Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Catatan Seusai Hari Guru

26 November 2017   06:34 Diperbarui: 26 November 2017   15:33 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk mengenang lintasan memori dan inspirasi yang tak kenal henti, dari guru-guru masa kecil hingga kini. Mulai ketika aku bersekolah hingga kini giliranku yang jadi pengajar di sekolah. Terima kasihku untuk kalian semua, guru-guru sejatiku.

Sejak kecil, aku ingin menjadi guru. Banyak yang menginspirasiku. Tidak hanya ibuku, yang juga seorang guru di Sekolah Kesejahteraan Putri (yang kini sudah berganti menjadi SMP 'reguler'), atau ayah yang juga sempat menjadi dosen di salah satu Perguruan Tinggi Swasta, tapi juga banyak guru masa kecilku. 

Dulu, frase bahwa 'guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa' rasanya hanya sekedar lewat di benak tanpa makna mendalam, sekedar dihapal tanpa mengerti arti. Tapi sekarang begitu kupahami dan kusyukuri keberadaan orang-orang hebat yang pernah jadi bagian dari pendidikanku, menyentuh dan menempaku hingga seperti sekarang ini. Hmm... rasanya aku pun bukan orang luar biasa siih, tapi orang Sunda bilang sih, 'sakieu oge tos uyuhan.' (sebegini juga sudah lumayaan ;) )

Menuliskan sosok guru-guru yang pernah mengajarku tentunya akan jadi daftar panjang, tapi kucoba ceritakan beberapa di antara mereka, yang punya kesan mendalam bagiku, sebagai jejak . 

Bu Ida. Beliau adalah wali kelasku di kelas 1 dan 3 SD. Tulisan tangannya begitu indah, membuatku berusaha untuk mencontohnya. Guru kelas 1 tentu mengajari basicmembaca dan menulis. Beliau sungguh berjasa membuatku makin lancar membaca, menulis dan berhitung. Alhamdulillah. Ada pula Bu Haryati yang begitu sabar. Beliau adalah guru wali kelas ketika aku duduk di kelas 4. Saat beliau mengikuti proses seleksi guru teladan, beliau pun tidak segan bertanya padaku, yang notabene adalah muridnya. 

Saat itu beliau bertanya tentang urutan dan gerakan senam kesejahteraan jasmani. Entah beliau memang belum terlalu hapal, atau justru malah ngetes aku yang tampak sporty. Hahaa... enggak banget, sebetulnya :p Guru berkesan lainnya adalah Pak Ero, yang jadi wali kelasku di kelas 5 dan 6. 

Kuingat betul, beliau juga yang menulisi ijazah kelulusan kami, kukenali dari tulisan tangannya. Selain itu, ada juga guru-guru praktikan dari SPG yang hanya dua-tiga bulan berinteraksi dengan kami di SD tepi sungai Citarum yang kerap libur saat musim hujan mencapai puncaknya.

Di masa SMP ada bu Titiek Suciati yang sangat enerjik. Postur tubuhnya yang tak begitu tinggi tak membuatnya rendah diri. Beliau justru sangat percaya diri karena memang menguasai materi (IPS) yang diajarkannya. 

Dengan suara nyaring, beliau selalu penuh semangat masuk ke kelas mengajari kami yang malas-malasan mempelajari semua materi hapalan itu. :p Selain itu, sebagai pembina pramuka, beliau ternyata sangat dekat dengan kami, dan tak henti-henti memberi semangat saat kami mewakili sekolah untuk berlomba di tingkat ranting, tingkat cabang kodya Bandung, hingga Jamnas '86.

Di SMA? Hmm... ada 'guru-guru galak' yang justru bisa sangat sistematis menyampaikan materi. Pak Iskandar Daud yang mengajar Fisika. Aku cukup mengerti materi mekanika fluida 'gara-gara' beliau (walaupun sekarang lupa lagi karena nggak aplikatif di saat ini :p). Ada juga pak Suherman yang mengajar matematika. 

Guru 'lempeng' ini mengajarkan konsep rumus luas lingkaran dengan begitu jelas, sehingga terbukti bahwa nilai phiitu adalah 22/7 atau 3,14. Seringkali beliau menjelaskan materi pelajaran tanpa memandang kami, murid-muridnya, dan tertawa pada lelucon (garingnya) sendiri, membuat kami ikut tertawa yang kadang hanya karena alasan kesopanan atau memang tertawa karena... lucu ya, Pak Suhe ternyata bisa tertawa juga. Selain mereka, ada pula Bu Ida yang ramah sebagai wali kelas kami di kelas 2. Beliau pun sangat menguasai bidangnya, Kimia. Rasanya, aku jadi lebih suka Kimia karena beliau.

Masa kuliah, begitu banyak guru-guru berkesan yang sukses menyentuh hidupku. Pak Priyanto (alm), Pak Primadi, Pak Alfonso, Pak Bambang, Pak Pirous, Mbak Riama, Mbak Ifa, wah... pendeknya sih semua! Masa kuliah dengan dunia yang berbeda membuatku sangat menghargai setiap momennya. 

Sementara itu, teman-teman pun jadi sumber belajarku. Vera, Ocha, dan segenap teman-teman Grades bahkan keluarga besar FSRD 90. Dari mereka aku belajar tips dan trik di mata kuliah tertentu. Sementara itu, di tempat kos dan asrama, tak sedikit pula teman-teman seperjuangan yang membuatku berkaca diri dan belajar sedikit ataupun banyak dari mereka. Belajar tentang kehidupan.

Setelah menjadi sarjana, aku kembali memperjuangkan cita-cita menjadi guru. Tuhan membukakan jalan untukku. Salman Al Farisi membuka kesempatan bagiku untuk menjadi guru seperti cita-cita masa kecilku dahulu.

Sebagai seseorang yang bukan lulusan dari kependidikan, aku harus belajar cepat untuk mengejar ketinggalan dari teman lain yang sudah mempelajarinya lebih dulu di bangku kuliah. Pak Syamsul (alm) telah menjadi mentor yang baik. Demikian juga teh Dewi Ratna Suminar (almh) yang tidak hanya menjadi mentor, tapi juga kakak, bahkan 'penasihat spiritual'. 

Semoga Allah SWT merahmati mereka, menerima amal ibadahnya dan memberi tempat terbaik di sisi-Nya. Amiin. Sementara itu, seluruh kolega juga menjadi guru yang tak kalah luar biasa. Berkawan dengan mereka, aku belajar banyak. Terima kasih untuk teman-teman terbaikku. Semoga Allah selalu merahmatimu.

Yang tak bisa dilupakan, murid-muridku ternyata sangat bisa menjadi guru sejatiku. Dari mereka aku belajar sabar. Dari mereka aku belajar (lebih) benar. Dari mereka aku juga belajar tegar. Berinteraksi dengan mereka di masa lalu juga menjadi masa-masa belajarku, membuatku menjadi seperti sekarang ini. Dan 'melihat' mereka di masa kini, membuatku bangga dan bahagia, bahwa aku telah ikut serta dalam proses pendewasaan mereka, menyentuh sejejak sejarah dalam rentang hidup mereka. Ini sungguh perasaan yang luar biasa. Terima kasihku untuk kalian semua, guru-guru sejatiku.

Seluruh rangkaian perjalanan sebagai guru ini menginsipariku untuk menciptakan lagu untuk kalian. Dengan tergesa hingga mengabaikan kualitas, kurekam lagu ini dan sok PeDe saja, mengunggahnya di akun youtube. Berikut ini liriknya kutuliskan, sementara lagu (dengan suara dan kualitas bermusik seadanya) bisa 'dinikmati' di tautan berikut ini. Lagu ini untuk kalian, guru-guru sejatiku. Seberapa pun kontribusi kalian terhadap perjalanan hidupku, semoga itu jadi amal jariah yang pahalanya terus mengalir bahkan hingga akhir zaman.


Kulihat cahaya di bola mata guruku

Bersinar terangi dunia kecilku

Walau kadang kubilang ku tak bisa

Kau semangati aku untuk melangkah maju

Gapai citaku jangan pernah ragu



Kuingin sepertimu, bapak-ibu guru

Engkau ajarkan ilmu penuntun jalan hidupku

Nantikan aku kelak melangkah kaki bersama

Wujudkan cita-citaku



Kulihat pelangi di derap langkah muridku

Ceria warnai hari-hariku

Walau terkadang kaubilang kau tak bisa

Yakinkanlah dirimu jadi inspirasiku

Dirimu guru sejatiku



Terima kasihku, bapak-ibu guru

Tanpa ada dirimu, apa jadinya diriku

Terima kasihku, murid-murid kecilku

Doaku bersamamu,

Selalu di langkahmu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun