Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kiryu dan Oizumi

23 Desember 2017   05:45 Diperbarui: 23 Desember 2017   08:11 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian aktivis Friendship Project

Masa training yang kujalani selama 1,5 tahun sungguh membawa manfaat besar. Bukan hanya ilmu di bangku kuliah yang kudapat, tapi juga ilmu berinteraksi dengan sesama yang membuat hidup lebih teratur... dan nyaman lho! Beberapa contoh yang kuungkap di bawah ini bisa jadi cermin buat kita, bangsa Indonesia yang konon berpenduduk ramah-tamah. (Masih) benarkah?

Di bulan kedua kedatanganku di Jepang, Sensei mengundangku untuk ikut dalam proyek kegiatannya di kota Kiryu, kampus lain Gunma University. Ya... semacam kampus Jatinangor Unpad yang terpisah dari Dipati Ukur, atau kampus Depok UI yang berjarak cukup jauh dari kampus Salemba. 

Seperti itulah kira-kira gambaran kampus Universitas Gunma Maebashi dan Kiryu. Suasana kota yang berbeda, dengan hanya berbekal alamat kampus tidak menjadi petunjuk yang jelas bagiku dan seorang teman, seorang Chinese-American yang juga belum begitu lancar berbahasa Jepang. Pagi itu kami memang sudah berjanji untuk berangkat sendiri (tepatnya berdua) ke kota Kiryu, bermodal optimisme dan sedikit nekaaat.

Dengan kereta api kami menuju Kiryu, dan minta petunjuk pada petugas loket di stasiun tujuan. Kampus Kiryu terletak agak di bagian utara kota, melewati beberapa ruas jalan dan beberapa persimpangan serta belokan, menurut peta yang kami dapat dari petugas stasiun (waktu belum musim google map-lah :p). Hmm... 

Ketika kami menanyakan arah pada seorang bapak, beliau dengan sangat ramah menunjukkan arah yang dimaksud, bahkan ikut berjalan sepanjang beberapa ruas jalan dengan kami. Ada pula seorang ibu yang tanpa diminta ikut nimbrung untuk memberi penjelasan. Ah... sungguh pengalaman yang melegakan. 

Sampai kampus Kiryu, alhamdulillah ternyata kami tepat waktu, dan bisa ikut serta mengikuti briefing singkat yang disampaikan oleh senseiku. Terima kasih kepada para penunjuk jalanku. ;) Setelah momen itu, beberapa kali pula aku berkesempatan ke kota Kiryu untuk mengunjungi beberapa teman yang memang tinggal di kota itu. Kenangan manis atas keramahan warganya membuatku merasa nyaman datang ke kota tersebut berkali-kali.

Satu kota lagi yang menarik perhatianku adalah kota Oizumi, sebuah kota kecil di sebelah utara Gunma. Di kota ini terdapat komunitas orang asing yang cukup besar, terutama warga negara imigran dari Brazil atau Peru. 

Dengan demikian, bahasa kedua di kota ini adalah bahasa Portugis atau Spanyol. Balai kota memiliki penterjemah resmi yang menguasai kedua bahasa tersebut. Penduduknya pun dengan nyaman bisa hidup di sana walaupun mereka tidak cukup mengerti bahasa Jepang, karena tetangga sebelah menyebelah, juga berbagai toko dan kantor, dikelola oleh orang-orang dari negara mereka. 

Bahkan petunjuk jalan pun ditulis dalam 2 bahasa, Jepang dan Portugis. Orang-orang Peru yang berbahasa Spanyol sebagai bahasa ibu pun tidak merasa kesulitan karena kedekatan rumpun bahasa dengan bahasa Portugis, sehingga mereka dapat mengerti petunjuk yang disediakan dalam bahasa Portugis.

Sensei mempunyai proyek binaan di kota tersebut, yang melibatkan tim kerja mahasiswanya untuk berkunjung ke kota tersebut pada saat-saat tertentu, biasanya untuk penyelenggaraan kegiatan supportif untuk warga negara asing di sana. Kami pun tergabung dalam sebuah klub semacam unit kegiatan mahasiswa yang dinamai Friendship Project. Menyenangkan bergabung di klub ini.

Aku dan Claudia menjadi 2 orang asing dalam tim pimpinan sensei tersebut. Claudia adalah seorang psikolog keturunan Jepang dari Brazil yang juga hanya paham bahasa percakapan sederhana. Kadang kami frustrasi mendengarkan penjelasan sensei secara panjang-lebar dalam bahasa Jepang tanpa bisa mengerti keseluruhan isi pembicaraannya. 

Dengan Claudia, aku bisa saling curhat ketika menjalani tugas bersama dari Sensei. Kebetulan pula, kami sering diberi tugas bersama untuk berkunjung ke kota Oizumi, wilayah yang cukup padat dengan pendatang dari Amerika Selatan, objek penelitian Sensei kami. Kadangkala, kami diberi tugas yang tidak kami pahami maksudnya karena ketiadaan kaitan antara kegiatan tersebut dengan program penelitian kami. 

Dalam hal ini, tema school culture yang ingin saya pelajari hanya jadi framework yang buram dan mengawang-awang. Bersama Claudia, kami saling curhat karena 'frustrasi' dengan tugas yang Sensei berikan. Bingung karena tidak tahu cara menyampaikan harapan dan keinginan kami, juga menanyakan tujuan penugasan tersebut, terutama dengan keterbatasan kosa kata yang kami miliki. Frustrasi yang sesungguhnya.

Saat berada di kota Oizumi, Claudia merasa terhibur karena banyaknya pendatang yang juga berasal dari Brazil dan dengan mereka dia bisa dengan bebasnya bercerita tentang segala macam, tanpa dibatasi oleh kendala bahasa. 

Duh... sempat iri juga, tapi bukankah iri hanya pertanda ketidakmampuan? Ah... sedikit demi sedikit, aku berhasil menyisihkan rasa iri dari dalam hatiku.

Satu hal yang menjadi penghiburku adalah tersedianya beragam produk makanan dari Indonesia di berbagai toko dan supermarket di sana. Rasanya senang sekali ketika menemukan beragam varian rasa mi instant di rak pajangan supermarket tertentu di kota Oizumi, hanya di sana, tidak di kota Maebashi. 

Selama masa tinggalku di Jepang, aku tak berani membeli apalagi memakan mi instant yang disebut ramen di sana karena kehalalannya yang sangat meragukan. Kuah ramen tersebut bisa dipastikan mengandung minyak babi yang tentu saja tak kurelakan untuk melewati kerongkonganku. Dengan adanya mi instant produk Indonesia itu, aku bisa memuaskan kangenku pada mi rasa pecel atau mi goreng yang jadi favoritku. 

Di sana aku temukan pula deretan botol sirup buatan Indonesia, sambal botol, bumbu gado-gado (yang ternyata tak kutemukan di Indonesia), bumbu masak siap pakai untuk beragam masakan seperti opor, nasi kuning, nasi goreng, kari ayam, dsb, sampai singkong! Ya betul, singkong. Diimpor ke Jepang! 

Tapi tak 'tega' kubeli karena harganya yang cukup lumayan. Duh, singkong siap goreng bumbu kuning ini di Indonesia masuk kategori makanan kampung, tapi di Jepang justru jadi makanan langka yang mmuahhal! Mungkin peluang ekspor masih sangat terbuka untuk pengusaha makanan halal. 

Ada yang mau mengambil kesempatan ini? Warga Negara Indonesia di Kiryu dan Oizumi pasti akan dengan senang hati menyambut tawaran ini. Ah... inginnya kembali lagi ke sana. Mungkin bisa kuucapkan 'sampai bertemu lagi di sana'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun