Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memulai Memori Maebashi

12 November 2017   15:00 Diperbarui: 12 November 2017   15:12 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di kandang ayam berkotek, di kandang kambing mengembik (peribahasa)

Bulan Agustus 2002 aku mendapat kepastian bahwa aku termasuk dalam 10 orang guru dari Indonesia yang diberangkatkan ke Jepang untuk mengikuti program penataran guru selama 1,5 tahun. Senang? Tentu. Deg-degan juga karena tidak begitu tahu tentang apa yang akan dihadapi di sana kemudian, karena aku mendapat tempat belajar di Universitas Gunma di kota Maebashi. Di mana itu? Blank. Saat itu aku betul-betul belum tahu. Di mana letak propinsi Gunma, bagaimana kondisi di sana, dan sebagainya, Segala informasi tentang Gunma baru kutelusuri sekitar satu-dua bulan sebelum keberangkatan, sedangkan data yang kudapat pun tidak menggambarkan secara jelas mengenai kondisi di sana. Sedikit khawatir juga, bagaimana aku akan hidup di sana bila aku tidak tahu situasi dan kondisinya?

Tapi tentu saja, karena kesempatan seperti ini tidak sering datangnya, maka aku lebih merasakan kesenangannya, excitement, dibandingkan dengan kekhawatiran ataupun hal-hal lain yang membuat gentar. Yang penting, pergi dulu. Urusan di sana, bisa diatur belakangan. Begitu pikiranku pada waktu itu. Nekat ya?

Persiapan barang dan perlengkapan lain untuk dibawa pun mulai disusun. Berkonsultasi dengan pihak kedutaan, beberapa teman yang akan sama-sama berangkat, dan juga mencari informasi dari milis pelajar Jepang, cukup membantuku mempersiapkan diri.

Pada saat berangkat, aku hanya membawa satu kopor yang sebetulnya tidak begitu besar dibandingkan dengan teman-teman lain, satu tas bagasi yang juga cukup besar (tapi juga berat dan harus kusandang sendiri di bahu), serta satu tas ransel kecil yang berisi peralatan pribadi dan dokumen penting. Suvenir khas Indonesia yang kubawa untuk Sensei maupun relasi lain di Jepang yang diistilahkan dengan omiyagesengaja kupilih yang kecil-kecil agar tidak memenuhi tempat dan jadi memberatkan saat dibawa. Aku pun memang tidak membawa terlalu banyak pakaian, dengan pertimbangan bahwa aku bisa membeli di Jepang nanti, terutama pakaian dan perlengkapan musim dingin lainnya. Membeli di Jepang tentu akan lebih sesuai dengan kondisi di sana, berbeda dengan sweater atau baju hangat dari negara tropis seperti Indonesia. Begitu pikirku saat itu.

Turun dari pesawat, aku masih senang, ngobrol-ngobrol dengan teman serombongan sambil menunggu giliran pemeriksaan bagasi. Dengan sangat tertib, satu-satu maju ke meja pemeriksaan. Bisa tertib antre juga nih kita. Terbawa suasana kali ye... ;p Ketika tiba giliranku, petugas ybs berbicara dalam bahasa Jepang.

"Excuse me?" wah... walaupun sempat belajar bahasa Jepang sedikit ketika masih di Indonesia, bagian itu sih belum aku mengerti. Dia kemudian mengulang dengan bahasa Inggris. Eh, bahasa Inggriskah itu? Logat dan pronunciation-nya terasa asing di telinga. Dia mengulang kembali ucapannya, lebih jelas kini,

"Do you bring any cigarettes or alcohol?"

"Oh, no. Of course not." Jawabku seketika. Dengan jawaban tersebut, dia terlihat puas dan tidak bertanya lebih lanjut. Alhamdulillah... Aku tidak perlu membuka kopor yang dikencangkan dengan 3 sabuk besar yang sulit dibuka. Maklum... koper jadul peninggalan bapak, model lama. Tapi satu kemudahan di bandara, membuatku makin Pe-De nih. Bismillah...

Untuk masa tinggal setahun pertama, aku mendapat tempat di asrama universitas untuk mahasiswa asing, yang sayangnya hanya bisa menampung 23 orang. Separuhnya adalah Chinese, 4 orang Korea dan beberapa mahasiswa negara lain yang (anehnya) tidak lancar, bahkan boleh dibilang tidak bisa berbahasa Inggris. Untungnya, salah satu teman seperjalananku adalah muslimah Tunisia yang lancar berbahasa Inggris, jadi kami bisa bercakap-cakap bertukar cerita. Alhamdulillah.

Hari-hari awal di Jepang, belum ada kegiatan rutin di kampus, maka kami sempatkan untuk berjalan-jalan keliling tempat tinggal kami untuk mengenali suasana. Ternyata, toko-toko di Jepang baru memulai aktivitas pada pukul 10 pagi, walaupun banyak sekali toko 24 jam serupa Circle K (convenience store) dengan beragam nama. Ketika kami tanyai warga sekitar apakah mereka dapat berbahasa Inggris, ternyata jawabannya mengejutkan. Semua orang yang kami tanyai (bahkan kemudian sebagian besar mahasiswa di kampus pun memberi jawaban serupa), menjawab "Dame!" untuk pertanyaan tersebut yang bisa diartikan dengan 'tidak'. Bahkan beberapa di antara mereka menjawab dengan kibasan tangan di depan dada mereka yang menunjukkan seolah-olah kita dilarang untuk berbahasa asing. O-ow... Pada saat itulah aku baru mulai khawatir mengenai bagaimana aku akan menjalani kehidupan di Jepang.

Pada awalnya, kupikir rata-rata orang Jepang pasti bisa berbahasa Inggris, mengingat negaranya yang sudah maju terutama di sektor industri otomotif dan elektronik yang produknya dilempar ke seluruh penjuru dunia. Menurut pemahamanku pada saat sebelum keberangkatan, tentulah penduduk negaranya pun mahir berbahasa internasional. Tapi ternyata aku salah besar! Aku yang hanya berbekal sedikiiiiit kemampuan berbahasa Jepang, masih belum bisa berkomunikasi dengan bahasa mereka. Padahal di kandang kambing harus mengembik, dan di kandang ayam harus berkotek. Maka di negara Jepang pun kita harus berbahasa Jepang. Tidak ada pilihan lain. Akupun bertekad untuk menguasai bahasa tersebut.

Ya, inilah Jepang, selamat datang! Di negeri yang ramah, tapi sebenarnya 'introvert'. Negeri dengan pertumbuhan teknologi yang pesat, namun masih memegang teguh bahasa dan tradisinya. Dengan penduduk yang tidak mengenal kata gaptek (gagap teknologi) karena sangat familiar dengan produk-produk berteknologi tinggi, namun tetap sangat santun berbahasa Jepang sebagai bahasa ibu mereka, tidak lantas sok kebarat-baratan. Berpendirian teguh! Akankan penduduk Indonesia seperti itu?

Seolah jadi acara penyambutan juga buatku, di awal Oktober itu pula diselenggarakan festival internasional tahunan di balaikota Maebashi. Aku dan Barbara, seorang kawan baru berkebangsaan Slovenia, berangkat bersama ke area balai kota untuk melihat kegiatan di sana. Beragam kesenian dan budaya mancanegara ditampilkan dalam acara itu. Tari Reog Ponorogo juga tampil lho di sana, dibawakan oleh para traineeyang dikontrak kerja di sebuah perusahaan Jepang. 

Senang dan bangga sekali bisa menonton kesenian negeri sendiri dibawakan di negeri orang. Surprise! Selain itu, aku dan Barbara juga berkesempatan untuk mengenakan kimono selama 20 menit dan berfoto, gratis! Beberapa orang tertarik untuk memotret kami jugaSalah seorang dari mereka rupanya adalah fotografer media daerah, sehingga beberapa kali foto kami menghiasi berita dan pengumuman mengenai acara tersebut. Mungkin karena momen yang tertangkap menjadi momen yang unik. Dua orang berbeda bangsa, yang satu berambut pirang sementara yang lainnya berkerudung, namun keduanya mengenakan kimono yang sama sekali bukan basis budaya kami. Lucu juga. Di negeri sendiri, aku malah belum pernah nampang di koran lho. Hehe...

Teringat kembali bahwa bahkan aku pun sudah teramat jarang mengenakan kebaya atau baju kurung yang menjadi lambang pakaian nasional. Bukannya tidak cinta, tapi lebih pada pertimbangan praktis saja, selain syar-i. (Kebaya kan seksi...) Dengan kerudung yang kukenakan, aku biasa mengenakan busana yang praktis, biasanya berupa tunik dan rok, namun kemudian berubah ketika aku berada di Jepang.
Alat transportasiku sehari-hari di sana adalah sepeda, yang dengan demikian akan sangat menyulitkan bila harus bersepeda dengan rok panjang. Selain itu, angin Gunma terkenal kencang, yang akan menjadi faktor penghambat aktivitas gerakku di atas sadel. Selain akan membuatku sangat kerepotan, juga berbahaya! Apakah dengan berpakaian ala barat membuat isi kepala dan hatiku ikut kebarat-baratan? Ah... rasanya tidak juga. Filosofi orang Jepang yang sangat pandai memadukan budaya dan teknologi tradisional dan modern rasanya tidak akan begitu sulit untuk diadaptasi di Indonesia. Mulai dari diri sendiri, mudah-mudahan bisa 'menular' juga pada orang lain. Mengadaptasi hal yang baik, apa salahnya sih? Dari manapun datangnya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun