Pondok pesantren merupakan lingkungan pendidikan yang berfokus pada aspek pengembangan moralitas, dan spiritual peserta didik. Pondok pesantren berfungsi untuk mempersiapkan peserta didiknya menjadi angota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya atau menjadi ahli ilmu agama (UU. No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).Â
Dari penjelasan tersebut maka dapat diartikan bahwa pondok pesantren adalah tempat berkumpulnya para pencari ilmu terutama ilmu agama. Lalu bagaimana ketika di tempat belajar agama itu ternyata terjadi banyak penyimpangan yang jauh dari tujuan pondok pesantren itu sendiri?
Beberapa waktu lalu, Indonesia sempat digemparkan oleh berita tentang pelecehan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan yang mana merupakan seorang pimpinan pondok pesantren di Bandung. Ia disinyalir telah melakukan tindak asusilanya sejak tahun 2016 dengan korban sebanyak 21 santriwati. 8 diantaranya telah melahirkan anak dan dua diantaranya telah mengandung.
Menurut RUU PKS oleh komnas perempuan, Kekerasan seksual merupakan segala perbuatan menghina, merendahkan, menyerang, dan atau tindakan tindakan lainnya terhadap tubuh yang berkaitan dengan nafsu dan hasrat seksual yang dilakukan secara paksa atau tanpa persetujuan.Â
Menurut Schultz (1998), kekerasan seksual bisa terjadi karena adanya dorongan oleh keinginan seksual pelaku terhadap korbannya. data yang dilansir dari komnas perempuan, adanya peningkatan signifikan 50% KBG terhadap perempuan yaitu 338.496 kasus pada 2021 (dari 226.062 kasus pada 2020). Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG sebesar 52%, yakni 327.629 kasus (dari 215.694 pada 2020).Â
Data tersebut cenderung memunculkan stigma negatif di Masyarakat terkait dengan maraknya berita tindak asusila di beberapa pondok pesantren di Indonesia akhir akhir ini, Pondok Pesantren yang seharusnya sarat akan orang-orang berakhlaqul karimah, ternyata menjadi tempat melakukan tindakan-tindakan asusila. Lalu bagaimana dengan Pesantren Modern As-Sakienah?
Berdasarkan pengalaman pribadi saya, ada kasus yang cukup menarik banyak atensi warga pesantren hingga warga sekitar adalah adanya beberapa santriwan yang menjadi korban sodomi di kamar mandi oleh oknum pengurus organisasi santri di tahun 2016 lalu. Kasus lain yang terjadi adalah adanya oknum pengurus organisasi santri tahun 2020 (santriwan) yang kerap kali tertangkap basah sedang mengintip bahkan hingga memasuki kamar santriwati pada jam istirahat (malam hari). Bukan hanya itu, kasus yang sangat sering terjadi setiap tahunnya adalah pelecehan seksual verbal seperti cat calling.
Kasus-kasus kekerasan atau pelecehan seksual di pondok pesantren ini sudah membuat risau seluruh warga pesantren, terutama para santri dan santriwatinya itu sendiri. Biasanya yang menjadi korban cenderung takut untuk melaporkan kasusnya kepada pihak yang berwenang. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh santriwan dan santriwati, wali santri, pihak pengurus pesantren, dan kita semua untuk mencegah terulangnya hal serupa secara terus menerus?
Untuk para korban, tidak perlu takut melaporkan tindakan pelecehan seksual kepada pihak yang berwenang. Siapapun oknum pelakunya, entah itu guru atau senior, teman sebaya, atau bahkan junior kalian, apabila ia terindikasi melecehkanmu secara seksual.Â
Untuk para wali santri hendaknya tetap mengontrol anak -- anak yang dititipkan ke pondok pesantren, jangan biarkan mereka lepas dari pantauan orangtuanya dan menganggap pendidikan mereka terjamin hanya karena berada di pondok pesantren.Â
Bagaimana caranya? Wali santri bisa menghubungi anak via telepon, biasanya pesantren memfasilitasi satu minggu atau dua minggu sekali, bisa juga dengan rutin menjenguk agar dapat terus berkomunikasi dan memantau perkembangan anak di pesantren.Â
Untuk para pengurus pesantren, hendaknya lebih mengawasi perilaku santriwan dan santriwati yang sudah dititipkan oleh walinya, sesekali adakan kajian sex education kepada santri sebagai bentuk pencegahan karena hal-hal seperti ini dapat terjadi dimana saja, dan jadilah fasilitator bagi para korban bila dirasa sulit untuk melapor ke pihak berwajib. Untuk kita semua, sadarilah bahwa predator ada dimana-mana dan bisa menampilkan diri sebagai apapun atau siapapun termasuk sebagai sosok seolah -- olah taat beragama.
Perlu kita ingat pula bahwa adanya predator -- predator di dalam pesantren, bukanlah cerminan dari pesantren itu sendri. Mereka hanyalah oknum yang mencemari nama baik lembaga dan mengotori kesucian ilmu agama demi kepentingan syahwatnya sendiri. Maka mari kita lindungi pesantren kita dari kenistaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H