Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hikmah dan Pelajaran dalam Perjalanan

10 Februari 2018   10:15 Diperbarui: 12 Februari 2018   03:22 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Green tea dan wagashi (sumber: matcha-jp.com)

Jangan meremehkan (memperkecil) perbuatan kebaikan sesuatupun, walau sekedar menyambut kawan dengan muka yang manis (H. R. Muslim)

Liburan musim dingin/musim semi terakhirku di Jepang. Satu kesempatan untuk mengikuti foreign student's trip ke prefektur Shimane terbuka. Saat itu tak bisa kulewatkan lagi, setelah dua kesempatan sebelumnya tak bisa kumanfaatkan karena satu dan lain hal. 

Musim semi pertama kulewatkan dengan homestay berkesan ke Kyushu, sedangkan liburan musim panas kulewatkan 'merana' dengan jalan-jalan ke Hokkaido bersama seorang teman. Lonely. Liburan kali ini, aku tak ingin kehilangan kesempatan lagi.

Akhirnya aku berhasil terdaftar sebagai salah satu peserta perjalanan wisata itu. Murah-meriah, karena didukung oleh dana dari universitas. Kami, para mahasiswa asing dari berbagai jurusan dan bidang studi berkumpul dalam perjalanan panjang sambung-menyambung menggunakan kereta api ekspres maupun shinkansen. Wah... seru, tentu.

Perjalanan kereta yang sudah terjadwal membuat kami betul-betul harus waspada dan menepati jadwal itu. Kereta ekspres ke Tokyo, disambung dengan shinkansen ke Shizuoka, berlanjut dengan shinkansen berikutnya ke Nagoya, lalu pindah jalur ke kereta ekspres lainnya, dst dst. Betul-betul perlu perhitungan waktu yang cermat. Kadang kami harus berlari-lari untuk mengejar kereta berikutnya, untuk mengejar selisih waktu antarkereta yang kadang hanya tersedia sebanyak 2-3 menit saja!

Bayangkan saja, rombongan besar kami harus berpindah kereta dengan jalur yang berbeda pula, tentu perlu kecermatan dan ketepatan yang akurat! Ah... tapi untunglah kami semua bisa tiba di tempat yang dituju pada waktu yang telah dijadwalkan. Berangkat selepas subuh dari Maebashi, sampai di provinsi Shimane hanya beberapa saat menjelang maghrib.

Shalat dzuhur dan ashar dilakukan di dalam kereta. Betul-betul perjalanan yang panjang bukan? Nyamannya naik kereta ekspres di Jepang membuat perjalanan panjang itu tidak terasa terlalu meletihkan.

Setelah itu, perjalanan langsung dilanjutkan dengan kunjungan pertama ke kuil terdekat, di bawah siraman gerimis kecil, berjalan kaki saja. Satu rangkaian dengan perjalanan ke kuil itu, kami mengikuti  upacara minum teh. Kombinasi teh hijau kental dengan kue manis kecil yang cantik adalah paduan standar dalam acara itu. 'Kulanggar' aturan dalam upacara minum teh itu.

Aturan umum di Jepang adalah dengan tata urutan berikut: kita menikmati wagashi atau kue kecilnya terlebih dahulu, untuk kemudian menetralisir rasa manisnya dengan teh hijau panas. Sedangkan aku, sebagai pecinta penganan manis, aku mendahulukan minum teh pahit dan mengakhirinya dengan menikmati rasa manis dari wagashi yang terhidang. Untungnya, kebiasaan 'jelek' ini dimaklumi karena aku adalah orang asing di sana. Hehe...

Hari berikutnya, kami berkesempatan untuk berwisata di dalam kota, mengunjungi beberapa objek wisata terkenal di daerah itu. Rombongan kami terdiri dari dua bus besar dengan kombinasi peserta tour berbagai bangsa. Pemandu wisata di dalam bus mulai memperkenalkan diri pada saat bus mulai bergerak melaju di jalan raya. Ramah dan informatif sekali (niatnya).

Dia menjelaskan berbagai hal dalam tata bahasa Jepang yang tertata apik dengan kesantunan yang tinggi, sebagaimana layaknya orang Jepang menghormati lawan bicara. Tapi sayang, informasi itu tidak utuh kami terima, hal ini tentu karena kendala bahasa yang kami miliki. Jangankan bahasa Jepang tingkat tinggi seperti yang dia sampaikan, bahasa Jepang tingkat rendah saja belum tentu aku pahami... Wajar saja, karena kami adalah mahasiswa asing yang relatif belum lama tinggal di Jepang.

Aku sendiri, setelah satu tahun lebih tinggal di Jepang, masih belum paham betul bahasa itu. Percakapan sehari-hari dengan teman bisa cukup lancar kulakukan, tapi itu pun sudah sibuk luar biasa karena aku perlu mengecek berbagai kata baru di kamus elektronik yang selalu kubawa. Kalau mendengarkan informasi dari sang pemandu wisata? Wah... masih terlalu jauh dari pemahamanku. Hanya beberapa kata saja yang kupahami, itu pun sambil menebak-nebak! Hehe...

Menilik hal tersebut, akhirnya melalui Hacchi-san, seorang mahasiswa Jepang yang ikut dalam rombongan, kami sampaikan keluhan kami. Kami minta agar sang pemandu wisata menyampaikan informasi dalam bahasa Jepang sehari-hari saja, tidak usah menggunakan bahasa penghormatan*). Namun rupanya pemandu wisata ini sangat kukuh pendirian dan tetap melanjutkan penjelasannya dalam tata bahasa keigo.

Aku paham, dia hanya bermaksud baik untuk menghormati tamu-tamunya. Ini adalah salah satu budaya Jepang yang baik dan layak ditiru. Menunjukkan penghormatan kepada tamu adalah salah satu keharusan dalam Islam. Kalau orang Jepang yang notabene bukan muslim bisa menunjukkan apresiasi yang sangat tinggi kepada tamu, mengapa kita yang muslim terkadang belum bisa menyamainya?

Di akhir hari itu, kami berkesempatan untuk singgah di pabrik pembuatan anggur. Menurut sang pemandu wisata, wine-trip ini adalah bonus dari perjalanan wisata yang kami jalani. Dia bilang, kita boleh mencicipi anggur secara cuma-cuma yang disediakan sebagai sampel di sana. Empat orang pria yang duduk lebih dekat dengan sopir dan pemandu wisata sempat berkomentar bahwa mereka tidak bisa minum anggur karena mereka adalah muslim.

Dalam rombongan kami, terdapat sekitar 9 orang muslim dari sekitar 100 orang peserta wisata. Tapi tentu saja kami yang muslim adalah minoritas, sedangkan perjalanan ini telah dijadwalkan pula sehingga tak mungkin dibatalkan. Pemandu wisata dalam bus kami sempat menawarkan untuk minum sedikit anggur saja, toh kami sedang tidak berada di negara kami. Ah... tapi konsep muslim dan hukum Islam toh tidak hanya berlaku di satu tempat, tapi berlaku di mana saja kita berada. Konsep ini rupanya memang belum cukup dipahami oleh mereka. Walaupun demikian, pemandu wisata ini tampak ragu, terlihat jelas bahwa dia berusaha untuk memuaskan kami. Setelah 'tawar-menawar' dan tanya-jawab, dia memang akhirnya menyatakan bahwa selain beragam jenis anggur dengan kualitas berbeda, juga tersedia jus anggur (tanpa proses fermentasi, sehingga insya Allah halal) yang bisa kami cicipi. Yah... sedikit lega, walaupun masih ragu.

Di gerbang Winery. (dokumentasi pribadi)
Di gerbang Winery. (dokumentasi pribadi)
Perjalanan melihat proses pembuatan anggur di pabriknya cukup membuat kagum. Tahapan proses produksi yang tertib dan sangat sesuai prosedur membuat kami percaya kualitas tinggi yang dihasilkan oleh pabrik itu. Proses pembuatan jus anggur tidak bisa kami lihat karena menggunakan peralatan yang berbeda. Hal ini juga membuat kami yakin bahwa tidak ada proses yang overlapping dalam pembuatan jus dan wine, sehingga insya Allah, jus anggur bisa kami cicipi. Gratiss... siapa yang tidak mau?

Dari perjalanan itu, aku memetik banyak hikmah, Mulai dari kesungguhan serta kesantunan sang pemandu wisata yang total, keterbukaan serta profesionalisme yang kami lihat di pabrik pembuatan anggur, maupun toleransi sesama peserta wisata yang pada akhirnya menghargai prinsip kami. Sikap itu bisa dibudayakan.

Kembali pada kita apakah kita mau berbudaya luhur atau tidak. Ini tidak boleh hanya jadi pemikiran tentunya, tapi juga memacu diriku untuk terus berbuat baik sedikit demi sedikit setiap harinya.

*)Bahasa Jepang mengenal tingkatan-tingkatan dalam berbahasa, disesuaikan dengan situasi pembicaraan yang sedang dilakukan dan siapa lawan bicara kita. Bahasa penghormatan yang dilakukan oleh pemandu wisata di dalam bus ini bisa disebut Tei-nei atau keigo, yang digunakan sebagai penghormatan dari pembicara kepada lawan bicara. Kosa kata yang disampaikan biasanya tidak sama dengan kata-kata yang digunakan dalam bahasa sehari-hari (futsuu-kei).

Sebagai contoh kecil, "silakan lihat" dalam bahasa sehari-hari adalah mite kudasai, tapi dalam keigo, digunakan kata goran kudasai. Nah, berbeda sekali bukan? Jadi terasa seperti bahasa Sunda dengan undak-usuk basanya, atau bahasa Jawa yang juga mengenal tingkatan Jawa ngoko, kromo, dan kromo inggil. ;)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun