orang kawan Jepangku berlibur ke Indonesia. 

Setelah lebih dahulu berpesiar ke Bali dan Yogya, perhentian berikutnya adalah Bandung, untuk menemuiku dan mengalami pengalaman baru seolah homestay selama beberapa hari.

Selama beberapa hari itu pula, aku yang baru kembali ke Indonesia harus 'sport jantung' lagi menjajal keterampilanku mengemudi di jalanan Indonesia yang jauh dari lengang. Wah!!! Sistem dan alur jalan yang berubah di sana-sini menjadi satu jalur untuk menghindari kemacetan, ataupun 'bersaing' dengan sopir angkot yang jauuuuh lebih nekat dari aku ataupun pengendara sepeda motor yang luar biasa banyaknya di sini membuatku berlatih untuk meningkatkan kewaspadaanku. Selama beberapa hari itu pula aku belajar banyak (lagi) dari Yuki dan Kayo.

Hal otomatis yang mereka lakukan pada saat naik kendaraan adalah memasang sabuk pengaman. Pada saat itu (tahun 2004) peraturan pemakaian sabuk pengaman belum seketat saat ini, dan kebetulan sabuk pengaman di tempat duduk sopir macet, tak bisa dipakai, jadi aku menyetir tanpa mengenakannya. Yuki dan Kayo terheran-heran melihatku begitu santainya menyetir tanpa sabuk pengaman.

Dalam satu kesempatan lain, aku berbelok untuk memasuki jalan tol, kemudian Yuki serta Kayo secara otomatis menutup kaca jendela yang kemudian kupertanyakan. Eh... haruskah (menutup kaca mobil dalam perjalanan di jalan tol)? Itu adalah prosedur standar di Jepang, yang rasanya tidak standar di Indonesia sini. 

Begitu banyaknya pengemudi di jalan tol yang membiarkan kaca jendelanya terbuka untuk mendapatkan udara segar atau bahkan sebagai 'akses cepat' untuk membuang sampah ke jalanan, mulai dari tissue, puntung rokok hingga sampah bungkus makanan. Satu hal lain yang membuat dua orang Jepang itu terheran-heran adalah adanya pejalan kaki di jalan tol. 

Tidak sekedar berjalan searah laju kendaraan, mereka bahkan menyeberang di jalan tol!!! Haha... Itu biasa di sini, walaupun seharusnya kebiasaan itu tidak dipertahankan. 

Pengalaman beberapa kawan lain yang baru pulang dari luar negeri ternyata memiliki persamaan dan perasaan serupa. Beberapa temanku jadi takut menyeberang karena tidak terbiasa dengan kondisi jalan yang begitu ramai. Sedangkan yang lainnya 'kapok' menyetir karena situasi jalanan yang sama sekali berbeda dengan di Jepang. 

Kami yang biasa bersepeda merasa kesulitan lagi beradaptasi dengan sikon jalanan (di Bandung sekalipun!) yang dipadati dengan sopir-sopir angkot dan pengendara sepeda motor yang berebutan jalur. Mepet-mepeeeet, itu sudah biasa. Kadang ngeri juga sih bila aku bersebelahan dengan mereka. 

Tapi pada saat aku baru kembali ke Bandung, aku 'didesak' keadaan utuk menjadi 'guide' bagi kedua teman Jepangku, dan menunjukkan wajah asli dari negeriku. Yah, bagaimanapun juga, baik atau buruk, inilah negeriku. Selamat datang (kembali) deh di Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun