Mohon tunggu...
Cut Syafira Aldina
Cut Syafira Aldina Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Penyuka bacaan berat yang disederhanakan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Alif Lam Mim: Representasi Pesantren dan Santri dalam 4 Film Ini

27 Oktober 2022   18:07 Diperbarui: 27 Oktober 2022   18:42 2771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabar pondok pesantren yang membungkam kasus penganiayaan santri sempat viral dan memberikan kesan tanda tanya terhadap publik. Niatnya tidak ingin menciptakan kesan buruk tapi ketika terbongkar malah mencoreng nama pesantren secara general. Padahal jika ingin berpikir secara jernih, sekolah umum juga tak kalah banyak kasus penganiayaan sesama siswa.

Cuma memang mau gak mau pesantren punya beban moral yang besar dan tentu dipercaya sebagai lembaga pembentuk akhlak dan adab yang mulia. Jika ingin berpikir sedikit saja, banyak kok pesantren yang melahirkan generasi membanggakan bahkan bermanfaat untuk masyarakat. Memang tidak di-publish semegah itu karena jaman sekarang sepertinya lulusan luar negeri lebih diminati serta dijadikan kiblat. Ups, no offense.

Sebenarnya jika ingin belajar tentang pesantren untuk mereka yang jauh dalam pergaulan itu, film bisa jadi salah satu sarana. Ada beberapa rekomendasi yang bisa jadi sudah kamu tonton atau belum, cek di sini:

Negeri 5 Menara


Mengangkat cerita kehidupan 6 anak asal Padang yang belajar di pondok modern dengan pola pendidikan pesantren. Berbekal dengan kata mutiara dari sang guru yaitu "Man Jadda wa Jada" berarti siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil, enam anak dengan latar belakang berbeda ini berjuang untuk menggapai cita. Tokoh difokuskan pada Alif, yang dari awal tidak memiliki niat masuk pesantren sehingga ia sering menyendiri. 

Tapi lama kelamaan ia berteman dengan 5 anak lainnya karena memiliki visi dan misi yang sama. Menara masjid menjadi markas utama sehingga mereka sering dipanggil dengan sebutan Sahibul Menara atau pemilik menara.

Kita bisa melihat moral yang terdapat di film adaptasi buku karya Ahmad Fuadi ini seperti, adab pada orang tua, guru, empati pada teman-teman, serta rasa sungguh-sungguh yang dimiliki oleh santri. Tak lupa dari film ini kita belajar yakin pada ketetapan Allah ta'ala. Worth it to watch.

Sang Kiai


Film yang mengajarkan tentang kemanusiaan, perjuangan dan agama yang rilis tahun 2013 ini sempat terpilih sebagai wakil Indonesia untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik dalam Academy Awards ke-86. 

Mengangkat kisah seorang pejuang kemerdekaan sekaligus salah satu pendiri Nahdlatul Ulama dari Jombang, Jawa Timur yakni K.H. Hasyim Asy'ari. 

Latar film ini pun diambil pada masa penjajahan Jepang sehingga resolusi jihad yang dikumandangkan Kiai Hasyim menjadi semangat bagi rakyat Jawa Timur dan Surabaya. 

Awalnya, KH Hasyim Asy'ari sebagai pimpinan Ponpes Tebu Ireng ditangkap karena dianggap telah melakukan penyerangan pada tentara Jepang. Sehingga saat itu, kondisi pesantren pun kacau. 

Kisah berlanjut dengan perjuangan dari perwakilan santri yang berusaha bernegosiasi untuk kebebesan kiai. Jepang menerima dengan mengajak bekerja sama untuk membagi hasil bumi Indonesia.

Saat Jepang kalah dari sekutu, keberadaan mereka menjadi lemah sehingga terbitlah resolusi jihad yang terbukti mampu menghimpun umat Islam di Surabaya. Namun di film drama religi ini ada satu santri yang patut dicontoh yaitu Harun. 

Walau ia sempat tak terima dengan keputusan kerja sama dengan Jepang, tapi sampai akhir ia masih terus berjuang bersama Kiai. Film ini ditutup dan diakhiri dengan wafatnya Syekh KH. Hasyim Asy'ari.

Sang Murabbi


Jika kita sering disuguhi film superhero ciptaan barat dan kerap kali terkagum-kagum, maka Sang Murabbi berhasil menggambarkan superhero sesungguhnya yang disebut sebagai murabbi atau guru. 

Mungkin bagi sebagian orang seruan 'guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa' hanya perkataan biasa saja. Namun, setelah menonton film jenis dokumenter drama religi yang tayang 2008 lalu ini berhasil membuka pikiran saya tentang seorang guru. Benar-benar pahlawan.

Padahal ini adalah film dengan alur cerita aktivitas sehari-hari Almarhum KH. Rahmat Abdullah (1953-2005). Namun mampu menghipnotis penonton untuk mengerti bahwa pada dasarnya muslim berperan otomatis sebagai juru dakwah. Ustadz Rahmat bukan hanya bertindak sebagai guru tapi juga pemimpin, orang tua serta sahabat bagi para muridnya.

Terlihat dari cita-cita beliau sejak muda yang dengan lantang ketika ditanya orang ia segera menjawab 'menjadi guru!'. Bukan hanya perkataan, energi itu terus berjalan sampai Ustadz Rahmat berada di pondok, menjadi guru di pondoknya setelah lulus, belajar dengan Ustadz Bakir Said Abduh yang mengelola Rumah Pendidikan Islam (RPI) sampai mengenal buku-buku milik Hasan Al-Bana. Ia pun terkenal sebagai dai yang lengkap, karena tidak cuma menguasai ilmu-ilmu Islam yang "standart" tetapi juga persoalan-persoalan kontemporer.

Uniknya, cara dakwah Ustadz Rahmat menggunakan pendekatan langka yaitu mengasuh organisasi bertema teater bernama Pemuda Raudhatul Falah (PARAF). Salah satu karya mereka berjudul Perang Yarmuk. 

Namun, pementasan ini menimbulkan keresahan aparat (seperti tidak asing dengan kejadian ini). Berkat keteguhan prinsipnya, sampai meninggal Ustadz Rahmat tak pernah sekali pun berniat mendatangi kepolisian. Film ini adalah salah satu bentuk pewarisan nilai-nilai kejuangan, spirit moral dan peradaban dunia agar tetap melekat kuat pada umat Islam.

Alif Lam Mim


Film terakhir tapi salah satu yang berhasil bikin geleng-geleng kepala karena mengusung tema berbeda. Jika 3 film sebelumnya semi dokumenter, Alif Lam Mim adalah film laga futuristik pertama di Indonesia yang rilis 2015 silam. 

Isinya tidak jauh tentang persahabatan, persaudaraan, serta drama keluarga. Bahkan Pada ajang Festival Film Indonesia 2015, film ini mendapatkan lima nominasi, yaitu Skenario Terbaik (Umbara bersaudara), Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Tanta Ginting), Pemeran Anak Terbaik (Bima Azriel), Tata Suara Terbaik (Khikmawan Santosa dan Novi DRN), serta Efek Visual Terbaik (Sinergy Animation).

Jika 5 menara manampilkan keberhasilan Alif dan teman-temannya di masa mendatang, film ini memiliki perbedaan. Mungkin persamaannya ada pada hubungan sahabat yang terbentuk pada sebuah institusi. 

Alif, Lam dan Mim adalah tiga sahabat dari satu perguruan silat yang dibesarkan pada Pedepokan Al-Ikhlas. Alif dengan sifat keras yang memilih menjadi aparat, Lam yang tenang dengan profesi jurnalis. Sedangkan Mim yang bijak memilih untuk mengabdi dan menjadi guru di pedepokan.

Jika Alif dan teman-teman di film 5 menara menggapai cita-cita dengan aman dan damai, film yang berlatar tahun 2036 ini bercerita saat Indonesia mengalami revolusi pasca perang saudara sehingga berganti nama menjadi Liberalisme. Pada saat itu mereka menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Aparat negara hanya boleh menggunakan peluru karet untuk menindak kejahatan.

Saat itu warga juga wajib menguasai ilmu bela diri tak terkecuali perempuan. Ada beberapa konflik yang diambil, bermula saat ada bom yang meledak di sebuah kafe serta bukti-bukti menunjukkan pada Pedepokan Al-Ikhlas.

Alif pun ditugaskan untuk menangkap guru besar beserta semua orang yang terlibat dalam ledakan bom. Namun Mim meyakini bahwa guru mereka tidak mungkin terlibat dalam peristiwa itu. Lam juga melihat ada kejanggalan dalam kasus ini.

Sungguh sangat mengerikan tema yang diambil, bukan? Tentu saja film ini akhirnya dicekal dan ditakuti pemerintah walau menghasilkan banyak penghargaan.

***

Beberapa film di atas memang belum lengkap untuk menggambarkan keseluruhan hidup pesantren, namun setidaknya cukup untuk membuka pandang kita terhadap sebuah institusi pendidikan berbasis agama. Entah agama apa pun itu, pasti mengajarkan kebaikan, yang salah memang pelakunya bukan agamanya.

Maka dari itu saya tidak akan merekomendasikan film Wanita Berkalung Sorban, Tanda Tanya, The Santri dan beberapa film lain yang mencoreng nama Islam.

Jika kamu suka baca, salah satu karya fenomenal milik DR. Adian Husaini dengan tema pesantren berjudul Kemi jilid 1, 2 dan 3 berhasil mendapat pujian dari Pak Taufik Ismail: "Setelah wajah pesantren dicoreng-moreng dalam film Perempuan Berkalung Sorban, novel Adian Husaini ini berhasil menampilkan wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang berwawasan luas, sekaligus gigih membendung gelombang liberalism."

Selanjutnya, rekomendasi tentang apa lagi, ya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun