"Ndeso"
Minggu pagi yang dingin, tak biasanya jalan kecil di perbukitan Sadang, Bedono berhias dedaunan warna-warni. Pagi itu umat Paroki St. Thomas Rasul Bedono bersama-sama memperingati pesta nama Gereja Katolik Maria Ratu Rosario yang bertempat di kapel wilayah Sadang. Suguhan visual yang unik, di dalam kapel tak ditemukan hiasan bunga, hanya daun puring, janur kuning dan dedaunan lainnya yang dirangkai indah pada setiap sudutnya. Orang-orang telah berkumpul, para wanita mengenakan kebaya tanpa sanggul dan para pria mengenakan kain lurik, celana komprang, dengan hiasan ikat kepala, caping ataupun peci. Sementara itu anak-anak berlarian dengan memakai mahkota dari dedaunan. Seluruh petugas, tata liturgi beserta umat yang ikut dalam rangkaian perayaan pesta nama tersebut mengenakan pakaian jawa khas "ndeso”
"Ogoh-ogoh"
Berawal dari lembah, ogoh-ogoh setinggi 3 meter menari-nari dipanggulan para petani yang dikawal “buta-buta” reog meniti perjalanan menaiki bukit Sadang seusai misa. Badannya yang merah, dan taring yang menyeruak menggambarkan keangkara-murkaan yang tak terbendung, sewaktu-waktu siap merasuki siapa saja yang disentuhnya. Begitu pula sebatang rokok dan blekberi yang senantiasa digenggam sang ogoh-ogoh, citra hidup pragmatis pada jaman modern hendak divisualisasikan. Bahwa sebagai buah atas peradaban yang berkembang, beragam hasil olah teknologi rupanya bisa mempunyai dua muka, sebagai teman yang membantu ataupun sebagai musuh yang merusak.
Ogoh-ogoh pun diarak bersama-sama menuju lapangan untuk mereka musnahkan. Bersama dalam arak-arakan tersebut, dua buah gunungan hasil bumi ikut dibawa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Kuasa atas berkah yang telah diberikan kepada penduduk desa. Ratusan umat mengelilingi lapangan yang luasnya tak lebih seukuran dengan lapangan voli. Ogoh-ogoh berdiri menjulang ditengah-tengahnya, kerumunan masyarakat yang berkumpul tak sabar hendak melihat api yang akan melahap sosok keangkaramurkaan tersebut menjadi debu. Dan semua orang bersorak! Api membumbung tinggi mejalar menggerogoti ogoh-ogoh.
"Ambengan"
Sementara itu gunungan hasil bumi tidak diperebutkan, melainkan dibagikan kepada anak-anak. Rangkaian perayaan berlanjut dengan “ambengan” yaitu acara makan bersama di petak kebun sengon yang berada tak jauh dari lapangan. Seluruh umat menikmati hidangan khas desa yang disiapkan oleh tiap kelompok dengan pincuk sembari menikmati tari Jathilan dan drama persembahan dari anak-anak SD Kanisius Bedono.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H