Mohon tunggu...
Byanda Lutfi Hawa
Byanda Lutfi Hawa Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Halo! Mari bertukar pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ini Salah Satu Cara Atasi Kemacetan!

14 Februari 2023   11:35 Diperbarui: 14 Februari 2023   11:36 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: iNews.id

“Macet lagi, macet mulu, macet terooos!” Kemacetan di Jakarta ini seolah sudah menjadi makanan harian bagi para pengguna jalan sampai-sampai menjadi sorotan juga di mancanegara. 

Coba deh bayangin aja otw Sudirman-Thamrin bisa sampai hampir dua jam, yang seharusnya bisa ditempuh dengan waktu 15-20 menit aja. Selain makan waktu, macet juga bikin boncos banget nih buat penggunaan bahan bakar yang berlebih. 

Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menyatakan bahwa tingkat kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta pada tahun 2022 mencapai 48%, yang mana hal ini sudah tergolong di level tidak nyaman dalam berkendara. “Jelas nggak nyaman lah dikit-dikit berenti, dikit-dikit berenti. Capek juga shaay!” 

Hal ini juga didukung oleh data Badan Pusat Statistik (BPS), terkait jumlah kendaraan bermotor di Jakarta yang ternyata konsisten bertambah tiap tahunnya. Pada 2021 jumlah kendaraan di Jakarta sudah mencapai sekitar 21,75 juta unit lho! Ini berarti tumbuh 7,6% dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan kendaraan yang semakin meningkat inilah yang jadi salah satu faktor utama kemacetan di Jakarta. 

Peningkatan pertumbuhan kemacetan di Jakarta ini nggak cuma merugikan diri sendiri aja tapi berdampak juga di beberapa sektor, contohnya kerugian ekonomi mencapai Rp100 Triliun/tahun berdasarkan biaya waktu dan operasional kendaraan yang dilansir dari data Bappenas tahun 2019 dan JUTPI tahun 2019. Kemudian peningkatan kecelakaan yang bisa sampai 8000 kecelakaan lalu lintas/tahun, peningkatan biaya logistik, dan penurunan kualitas kesehatan masyarakat yang salah satunya karena polusi dari sejumlah kendaraan yang beroperasi. 

Kalau ngeliat Jakarta yang macetnya gini-gini aja sih, kayanya enak ya semisal Jakarta bisa kayak kota maju di negara lain yang udaranya tuh sehat tanpa polusi, minim kasus kemacetan lalu lintas dan sarana transportasi publik yang layak dari segi kualitas maupun kapasitas. “Yaaa walaupun agaknya mimpi ya HEHE”. 

Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan beberapa program dalam menangani kemacetan dari banyaknya volume kendaraan, mulai dari sistem 3 in 1 sampai ke pemberlakuan kendaraan ganjil-genap. 

Hanya saja dalam realitanya ganjil-genap ini malah membuat masyarakat membeli kendaraan baru dengan plat yang berbeda atau bahkan beberapa lainnya menggunakan plat nomor palsu untuk mengakalinya. 

Menurut Budiyanto, selaku pemerhati masalah transportasi mengatakan, dalam perjalanan berlangsungnya sistem ganjil-genap dinilai kurang efektif dan belum mampu mengurai kemacetan di Jakarta. Sepertinya memang penerapan ganjil-genap akan lebih efektif apabila bisa dibarengi dengan program pembatasan lalu lintas dengan memberlakukan ERP atau Jalan Berbayar Elektronik. 

Seperti halnya Singapura yang udah duluan menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) untuk menekan volume kendaraan di jalan dan dijadikan solusi dalam membantu meringankan kemacetan lalu lintas, mengurangi waktu perjalanan, mengurangi penggunaan polusi kendaraan pribadi, dan mempromosikan transportasi umum. 

Mengutip sedikit dari laman U.S Department of Transportation, penerapan ERP di Singapura ternyata efektif menurunkan kemacetan di pusat kota sebanyak 24% dan penggunaan transportasi publik meningkat sebanyak 15%. 

Selain itu ERP juga membuat kepadatan lalu lintas kota menurun, otomatis produksi karbon dioksida dan emisi gas rumah kaca pastinya berkurang. “Dengan ERP ini memang kami harus membayar lebih bila menggunakan kendaraan pribadi ke tempat-tempat yang di jam sibuk selalu padat. Tapi itu cukup sebanding dengan yang kita dapatkan. Dengan adanya ERP, kepadatan pun jadi sedikit berkurang dan mobil dapat melaju dengan sedikit lebih kencang,'' kata Henry, seorang warga Singapura. 

Contoh lainnya terjadi pada Kota London, Inggris yang juga menerapkan sistem ERP. Sistem tersebut menggunakan konsep Road Charging yang dimulai 17 Februari 2003 oleh Walikota London Kenneth Robert Livingstone pada tahun 2000. 

Tarif yang dikenakan sekitar US$ 13,60 – US$ 18,20 yang beroperasi mulai jam 06.30 hingga 18.00. Pemasukan bruto per tahun kota London sebesar US$ 450 juta dan biaya operasional 300 juta USD yang mana hal ini menjadi efektif pada penurunan lalu lintas peak dan off peak sebesar 20%. 

Ngomong-ngomong soal ERP nih, Jakarta juga lagi happening banget soal issue bakal diterapkannya ERP di tahun 2023 ini. Tapi sayangnya, kebanyakan masyarakat kita masih heran dan bertanya-tanya kenapa sih harus ada jalan raya berbayar? “bukan jalan tol tapi kenapa harus bayar?” atau “udah bayar pajak tahunan PKB, terus kenapa harus bayar lagi sih?” Pertanyaan-pertanyaan paling banyak seliweran di media sosial maupun di tongkrongan anak jaksel nih Aseeek! yang ternyata secara nggak langsung seolah menyalahkan pemerintah kalau penerapan ERP itu dianggap merampas keleluasaan berkendara di jalan. 

Melihat situasi protes masyarakat ini, sepertinya memang diperlukan sosialisasi dan edukasi yang lebih mendalam kepada semua lapisan masyarakat. Artinya tugas Pemprov DKI Jakarta masih “agak PR” nih karena pasti perlu waktu lama untuk menyosialisasikan sistem ERP agar dapat diterima oleh masyarakat. 

Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Indonesia seharusnya bisa belajar dari penerapan ERP di sejumlah negara. Karena manfaat dari ERP ini sudah sangat jelas loh! bukan cuma untuk mencari profit semata tetapi untuk benefit secara makro. 

Nah tapi nih tapiiii, apakah ERP ini akan menjadi sebuah solusi bagi kemacetan di Jakarta? Sementara seperti yang kita ketahui bersama kalau untuk beralih penggunaan dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum itu butuh proses yang puaaaaanjang dan pastinya menuai banyak kritik. 

Terlebih lagi melihat dari kapasitas kendaraan umum di Jakarta belum sebanding dengan para pengguna jalannya. Kebayang nggak sih kendaraan pribadi yang udah segini banyaknya aja masih banyak kejadian penumpukan penumpang di KRL maupun Trans Jakarta, gimana kalau semua pengguna jalan beralih ke kendaraan umum ya? 

Sedangkan kapasitas atau moda dari transportasi umum ini udah limit banget. Mungkin ini akan jadi concern lanjutan buat Pemprov DKI Jakarta untuk menyediakan layanannya dulu nih baru ke penerapannya. 

Harapan soal kebijakan ERP di Jakarta ini menjadi tugas bersama antara pemerintah yang melayani dan masyarakat yang mematuhi supaya tujuan utama dari penerapan ERP ini pun dapat terealisasi dengan baik dan menguntungkan banyak pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun