Brakkk!! Seorang akseptor memukul meja administrasi. Nafasnya terdengar berat. Morin dan beberapa relawan lain terkejut. Jantung Morin berdegup kencang. Ia berusaha tidak terpancing emosi menghadapi ibu itu; orang yang tidak mengerti dan tidak mau mengerti tentang prosedur vaksinasi.
“Masa saya gak bisa ikut vaksin? Pokoknya harus bisa!”
“Maaf, Bu. Tetap gak bisa karena belum memenuhi syarat.” Mendengar hal tersebut, ibu itu akhirnya meninggalkan meja administrasi dengan raut wajah kesal.
Dasar emak-emak! gerutu Morin dalam hati. Peristiwa semacam itu sudah tidak asing lagi baginya. Sebagai relawan vaksinasi, dimarahi akseptor sudah menjadi makanan sehari-hari bagi dirinya dan relawan vaksinasi lain yang bergerak di bidang administrasi.
Sudah menjadi tugas Morin sebagai relawan untuk melayani proses administrasi selepas penerimaan vaksin. Tidak ada yang memaksa gadis berusia 20 tahun itu terjun sejak April 2021 menghampiri bahaya Covid-19. Oleh sebab itu, segala risiko yang terjadi selama bertugas harus dihadapi Morin dengan sabar dan ikhlas.
Adanya kesempatan untuk menjadi relawan vaksinasi dilatarbelakangi oleh pandemi Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan data dari https://lawancovid19.tangerangselatankota.go.id, jumlah kasus Covid-19 di kota Tangerang Selatan terbaru (25 Mei 2022) sebesar 84.315 kasus terkonfirmasi positif.
Sebanyak 83.430 pasien sudah sembuh, 109 pasien dalam perawatan, dan 776 pasien meninggal. Meskipun tahun ini Covid-19 sudah melandai, nyatanya pada 2021 angka penyebaran virus ini masih terbilang tinggi. Maka dari itu, pemerintah Tangerang Selatan menyelenggarakan vaksinasi untuk memperkuat imunitas masyarakat sehingga penyebaran Covid bisa terkendali.
Dilansir dari https://dinkes.tangerangselatankota.go.id, target vaksinasi adalah sekitar satu juta lebih dosis yang menyasar kalangan tenaga kesehatan, lansia, petugas publik, masyarakat rentan dan umu, remaja, dan anak-anak. Target yang tinggi ini membuat berbagai pihak bekerjasama menyelenggarakan vaksinasi. Salah satunya adalah kerjasama antara Gereja Santa Monika dengan mall QBig, BSD City yang menjadi sentra vaksinasi.
Gereja Santa Monika yang terletak di Jalan Alamanda, BSD ini sudah bekerjasama dengan mall QBig sejak 17 Januari 2021. Menurut Bella Tanureja selaku koordinator relawan nonmedis Gereja Santa Monika, tidak ada program kerja khusus untuk melakukan kerjasama ini. Namun, seksi kesehatan Gereja memang sering mengadakan aksi sosial.
“Gereja Santa Monika punya satu visi untuk membantu masyarakat. Dulu baksos. Tapi karena sekarang pandemi jadinya menyelenggarakan vaksinasi,” ujar Bella yang juga menjabat sebagai Ketua Organisasi Muda Katolik (OMK).
Bella lebih mengutamakan umat Gereja Santa Monika yang tergolong anak muda. Hal ini karena mereka dianggap lebih mampu menggunakan teknologi seperti laptop untuk meng-input data-data akseptor. Namun, orang dewasa pun ternyata antusias sehingga relawan tidak hanya anak muda.
“Jumlah relawan yang masih stay sampai sekarang sekitar 200-an. Kalau orang dari luar Gereja mau membantu juga gak apa-apa,” ungkap Bella.
Sistem kerjasama dilakukan dengan mereservasi (booking) ruangan di QBig untuk digunakan setiap minggu. Ruangan tersebut terletak di lantai dua. Saya sempat melakukan observasi ke sana bulan lalu. Sayangnya, saat observasi saya hanya bisa mengintip dari kaca luar karena ruangan terkunci dan lampu-lampu dimatikan.
Saya tidak bisa melihat bagian dalam dengan jelas. Untungnya, Morin memberikan folder dokumentasi selama ia bertugas sehingga saya bisa melihat dengan jelas ruangan itu. Ruangan itu cukup besar. Bangku-bangku merah dan hitam disiapkan untuk para akseptor.
Ruangan tersebut digunakan sebagai tempat pemberian vaksin, administrasi, dan ruang tunggu setelah penyuntikkan. Ketika jam makan siang, relawan juga beristirahat di sisi lain ruangan tersebut. Bagi akseptor dengan nomor urut yang masih jauh, mereka harus menunggu di luar ruangan sambil menikmati AC alam.
Selain dengan QBig, Morin juga mengatakan Gereja Santa Monika bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Karena sejak Maret 2022 sampai sekarang Gereja belum bekerjasama lagi, dinas kesehatan perlu menurunkan relawan sendiri dengan kuota yang lebih terbatas. Ketidakaktifan Gereja disebabkan karena banyak relawan yang terpapar Covid-19, termasuk Morin sendiri sehingga mereka diistirahatkan.
Awal mula perekrutan Morin menjadi relawan
Guys ada yang mau jadi relawan vaksinasi gak?
Ayo dong ikut, yang daftar baru dikit nih.
Chat dari Bella mengagetkan Morin. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia setuju untuk mendaftar sebagai relawan. Kayaknya seru, pikirnya. Hitung-hitung untuk menambah pengalaman juga. Namun, orang tua Morin belum tahu anak tunggalnya itu mendaftar menjadi relawan. Padahal, ada keluarganya yang terkena Covid-19. Hal ini menimbulkan ketakutan tersendiri.
Akhirnya, Morin memberanikan diri untuk bicara langsung dengan ibunya yang saat itu sedang berlibur di Tangerang Selatan. Benar saja, ibunya tidak setuju kalau Morin harus berhadapan dengan orang yang belum divaksin.
“Gak gak gak. Kamu gila? Kalau kamu ikut gak usah pulang!” bentak ibunya.
“Ma, jangan gitu, Ma. Kalau aku gak tugas terus mereka gimana? Mereka gak dapet vaksin dong?”
“Kan ada orang lain. Kenapa harus kamu?”
“Ya kan yang diminta tolong aku, Ma,” Morin juga tidak mau kalah.
“Gak, gak. Gak usah”
Morin lantas tidak menyerah begitu saja. Setelah perdebatan panjang dan memberi pengertian, akhirnya ibu mengizinkan. Namun, ayahnya belum tahu saat itu juga. Morin tidak berani memberitahu sampai November 2021. Beliau mengetahui dari tante Morin yang kebetulan berada di sentra vaksinasi QBig. Untung saja, ayah Morin mengizinkan dan mengingatkan untuk menjaga protokol kesehatan.
Hari-hari sebagai relawan
Bagi kebanyakan orang, akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, kekasih, atau bersantai di rumah. Namun, itu tidak berlaku bagi gadis yang memiliki empat adik ini. Dari rumahnya yang ada di perumahan BSD Nusaloka, Morin berangkat ke QBig dengan motor kesayangannya. Tidak lupa ia membawa laptop untuk meng-input data administrasi akseptor.
“Biasanya hari pasti (bertugas) itu Sabtu dan Minggu. Tapi tahun lalu bulan Juni-Juli kebetulan masa liburan dan rata-rata relawan itu anak sekolah. Jadi kita bisa tugas dari hari Kamis, Jumat, Sabtu dan kadang ada panggilan mendadak di Senin atau Rabu,” ujar Morin. Panggilan mendadak bertabrakan dengan jadwal kuliah Morin. Akan tetapi, ia tidak meninggalkan kuliah begitu saja. Ia tetap bertanggung jawab terhadap pendidikannya dengan mengikuti kelas sembari melayani akseptor (double device).
Setelah mendaftar, setiap relawan dibagi ke posisi masing-masing. Relawan administrasi terbagi menjadi tiga, yaitu pre-registrasi, registrasi, dan observasi. Admin pre-registrasi bertugas mendaftarkan masyarakat yang hendak divaksinasi.
Jika tidak memenuhi syarat seperti sedang sakit atau rentang waktu vaksinasi pertama yang terlalu dekat, orang tersebut akan ditolak. Admin registrasi bertugas untuk mengurus pendaftaran dan melakukan pengecekan ulang terhadap data akseptor.
Sementara itu, admin observasi bertugas untuk meng-input data dari formulir akseptor. Admin observasi akan bertanya apa ada keluhan atau tidak setelah divaksin untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Morin mengaku sudah pernah merasakan ketiga posisi tersebut. Namun, ia lebih sering bertugas sebagai admin observasi.
Dalam menjalankan tugasnya, Morin dibantu oleh teman-teman sesama relawan. Salah satunya adalah Regina Amanda. Mereka sama-sama bertugas menjadi admin observasi. Ketika sepi akseptor, Regina kerap membantu mendokumentasikan suasana sentra vaksinasi dan mengurus goodie bag berisi makan siang untuk para relawan. Selama menjadi relawan, banyak pengalaman menyenangkan yang dirasakan oleh mereka.
“Di masa online ini cari teman di kampus susah. Jadi waktu aku ketemu teman yang kenalan secara real life, aku happy. Tugas di tempat vaksin meskipun ada pengalaman nggak enak tapi bisa jadi tempat healing,” ucap Morin ketika diwawancarai pada Sabtu (9/4/2022).
“Pastinya senang karena bisa tugas bareng, kenal banyak orang, bisa menghibur adik- adik yang belum ataupun sudah divaksin karena suka ada yang nangis,” kata Regina. Ia juga senang menjalani tugas sebagai relawan, terlebih ketika bersama Morin.
Selain itu, adanya akseptor yang mengapresiasi kinerja relawan juga menimbulkan sukacita di hati Morin dan Regina. Seringkali akseptor membelikan kopi dan minuman lainnya untuk dibagi-bagi ke sesama relawan. Lumayan lah untuk perbaikan gizi anak rantau, pikir Morin ketika ia mendapat konsumsi dari akseptor. Namun, bukan berarti relawan mengharapkan konsumsi setiap kali bertugas. Apresiasi berbentuk ucapan seperti:
“Makasih, ya. Semoga diberkati. Kalau gak ada kalian program vaksinnya gak jalan.”
“Terima kasih, ya karena udah jadi petugas vaksin. Kalian hebat banget!”
berhasil membuat Morin dan teman-teman semakin semangat bertugas. Kerja keras Morin tidak sia-sia. Perasaan dihargai bagai menjadi bayaran relawan sesungguhnya.
Ada peribahasa mengatakan “hujan panas permainan hari, senang susah permainan hidup.” Sama seperti kalimat tersebut, keseharian Morin sebagai relawan pun ada kalanya mengalami tantangan, terutama berasal dari para akseptor.
Tantangan utama dan paling sering ditemui adalah menjadi bulan-bulanan akseptor yang marah karena tidak bisa divaksin atau mereka yang kesabarannya sudah habis akibat proses input data yang berjalan lama, sekitar 15- 20 menit. Ditambah lagi jika server administrasi down, relawan harus mempersiapkan mental untuk menghadapi amukan akseptor.
“Pernah ketemu sama orang berkebutuhan khusus, mereka susah buat dikontrol. Kalau kita dipukul, ya gak bisa marah juga. Melayani oma-opa yang pendengarannya udah berkurang juga susah.” cerita Morin tentang tantangan-tantangan lainnya. Ia pun pernah melayani akseptor yang berasal dari Korea Selatan. Kendala bahasa membuat Morin dan akseptor mengalami miskomunikasi.
“Sakit ke mana?” tanya akseptor Korea tersebut.
“Iya? Sorry?”
“Sakit… Where? Kertas?”
Kertas apa ya?
Morin tidak mengerti apa maksud pertanyaannya. Ia kira akseptor menanyakan kertas formulir. Setelah berbicara dengan perantara Google Translate, ternyata akseptor itu menanyakan tentang sertifikat di Peduli Lindungi. Kejadian tersebut adalah pengalaman yang tidak akan pernah ia lupakan.
Berbagai tantangan yang dialami relawan membuat Bella salut terhadap kinerja mereka. Risiko tertular Covid-19 sangat tinggi dan masyarakat kerap kali menganggap relawan menerima bayaran. Akibatnya, banyak akseptor yang bertindak seenaknya padahal sudah dilayani dengan tulus. Bella menyayangkan hal tersebut.
Terinfeksi Covid-19 akibat menjadi relawan
Jumat itu, tepatnya satu hari sebelum bertugas di Februari 2022, Morin menjalani swab antigen di gereja. Hasilnya negatif. Oke aku aman nih gak kena Covid, batin Morin. Ia juga tidak merasakan gejala apa pun. Namun, ia juga tidak yakin dengan hasil itu. Pasalnya, beberapa hari sebelumnya ia berinteraksi dengan dua relawan yang keluarganya terpapar Covid-19. Karena tidak yakin, esok hari Morin melakukan swab antigen lagi. Benar saja. Risiko yang ditakutkan Morin terjadi. Ia positif Covid-19. Mengetahui hal tersebut, ia segera pergi ke rumah sakit THT Proklamasi, BSD untuk melakukan tes PCR.
Rasa takut menjalar di seluruh tubuhnya. Ia tidak berani memberi tahu orang tuanya. Ibunya dari awal sudah tidak setuju dengan keputusannya menjadi relawan. Sementara itu, ayahnya adalah orang yang panik. Setelah mengumpulkan keberanian, ia menelepon ibunya.
“Ma, jangan marah ya, Ma. Aku Covid”
Tut! Ibunya langsung mematikan telepon. Morin yakin ibunya marah. Tak disangka, di siang hari ia kembali menelepon dan baru menanyakan kondisi anaknya. Ternyata ibunya sudah memprediksi ini semua akan terjadi dan ya... mau bagaimana lagi?
Bagi Morin, Tuhan sungguh baik. Ia tahu bahwa Morin hanya tinggal sendiri di Tangerang Selatan. Seluruh keluarganya berada di Flores, Nusa Tenggara Timur karena ikut ayahnya bekerja. Tuhan tidak membiarkan Morin hidup sulit seorang diri.
Nyatanya, Morin tidak merasakan gejala apa pun selama isolasi mandiri. Hari-harinya dihabiskan di dalam rumah; mengikuti kuliah seperti biasa dan beristirahat di kamar yang dipenuhi dengan poster One Direction dan Monsta X. Dukungan pun datang dari teman-teman relawan dan kuliah. Mereka mengirim makanan dan mendoakan Morin cepat sembuh. Morin bersyukur memiliki teman-teman yang peduli padanya.
Morin akhirnya sembuh. Teman-teman relawan mengajak Morin kembali bertugas. Sebenarnya ia ragu. Apalagi, ia baru saja terpapar Covid-19. Namun, rasa kesepian dan kerinduan bertugas membuatnya yakin untuk terus menjadi relawan.
“Aku merasa ternyata aku suka bantu orang walaupun gak dibayar. Pasti udah risiko ngelakuin sesuatu, baik atau buruk,” ujarnya.
Awal menjadi relawan, ia pikir akan mendapat bayaran, ternyata tidak. Ia tidak menyesali keputusan itu. Walaupun tidak memperoleh keuntungan secara materi, ia mendapat banyak pembelajaran. Morin belajar menjadi orang yang lebih sabar dalam menghadapi berbagai macam orang. Ia menemukan keluarga kedua yang hangat. Relasi pun bertambah dari berbagai kalangan.
Gereja Santa Monika masih memerlukan relawan vaksinasi. Oleh sebab itu, Morin dan Gereja terbuka bagi para pembaca yang tertarik bertugas sebagai relawan. Satu hal yang perlu diingat: jadilah relawan atas inisiatif sendiri untuk membantu orang lain dengan ikhlas. Menjadi relawan memang tidak dibayar. Akan tetapi, peduli dan melayani orang lain tidak ada salahnya bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H