Selama beberapa jam kami menikmati beberapa wahana permainan di sana. Dari dalam komidi putar raksasa, yang kebetulan kami mendapatkan tempat duduk di 'kapsul' transparan, bisa kami saksikan pemandangan seluruh area Fujikyu Highland beserta latar belakang gunung Fuji di kejauhan yang makin lama makin malu-malu tertutup awan di musim panas itu.Â
Kami juga menjajal nyali dengan menaiki jet coaster tercepat di dunia (katanya...), yang mencapai kecepatan 175 km per detik!! Bisa dipahami, karena pada saat itu, kendaraan tersebut melaju tegak lurus dengan permukaan tanah, walaupun hanya dalam lintasan waktu selama 1,7 detik saja. Keseluruhan waktu menaiki jet coaster itu tidak lebih dari 30 detik, tapi waktu mengantrinya dong... 2 jam saja!!! Kenyang ngantri deh.Â
Sebetulnya aku sudah siap mental untuk kembali mengemudikan mobil dalam perjalanan pulang, tapi tentu saja modal nekat tidak cukup.Â
Lucero yang sudah 5 tahun lebih tinggal di Jepang rupanya sudah tertular kedisiplinan tinggi yang dimiliki hampir seluruh warga Jepang. Walaupun polisi tidak menghentikan kami, tapi peraturan adalah peraturan yang harus dipatuhi. Sungguh sikap mental yang baik. Ya sudahlah... kupikir itu juga merupakan suatu tindakan yang tepat dan bijak.
 Sopir berpengalaman lebih baik cari aman saja untuk keselamatan bersama. Dengan Lucero mengemudikan kendaraan lagi, tidak sampai 4 jam, kami sudah sampai kembali di Maebashi, tempat kami berangkat.Â
Sekembalinya aku ke Indonesia, aku kembali mengemudikan Kijang peninggalan ayahku, dengan SIM yang masih berlaku, tentu. Pada saat itu, 2 orang kawan Jepangku berlibur ke Indonesia.Â
Setelah lebih dahulu berpesiar ke Bali dan Yogya, perhentian berikutnya adalah Bandung, untuk menemuiku dan mengalami pengalaman baru seolah homestay selama beberapa hari.
Selama beberapa hari itu pula, aku yang baru kembali ke Indonesia harus 'sport jantung' lagi menjajal keterampilanku mengemudi di jalanan Indonesia yang jauh dari lengang. Wah!!! Sistem dan alur jalan yang berubah di sana-sini menjadi satu jalur untuk menghindari kemacetan, ataupun 'bersaing' dengan sopir angkot yang jauuuuh lebih nekat dari aku ataupun pengendara sepeda motor yang luar biasa banyaknya di sini membuatku berlatih untuk meningkatkan kewaspadaanku. Selama beberapa hari itu pula aku belajar banyak (lagi) dari Yuki dan Kayo.
Hal otomatis yang mereka lakukan pada saat naik kendaraan adalah memasang sabuk pengaman. Pada saat itu (tahun 2004) peraturan pemakaian sabuk pengaman belum seketat saat ini, dan kebetulan sabuk pengaman di tempat duduk sopir macet, tak bisa dipakai, jadi aku menyetir tanpa mengenakannya. Yuki dan Kayo terheran-heran melihatku begitu santainya menyetir tanpa sabuk pengaman.
Dalam satu kesempatan lain, aku berbelok untuk memasuki jalan tol, kemudian Yuki serta Kayo secara otomatis menutup kaca jendela yang kemudian kupertanyakan. Eh... haruskah (menutup kaca mobil dalam perjalanan di jalan tol)? Itu adalah prosedur standar di Jepang, yang rasanya tidak standar di Indonesia sini.Â