Hari-hari awal di Jepang, belum ada kegiatan rutin di kampus, maka kami sempatkan untuk berjalan-jalan keliling tempat tinggal kami untuk mengenali suasana. Ternyata, toko-toko di Jepang baru memulai aktivitas pada pukul 10 pagi, walaupun banyak sekali toko 24 jam serupa Circle K (convenience store) dengan beragam nama. Ketika kami tanyai warga sekitar apakah mereka dapat berbahasa Inggris, ternyata jawabannya mengejutkan. Semua orang yang kami tanyai (bahkan kemudian sebagian besar mahasiswa di kampus pun memberi jawaban serupa), menjawab "Dame!" untuk pertanyaan tersebut yang bisa diartikan dengan 'tidak'. Bahkan beberapa di antara mereka menjawab dengan kibasan tangan di depan dada mereka yang menunjukkan seolah-olah kita dilarang untuk berbahasa asing. O-ow... Pada saat itulah aku baru mulai khawatir mengenai bagaimana aku akan menjalani kehidupan di Jepang.
Pada awalnya, kupikir rata-rata orang Jepang pasti bisa berbahasa Inggris, mengingat negaranya yang sudah maju terutama di sektor industri otomotif dan elektronik yang produknya dilempar ke seluruh penjuru dunia. Menurut pemahamanku pada saat sebelum keberangkatan, tentulah penduduk negaranya pun mahir berbahasa internasional. Tapi ternyata aku salah besar! Aku yang hanya berbekal sedikiiiiit kemampuan berbahasa Jepang, masih belum bisa berkomunikasi dengan bahasa mereka. Padahal di kandang kambing harus mengembik, dan di kandang ayam harus berkotek. Maka di negara Jepang pun kita harus berbahasa Jepang. Tidak ada pilihan lain. Akupun bertekad untuk menguasai bahasa tersebut.
Ya, inilah Jepang, selamat datang! Di negeri yang ramah, tapi sebenarnya 'introvert'. Negeri dengan pertumbuhan teknologi yang pesat, namun masih memegang teguh bahasa dan tradisinya. Dengan penduduk yang tidak mengenal kata gaptek (gagap teknologi) karena sangat familiar dengan produk-produk berteknologi tinggi, namun tetap sangat santun berbahasa Jepang sebagai bahasa ibu mereka, tidak lantas sok kebarat-baratan. Berpendirian teguh! Akankan penduduk Indonesia seperti itu?
Senang dan bangga sekali bisa menonton kesenian negeri sendiri dibawakan di negeri orang. Surprise! Selain itu, aku dan Barbara juga berkesempatan untuk mengenakan kimono selama 20 menit dan berfoto, gratis! Beberapa orang tertarik untuk memotret kami jugaSalah seorang dari mereka rupanya adalah fotografer media daerah, sehingga beberapa kali foto kami menghiasi berita dan pengumuman mengenai acara tersebut. Mungkin karena momen yang tertangkap menjadi momen yang unik. Dua orang berbeda bangsa, yang satu berambut pirang sementara yang lainnya berkerudung, namun keduanya mengenakan kimono yang sama sekali bukan basis budaya kami. Lucu juga. Di negeri sendiri, aku malah belum pernah nampang di koran lho. Hehe...
Teringat kembali bahwa bahkan aku pun sudah teramat jarang mengenakan kebaya atau baju kurung yang menjadi lambang pakaian nasional. Bukannya tidak cinta, tapi lebih pada pertimbangan praktis saja, selain syar-i. (Kebaya kan seksi...) Dengan kerudung yang kukenakan, aku biasa mengenakan busana yang praktis, biasanya berupa tunik dan rok, namun kemudian berubah ketika aku berada di Jepang.
Alat transportasiku sehari-hari di sana adalah sepeda, yang dengan demikian akan sangat menyulitkan bila harus bersepeda dengan rok panjang. Selain itu, angin Gunma terkenal kencang, yang akan menjadi faktor penghambat aktivitas gerakku di atas sadel. Selain akan membuatku sangat kerepotan, juga berbahaya! Apakah dengan berpakaian ala barat membuat isi kepala dan hatiku ikut kebarat-baratan? Ah... rasanya tidak juga. Filosofi orang Jepang yang sangat pandai memadukan budaya dan teknologi tradisional dan modern rasanya tidak akan begitu sulit untuk diadaptasi di Indonesia. Mulai dari diri sendiri, mudah-mudahan bisa 'menular' juga pada orang lain. Mengadaptasi hal yang baik, apa salahnya sih? Dari manapun datangnya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H