Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jadi Muslim di Negeri Orang

27 Januari 2018   16:35 Diperbarui: 27 Januari 2018   17:18 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presentasi tandem di sebuah Sekolah Dasar (Dokumentasi Pribadi)

Berada di lingkungan yang mayoritas non-muslim bahkan nyaris non-agamis membuatku sungguh merasa rindu suasana Islami di tanah air. Shalat berjamaah sulit dilakukan karena memang jamaahnya tidak berkumpul di satu tempat dan satu waktu. Komunitas Indonesia pada saat itu sangat sedikit. 

Dalam masa 6 bulan pertamaku di sana, hanya aku dan Faried, seorang mahasiswa program doctoral yang menjadi warga Indonesia di sana. Sebetulnya ada beberapa trainee lain yang sempat kutemui, namun kami tinggal di tempat yang saling berjauhan. Beberapa mahasiswa Malaysia menjadi kawan yang cukup kuakrabi, terutama karena kemiripan budaya dan bahasa yang kami miliki.

Ramadhan pertama di sana, kujalani nyaris tanpa kesan. Sahur dan berbuka kujalani sendiri atau kadang bersama seorang muslimah Tunisia yang menjadi tetanggaku di asrama mahasiswa asing yang dimiliki oleh kampus Universitas Gunma. 

Saat Idul Fitri, sedih sekali karena kami tidak bisa libur dari kegiatan kampus. Sesi belajar masih berjalan dan Jepang tidak mengenal libur Idul Fitri. Boro-boro libur untuk mudik... di hari rayanya saja tanggalan kalender tetap hitam. Jadi dengan berat hati, kami tetap mengikuti sesi belajar pada hari fitri itu. Ganbatte...!!!

Hal yang cukup membuatku terhibur adalah adanya undangan makan bersama dari kumpulan mahasiswa Malaysia yang jumlahnya cukup banyak di Maebashi. Mereka berbusana khas Malaysia berupa baju kurung panjang yang cantik-cantik. Aku pun berbusana rapi untuk hari istimewa itu, dengan rok batik panjang, plus perjuangan mengayuh sepeda menerjang angin Maebashi untuk datang ke acara yang diselenggarakan di ruang bersama kampus kami.  

Acara syukuran Idul Fitri yang diselenggarakan pada hari kedua lebaran itu dihadiri juga oleh beberapa mahasiswa Jepang dan mahasiswa asing lainnya. Hidangan yang disiapkan adalah hidangan melayu yang cukup memanjakan lidah. 

Opor dan lontong menjadi pengganti ketupat sayur yang menjadi hidangan khas lebaran. Kering bihun pedas dan laksa membuat lidah tamu-tamu berkebangsaan Jepang menjadi megap-megap kepedasan, namun beberapa jenis kue dan agar-agar santan menjadi penutup yang manis dari acara tersebut.

Ramadhan keduaku di sana, kujalani dengan lebih menyenangkan. Bertambahnya warga Indonesia yang belajar di sana membuat komunitas kami sedikit bertambah besar. Seorang peneliti dari sebuah lembaga pemerintah di Bandung sempat menjadi tetangga kamarku di asrama. 

Karena kami sama-sama lajang, beberapa kali kami sempat saling menginap setelah kami harus keluar dari asrama kampus dan tinggal di apartemen masing-masing, sedangkan Faried pun kemudian membawa istrinya, Leri, untuk tinggal di Maebashi dan bersama-sama mengambil program doktor. Aku dan Leri kemudian menjadi akrab juga dan beberapa kali saling berkunjung dan bereksperimen memasak bersama.

Acara buka bersama yang di Indonesia kadang sulit kuhadiri seluruhnya (karena diundang pada hari dan waktu yang bersamaan), di Jepang nyaris tak bisa kulakukan. Sesekali saja, aku dan seorang teman dari Indonesia atau Tunisia berbuka puasa bersama secara bergantian di kamar kami di asrama. 

Memang ada beberapa mahasiswa muslim dari Malaysia, juga kawan-kawan dari Pakistan, ataupun Mesir yang membuatku sangat merasakan artinya persaudaraan dalam Islam, tapi tetap saja jumlah kami relatif sedikit. Kerudung yang kukenakan membuat aku dan beberapa teman akhwat (terutama dari Malaysia dan Mesir) terlihat berbeda, dan lagi-lagi menimbulkan banyak pertanyaan.

Untuk memperkenalkan Indonesia, beberapa kali aku sempat menjadi pembicara (ehm!) di beberapa sekolah dan tempat lain. Biasanya sih sendiri, namun sempat juga mendapat 2 kali kesempatan 'berduet' dengan orang Malaysia karena kemiripan wilayah dan budaya kita. 

Tapi malah jadi minder ah, soalnya kawan duetku itu sudah sekitar 4 bahkan 7 tahun lebih tinggal di Jepang! Tentu saja kemampuan presentasi mereka telah teruji. 

Tapi apapun, tetap kusyukuri datangnya kesempatan berbicara di depan umum seperti itu. Dengan demikian, terbuka kesempatan untuk memberi penjelasan bahwa Islam tidak identik dengan teroris, selain berkesempatan pula untuk mengungkapkan sisi lain dari Islam. 

Mudah-mudahan terkuaklah tabir ketidakmengertian mereka, semoga Allah SWT memberi hidayah kepada orang-orang yang mau menerima petunjuk. Amiin.

Di luar forum resmi seperti itu, tentu saja banyak pertanyaan berkaitan dengan kemuslimanku. Pertanyaan mereka tidak hanya berkaitan dengan shalat, dan shaum, tapi juga konsep poligami serta lagi-lagi...  kerudung yang kukenakan. Kadang lucu juga ketika mendengar komentar mereka, 

"Ah... hari Jumat begini harus berkerudung hitam ya?" atau "Oh... kalau Senin harus berkerudung putih ya?" Padahal itu hanya terkait dengan persediaan kerudung yang kubawa. Untuk efisiensi, aku memang membawa kerudung rata-rata berwarna netral agar bisa dipadu-padan dengan beragam warna busana. Bukan karena hari tertentu lah...

Satu pertanyaan yang jadi sulit kujawab adalah ketika orang mempertanyakan mengapa tidak semua orang Indonesia berkerudung? Dari 3 perempuan Indonesia yang tinggal di Maebashi, memang cuma aku yang berkerudung. 

Masalah kerudung ini, kusadari memang dipahami dan disikapi secara berbeda oleh umat muslim sendiri. Kadang, aku tak berani menjawab langsung pertanyaan tentang hal ini jika teman yang dimaksud juga ikut hadir. Jadi, silakan jawab deh teman-teman!

Kebiasaan makan dan shaum Ramadhan pun kerap menjadi pertanyaan karena mereka melihat adanya perbedaan pelaksanaan puasa dari sesama muslim. Misalnya seorang muslimah Turki, tanpa ragu dan malu-malu, berebut sisa sake yang dihidangkan di suatu pesta, dan dengan bangga menunjukkan 'hasil perjuangannya'.

 Dia pula yang tanpa ragu makan siang di ruang rekreasi bersama di kampus pada bulan Ramadhan pada saat muslim yang lain sedang shaum. Pelaksanaan shaum ini juga bisa membuat sebagian orang tercengang-cengang. Ketika kami sampaikan bahwa umat muslim harus berpuasa sebulan penuh, mereka terkejut-kejut. 

Mereka pikir, kita tidak boleh makan dan minum sama sekali selama sebulan itu, tapi masih boleh minum. Ketika mereka tahu bahwa kita hanya berpantang makan dan minum sejak pagi hingga sore hari, mereka masih tidak mengerti, apa maksud kegiatan itu? Wah... perlu penjelasan panjang memang, untuk mengerti konsep keTuhanan dan pengabdian serta ibadah kepada-Nya. 

Seorang kawan yang berasal dari Korea berkomentar, "Sepertinya saya tidak akan sanggup berpuasa. Saya bisa mati kalau tidak makan-minum seharian seperti itu." Eheu... tidak sebegitunya juga kali, sist... ;)

Satu pengalaman mengharukan adalah ketika aku berkesempatan untuk mengikuti shalat Ied di kedutaan besar Indonesia. Di malam takbiran, aku numpang menginap di asrama seorang kawan. Kurang syahdu rasanya tanpa adanya gema takbir sepanjang malam. 

Paginya, setelah berjuang di kepadatan lalu lintas Tokyo, disambung dengan jalan kaki yang cukup melelahkan (apalagi karena dilakukan dengan bergegas), sampailah aku dan beberapa kawan di halaman Balai Indonesia. Pagi itu gerimis, tapi tentu saja 'the show must go on'alias shalat Ied harus tetap dilangsungkan. 

Aku sebetulnya sudah ketinggalan shalat, tapi ... masa mesti masbuk sih? Tapi ternyata ada shalat Ied gelombang kedua untuk memfasilitasi jamaah yang tidak sempat mengikuti shalat Ied di kesempatan pertama. Seusai shalat, aku berbaur dengan jamaah lain di aula gedung untuk menikmati sajian makanan khas Indonesia ataupun sekedar kue-kue camilan sambil berbincang-bincang dengan kawan sesama muslim lain, yang notabene baru kutemui pada saat itu. 

Betul-betul serasa saudara deh. Walaupun tidak pernah saling kenal sebelumnya, tapi saling menyapa ramah. Kalau saja muslim di Indonesia bisa seperti ini, indahnya...

Bersama Daichi, seorang muridku di Indonesia, bertemu di area Balai Indonesia (Dokumentasi Pribadi)
Bersama Daichi, seorang muridku di Indonesia, bertemu di area Balai Indonesia (Dokumentasi Pribadi)
Siang itu aku langsung pulang ke Maebashi dengan kereta api. Di stasiun, hilir-mudik wajah-wajah melayu yang sedang merasakan keriaan yang sama, bahagia di hari raya. Kereta api menuju Maebashi yang kutumpangi nyaris penuh dengan orang Indonesia. 

Kalau kita memejamkan mata, jadi seperti mudik rasanya, karena rata-rata mereka berbicara dengan bahasa daerah masing-masing. Kukenali Bahasa Minang, Bahasa Batak, Sunda, Jawa dan lainnya. Lucu juga. 

Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. 33, Al Ahzab: 59)

Hari itu, Tokyo berasa Indonesia. Tapi selepas perjalanan 2 jam menuju kota tempat tinggalku, aku kembali menjadi 'alien' di belantara Gunma, jadi muslim minoritas di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun