Hari-hari pertamaku di Jepang diawali dengan perburuan dan pemilihan makanan halal secara cermat. Harus itu! Sebetulnya aku berbekal berbungkus-bungkus abon dan serundeng dari Indonesia, tapi tak bisa memasak nasi karena belum memiliki rice cooker, sedangkan di Jepang tidak ada warung nasi yang bisa menjual nasi dan sayur saja. Berharap sih ada warteg atau kedai naspad di sana (uhm, peluang bisnis nih... ;) ).Â
Saat itu aku mencukupkan diri dengan makan onigiri (nasi kepal) isi tuna. Enak, dan Insya Allah halal, referensi beberapa teman Indonesia sebelum kami berpisah di bandara Narita tempo hari. Kadang-kadang aku menyempatkan diri memasak bubur untuk sarapan, dengan campuran sayur dan udang. Enak juga lho.Â
Setelah masa kuliah (tepatnya training) dimulai, aku diberitahu bahwa aku mendapatkan seorang tutor selama aku menjalani masa training di sana. Tutorku saat itu bernama Megumi Nakai, seorang mahasiswi tingkat akhir jurusan bahasa Inggris. Dia seorang gadis muda yang aktif dengan berbagai kegiatan hingga sebetulnya jarang berkesempatan untuk bertemu secara rutin denganku, terlebih lagi dia sedang menyelesaikan tugas akhirnya sebagai syarat kelulusan.Â
Dalam satu kesempatan, 'kubajak' dia untuk menemaniku membeli rice cooker, dan tentu saja dia tahu tempat terbaik untuk membeli alat-alat kebutuhan rumah tangga seperti itu. Yamada Denki jadi pilihan terbaik. Dia membawaku dengan mobilnya ke salah satu jaringan toko barang-barang elektronik besar, yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari asrama tempatku tinggal itu. Setelah berkeliling sebentar untuk melihat beberapa model rice cooker, aku memutuskan untuk membeli satu yang berukuran kecil.Â
Ternyata, buku panduannya tidak disertai dengan petunjuk berbahasa Inggris, hanya bahasa Jepang yang penuh dengan berbagai karakter kanji yang rumit dan belum kupelajari. Tapi kupikir... apa susahnya sih memasak nasi? Tinggal memasukkan nasi dan air, tekan tombol on, tunggu beberapa saat, maka beras akan menjelma menjadi nasi yang gurih. Begitu pikirku saat itu. Dan pada hari itu juga, aku bisa menikmati nasi putih yang harum... dengan lauk yang kubawa dari Indonesia. Ennak!Â
Malam harinya, kumatikan alat itu bahkan mencabut kabelnya dari aliran listrik. Niatnya sih menghemat energi, supaya rice cooker yang merangkap warmeritu tidak menyala semalaman. Paginya, setelah bangun untuk shalat subuh, kunyalakan kembali rice cooker miniku dengan menekan tombol timer, 10 menit! Ternyata, setelah 10 menit usai, nasi di dalamnya belum hangat.Â
Maka kutekan tombol lainnya, dan kutunggu beberapa saat. Eh.. ternyata nasi hangat masih belum bisa kudapatkan. Pijit tombol sana-sini, dan akhirnya tak sabar, kumakan saja nasi dingin itu. Apa boleh buat. Sore hari sepulang dari kampus, kucoba lagi mengutak-atik beberapa tombol di badan rice cooker baruku itu. Lampu indikatornya menyala, tapi nasi panas tak kunjung kudapatkan. Hmh! Ada apa gerangan?
Akhirnya kuambil semua nasi di dalamnya, niatnya akan kubuat nasi goreng, soalnya aku ingin makanan panas. Tapi... aku terkejut mendapati arang di bagian bawah wadah berlapis teflon itu. Ya, arang, bukan kerak! Wah... ini tentu pertanda tidak baik. Aku malu untuk minta tolong dan mengakui kesalahanku (secepat itu) pada tutorku, walaupun aku tahu dia sangat mungkin bisa menolongku.
 Maka kubiarkan waktu berlalu. Satu pekan... dua pekan... hingga nyaris sebulan, dan selama itu aku lagi-lagi memuaskan diri dengan makan modivikasi bubur manado yang sarat sayuran atau onigiri tuna. Namun akhirnya dengan malu-malu, aku bertemu kembali dengan tutorku, dan menyampaikan masalah rice cooker-ku padanya. Dia tersenyum-senyum saja, dan tetap bersedia membantuku.Â
Lagi, dibawanya aku ke toko Yamada Denki. Kebetulan, akupun berniat untuk membeli kamus elektronik. Megumi juga yang menjadi sumber referensi. Dia sungguh-sungguh memberi bantuan yang diperlukan. Makoto ni arigatou gozaimashita.*) Saat itu, jenis kamus elektronik yang kuinginkan sedang tidak tersedia, tapi dengan membayar uang muka, pihak Yamada Denki berjanji untuk menghubungiku kembali bila benda itu siap kubawa. Maka hari itu aku pulang dengan tangan hampa.
 Maksudnya... rice cooker kutinggal di sana untuk diperbaiki, sedangkan kamus pun belum kudapatkan. Beberapa hari kemudian, aku mendapatkan telefon dari toko Yamada Denki, sesuai dengan janji mereka.Â
Sore itu juga, kukayuh sepedaku dengan girang ke sana. Tanpa banyak bercakap-cakap, segera kulunasi pembayaran kamusku dan kubawa pulang kamus kecil dengan warna favorit yang kuidamkan itu. Kembali ke kamar di asramaku yang nyaman, kubuka paket kamus baruku. Teorinya, aku tinggal memasukkan baterai ke tempat yang tersedia, menekan tombol on, dan aku bisa segera menggunakan kamus itu. Tapi setelah prosedur sederhana itu kulakukan, layar LCD kecilnya tak menunjukkan apapun! Hm... kucoba lagi beberapa kali, akhirnya kubungkus ulang kamus itu, dan kubawa kembali ke Yamada Denki.Â
Toko sudah hampir tutup saat itu, sekitar pukul 7 malam. Kuhampiri salah satu pramuniaga toko, dan kusampaikan masalahku. Tepatnya, aku pura-pura minta diajari cara penggunakan barang baruku itu. Dengan percaya diri, sang pramuniaga memperagakan cara yang benar untuk mengoperasikan benda itu. Katanya," Begini... masukkan baterai, kemudian tombol onditekan, lalu... EH??" dia pun bingung karena tidak terjadi apapun pada benda yang dia pegang saat itu.
Dia ulangi prosedur standar itu, dan tetap saja sebuah "EH" besar mengakiri kalimatnya. Dia kemudian menekan tombol reset, dan tetap ... tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa benda itu siap berfungsi. Dia kemudian menghubungi supervisornya yang terlihat mulai gelisah karena masih ada pelanggan di dalam tokonya dengan permasalahan yang belum tuntas.Â
Aku berusaha menjelaskan kembali permasalahan yang kuhadapi, dengan mencampur bahasa Inggris dan Jepang. Sang supervisor tampaknya sedikit mengerti bahasa Inggris, dan tidak kalah keras berusaha untuk memberi penjelasan yang memuaskan untukku. Luar biasa...Â
"Kami akan menggantinya dengan produk yang serupa, nona." Kira-kira demikianlah menurut sang supervisor. "Tapi saya ingin yang berwarna hijau." Tukasku.Â
"Bisakah saya tinggalkan saja kamus ini di sini, dan saya ambil kembali penggantinya kapan-kapan bila stok sudah tersedia?" lanjutku kemudian.Â
"Harap tunggu. Pekerja kami akan segera kembali untuk mengambil yang baru di toko yang lain." Ujarnya lagi. Dia kemudian menunjukkan sebuah peta dari katalog tokonya, yang menunjukkan lokasi Yamada Denki lainnya. Memang tidak jauh dari lokasi toko yang kudatangi saat itu. Kemudian aku paham dari penjelasannya yang terbata-bata bahwa pekerjanya sedang berlari (!!!) ke toko tersebut untuk mencari kamus elektronik yang kuinginkan. Wah... sungguh sebuah aksi yang tak terduga. Jadi agak tidak enak hati nih karena jadi merepotkan mereka. Padahal toko sudah tutup lho. Saat itu aku adalah customer satu-satunya di sana.Â
Tak berapa lama kemudian, pelayan toko tadi datang dengan terengah-engah. Di tangannya tergenggam kotak berisi kamus elektronik yang kuinginkan. Diserahkannya dengan takzim kepada sang supervisor yang terlihat puas. Mereka buka kotak itu di depanku, memasukkan baterai, tekan tombol on, dan voila... aku mendapatkan kamus yang berfungsi baik.Â
Beberapa hari kemudian, aku kembali ke sana untuk mengambil rice cooker yang sudah selesai diperbaiki. Beberapa bagian dalam memang terpaksa diganti, tapi aku tidak perlu membayar bea apapun karena servis tersebut sudah termasuk ke dalam garansi 1 tahun yang mereka berikan. Senangnya...Â
Puas sekali berbelanja di Yamada Denki. Berkali-kali aku kembali ke sana untuk membeli berbagai barang keperluan rumah tangga lainnya. Mulai dari rice cooker, vacuum cleaner portable, hingga karpet listrik yang terpaksa kutinggal di sana (karena faktor tegangan listrik yang berbeda antara Jepang dan Indonesia), Discmanyang kudapat sebagai bonus pembelian laptop, hingga walkman yang dilengkapi perekam yang masih setia menemaniku hingga saat ini. Semuanya menyimpan memori yang tak akan terlupa.Â
Bukan hanya karena benda-benda itu mengingatkan aku pada satu periode kehidupan saat aku berada di negeri orang, tapi lebih kepada kenangan indahnya pelayanan yang mereka berikan. Dedikasi mereka pada pekerjaan, sungguh menjadi servis yang memuaskan bagi pelanggan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H