Tapi di suatu musim liburan musim panas, kami berenam yang semuanya mahasiswa berkebangsaan asing berencana untuk berwisata ke taman bermain serupa Dufan di Fujikyu Highland, Prefektur Shizuoka. Lumayan juga jauhnya. Kami berencana menempuh perjalanan itu dengan kendaraan van yang biasa dibawa oleh Lucero, seorang berkebangsaan Peru yang sudah sekitar 5 tahun-an tinggal di Jepang.Â
Bada subuh (saat itu waktu subuh jatuh sekitar pukul 3 pagi), kami berangkat dengan janji bahwa Eva, seorang Chinese yang juga sudah biasa membawa kendaraan di Jepang akan menggantikan Lucero sesekali. Tapi setelah beberapa jam menyetir dan nyasar ke beberapa tempat akibat salah membaca peta, Eva masih belum mau bertukar tempat ke kursi pengemudi untuk menggantikan Lucero yang mulai terlihat kelelahan.Â
Alasannya, dia biasa mengemudikan mobil otomatis, sedangkan mobil van yang kami kendarai masih menggunakan persneling manual. Oh... sedikit frustrasi karena belum menemukan jalur yang tepat ke tujuan kami, kami lalu berhenti di sebuah convecience store untuk mempelajari peta lagi.Â
Saat itu belum musim deh yang namanya wazeatau google map, jadi kami masih membaca peta secara manual. Menurut perhitungan, seharusnya kami kami sudah sampai di tempat tujuan hanya dalam waktu tempuh 5 jam saja.Â
Mencermati peta dan meluruskan kaki, kami lalu berunding. Sebetulnya di negara kami masing-masing, kami semua bisa menyetir dan biasa membawa kendaraan sendiri, tapi sistem jalur lalu lintas yang berbeda membuat Barbara (Slovenia), Chi Ling (Taiwan), dan satu-satunya laki-laki bersama kami, Oscar dari Guatemala tidak berani mengemudikan kendaraan di Jepang.Â
Aku lalu mengajukan diri untuk menyetir menggantikan Lucero yang kelelahan, toh sistem lajur kendaraan di Jepang dan Indonesia tidak berbeda.Â
Kemudi mobil terletak di kanan, dan kendaraan melaju di sebelah kiri jalan. Aku hanya agak 'gamang' dengan sistem rem tangan yang sedikit berbeda dengan Kijang yang biasa kukemudikan.Â
Tapi menggantikan teman yang sudah kelelahan? Nggak apa-apalah... Kebetulan, aku juga penasaran sih, ingin punya pengalaman nyetir di Jepang (walaupun tak punya SIM internasional. Ssst...! Nekat kan?). Hehe...
Maka bismillah... Aku pun mulai melaju di jalanan yang relatif lengang. Â Lucero ternyata tidak memanfaatkan kesempatan bertukar peran itu untuk beristirahat dengan tidur. Dia justru mencermati peta dan menjadi 'navigator' selama lebih-kurang satu jam. Dia malah nyaris menjelma jadi instruktur menyetir bagiku karena dia juga memberi petunjuk untuk mempercepat laju kendaraan atau melambatkan, mengambil jalur kanan atau tengah, dan seterusnya dan seterusnya.Â
Aku sendiri cukup excited dengan pengalaman itu, walaupun sempat berdebar-debar karena berpapasan dengan polisi yang sedang mengatur lalu lintas di jalur jalan yang sedang diperbaiki.Â
Untunglah kami tidak dihentikan dan ditanyai. Bila kami dihentikan dan aku tak bisa menunjukkan SIM yang berlaku di Jepang, tidak hanya aku yang akan dikenai denda, tapi juga pemilik kendaraan yang membiarkan kendaraannya dikemudikan oleh orang yang tak berlisensi resmi. Tapi... untunglah tak berapa lama kemudian (justru ketika aku telah 'akrab' dengan kendaraan van itu), kami  sampai di tempat tujuan. Lucero segera mengambil alih kemudi untuk memasuki arena Fujikyu Higland, membiarkan kami menikmati pemandangan gunung Fuji yang diselimuti awan di puncaknya. Indah...