Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Orang Jepang Sejati

3 Februari 2018   14:15 Diperbarui: 3 Februari 2018   14:28 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kayo dan Yuki bersama Ibu, menikmati bubur ayam.

"Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal mengenal. ..." (Q.S. 49, Al Hujuraat : 13)

Basshi adalah panggilan akrab untuk Tetsuharu Koitabashi, kawan karib tutorku yang juga menjadi kawan baikku. Dia adalah seorang laki-laki perperawakan tinggi besar untuk ukuran orang Jepang, tapi berkepribadian sangat halus. Berkulit kuning dengan mata sipit yang khas dan tutur kata yang tak bisa lepas dari logat Jepangnya. Dia adalah juga mahasiswa jurusan bahasa Inggris, sama seperti Hiro, tutorku. Jadi sebetulnya dia cukup paham bahasa Inggris dan bisa bercakap-cakap cukup lancar dalam bahasa Internasional itu. Tapi logat bicaranya kadangkala membuatku berpikir keras untuk mencerna apa yang dia maksud, walaupun itu hanya terjadi pada awal masa tinggalku di Jepang. Lama kelamaan, aku terbiasa dengan gaya bicara Jap-lish-nya dan juga orang Jepang kebanyakan. Jadi ingat beberapa kawan di Indonesia yang kadang berbicara bahasa Inggris dengan logat Jawa atau Sunda. Ah.. tidak jauh berbeda, rasanya. :)

Ciri khas yang selalu ditunjukkan oleh Basshi adalah gesture/gerakan tubuhnya pada saat bicara. Senyum selalu menghias bibirnya, dan berkali-kali dia meminta maaf sebelum bicara sambil mengusap-usap bagian belakang kepalanya dengan sebelah tangan. Tentu saja tidak lupa gerakan membungkuk atau sekedar mengangguk-angguk yang sudah menjadi satu kesatuan dalam perilakunya. Kadang lucu bila melihatnya. Terlihat sekali bahwa dia adalah seorang pribadi yang ramah, seorang Jepang sejati yang tidak ragu menunjukkan identitas dirinya. Lengkap dengan budaya ketimuran yang kental.

Di sisi lain, dia adalah juga seorang pekerja keras. Selain kuliah yang dijalaninya, dia pun melakukan pekerjaan sambilan, seperti semua orang Jepang pada umumnya. Betul! Pekerjaan terakhir yang kuketahui sedang ditekuninya adalah menjadi pramuniaga di salah satu cabang Yamada Denkidi dekat tempat tinggalnya. Dia memang sangat menyenangi berbagai peralatan elektronik, terutama komputer, dan dengan demikian dia menjadi orang yang tepat untuk pekerjaan yang dijalaninya. Saat ini, kudengar Basshi sudah bekerja sebagai guru bahasa Inggris sesuai dengan bidang keahliannya pula, di sebuah sekolah menengah atas. Kabarnya, dia menyukai pekerjaannya. Ganbatte ne!

Satu kawan lagi yang kupikir juga salah satu contoh tipikal orang Jepang adalah Kayoko Iso. Pada awalnya, dia adalah tutor dari salah seorang temanku, Teh Dini, seorang Indonesia juga yang kemudian pindah ke kampus Universitas Gunma di kota lain (Kiryu). Setelah itu, beberapa kali aku sempat bertemu dengan Kayo - nama panggilannya- di kampus.

Dia adalah seorang gadis muda yang enerjik, seperti tidak pernah kehabisan energi setiap harinya. Dia punya segudang kegiatan, mulai dari kegiatan komersil, formil, hingga sosial. Luar biasa! Selain kuliah, dia melakukan kegiatan sosial membimbing anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental di sebuah yayasan. Ini dilakukannya dua kali sepekan. Menurutnya, hal tersebut adalah pengalaman yang sangat berguna, karena memang sesuai dengan bidang yang dia pelajari di bangku kuliah, Pendidikan Luar Biasa.

Kayo pun ikut bergabung dengan tim kerja yang dikomandoi oleh dosen pembimbingku, semacam kepanitiaan kecil yang mengkoordinir beberapa kegiatan pendukung untuk anak-anak Brazil atau Peru yang bersekolah di Jepang. (Baca juga "Kiryu dan Oizumi"). Bersama tim ini, aku dan Kayo kadang bekerja bersama dalam beberapa proyek, dan menjadi lebih akrab karenanya.

Selain itu, dia pun masih aktif di klub kabaret putri yang dia ikuti sejak SMA, dan beberapa kali berpentas bersama kelompoknya. Aku sempat 2 kali menonton pertunjukannya.  Bagus! Terlihat sekali kesungguhan para pemainnya, hasil dari latihan intensif yang mereka lakukan hampir setiap hari menjelang hari-H. Tidak cukup dengan itu, dia pun menjalani kerja paruh waktu, entah di mana saja. Tapi yang pasti, dari hasil kerja paruh waktunya itu, dia bisa menabung cukup uang untuk membiayainya traveling ke berbagai negara, dan salah satunya Indonesia! Kami sempat bertemu lagi di Indonesia dan aku menyempatkan diri untuk menjadi guide-nya selama beberapa hari pada saat dia dan seorang temannya berkunjung ke Bandung.

Kayo dan Yuki bersama Ibu, menikmati bubur ayam.
Kayo dan Yuki bersama Ibu, menikmati bubur ayam.
Pada saat mereka di Bandung, Kayo dan Yuki, temannya itu, berkesempatan untuk berkenalan dengan murid-murid di sekolah tempatku mengajar. Murid-murid yang kukenal dengan cukup baik itu tidak kalah senangnya seperti Kayo dan Yuki yang memang ingin mengetahui kehidupan sekolah di Indonesia. Dengan melihat langsung kegiatan keseharian di sekolah kami, mereka memahami sebagian budaya kami, sebagaimana aku mengalami hal serupa ketika berkesempatan untuk berkunjung ke beberapa sekolah di Jepang. Baru disadarinya bahwa karakter murid-murid Jepang dan Indonesia sangat jauh berbeda, seperti yang pernah kusampaikan padanya.

Murid-murid Jepang, bahkan kelas 1 SD sekalipun, sudah terbiasa sangat tertib dan teratur mengerjakan berbagai hal. Sedangkan murid-murid di Indonesia sangat enerjik, sulit duduk diam, banyak bicara atau bertanya, dan masih perlu banyak diatur. Kayo dan Yuki yang mendapat kesempatan menyampaikan presentasi kecil tentang negaranya (seperti yang juga pernah kulakukan di Jepang), terlihat kewalahan menghadapi anak-anak itu, tapi tak bisa disembunyikannya keriangan tulus yang terpancar dari tatapan matanya. Ramah sekali.

Ciri khas Kayo adalah dia selalu berbicara dengan tutur kata yang lembut, nada bicara yang ramah, dan tak lupa mengiringinya dengan senyum manis. Matanya yang berbinar menunjukkan ekspresi tulus yang keluar dari hati. Sangat menyenangkan lawan bicaranya.

Melihat Kayo, aku seolah bercermin untuk melihat diriku sendiri. Apakah aku, sebagai seorang muslim, sudah memancarkan keramahan serupa, setidaknya kepada sesama muslim lainnya? Rasanya masih jauh panggang dari api. Kusadari gaya bicaraku yang tegas cenderung galak, mungkin menakutkan bagi sebagian orang, dan bisa menimbulkan salah persepsi. (Wah... gawat nih.) Aku masih 'menghemat' senyum, padahal senyum adalah sedekah yang paling murah, yang bisa dilakukan seorang muslim kepada saudaranya seiman, kapan saja. Kuingat-ingat lagi kawan-kawan muslim di sekitarku. Rasanya tidak jauh berbeda.

Ah... saat ini wajah muslim memang kurang ramah terasa. Jangankan kepada non-muslim, terhadap sesama muslim saja saling curiga dianggap sudah biasa. Tipu daya terkadang bersembunyi di balik keramahan semu. Tapi kubayangkan bahwa dunia akan lebih indah bila dihiasi dengan banyak senyum, sapa, dan salam. Indahnya... Mungkin sekaranglah saatnya mengubah persepsi itu. Malu aku sebagai orang Islam, bila ternyata masih belum bisa ramah dan menyenangkan hati orang lain. Bercermin dari sepenggal episode kehidupanku di negeri orang, aku sangat bersyukur berkesempatan menjalani hidup di Jepang, mengenal Basshi dan Kayo, tipikal orang Jepang sejati. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Insya Allah aku belajar banyak dari mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun