"Just like a female superhero is female superwoman, not just a man" ungkap Dr. Sophia Rose Arjana, seorang profesor studi agama departemen Filsafat dan Agama, Western Kentucky University.
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dan menerima informasi. Internet dan media sosial telah mengaburkan batas antara pengirim dan penerima pesan, memungkinkan siapapun untuk menjadi penyebar informasi.
Perubahan ini membawa dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk media, agama, dan budaya populer. Sama halnya dengan pembahasan siang hari ini pada stadium generale program studi Ilmu Komunikasi.
Acara yang diadakan pada tanggal 20 May 2024, bertempat di Conference Room Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga. Dengan tema acara yaitu Media, Islam dan Budaya Populer: "Transformasi Komunikasi dan Pergeseran Otoritas" yang dihadiri oleh dua narasumber yaitu Dr. Sophia dari USA dan Dr. Fatma Dian Pratiwi, M.Si yang merupakan sekretaris program studi Ilmu Komunikasi.
Fahrurrazi, S.Hum., M.A juga turut andil menjadi moderator, yang tak lain juga merupakan alumni lulusan UIN Sunan Kalijaga. Selain menjadi moderator, ia juga menjadi translator bagi Dr. Sophia yang belum menguasai bahasa Indonesia.
Pada awal materi, pemaparan yang dijelaskan oleh Dr. Sophia tentang pandangannya terhadap interaksi antara Islam dan budaya populer. Konteks pembahasan yang berorientasi pada USA ini, berdasar pada komik yang merupakan media populer untuk dapat digunakan menjadi sarana dakwah dan komunikasi.Seperti nilai yang ditunjukkan oleh banyak komik yang beredar, yang menggambarkan superwoman dengan pakaian yang terlalu vulgar. Hal ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang mengutamakan kehormatan wanita, terlebih lagi karena komik-komik tersebut kebanyakan untuk anak-anak.
Ada satu hal menarik dalam penjelasannya, seperti yang dikatakan Dr. Sophia " The hero is representated by a man", seorang pahlawan biasanya diwakili oleh seorang laki-laki. Namun, bagaimana jika superhero itu digambarkan dengan seorang wanita yang menggunakan hijab menjuntai di seluruh tubuhnya? Bukankah itu merupakan pendekatan menarik agar seorang wanita juga mempunyai hak melawan yang mana hak tersebut juga merupakan hak prerogatif seorang wanita.
Â
Menurutnya, perempuan sama pentingnya dengan laki-laki baik dalam hal kebebasan berpendapat, karir, pemerintahan hingga tanggung jawab yang setara. Kesetaraan gender bukan hanya masalah keadilan, tetapi juga kebutuhan fundamental untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, makmur, dan berkelanjutan. Dengan memastikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan berkembang, kita dapat mencapai potensi penuh dari setiap individu dan masyarakat secara keseluruhan.
Pembahasan menarik selanjutnya yang diedukasikan oleh Dr. Fatma Dian Pratiwi, adalah mengenai media sosial dan influencer di Indonesia. Sebagai statement awal, "The Way Social Influencers Reimagine Religious Authority and Islamic Practices" yang mengacu pada muslimis influencer.
Sebagai pembanding awal, Safira Malik dengan konten jum'at berbaginya dan Kadam Sidik dengan konten teori dakwahnya. Yang membedakan dari kedua muslimis influencer ini adalah cara mereka membuat media sosial menjadi sarana transformasi ilmu. Â
Ia mengatakan, platform digital yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sekarang, telah memungkinkan bagi individu maupun komunitas untuk memikirkan kembali konsep agama dan otoritas yang sudah lama ada.
Pengaruh influencer pada sosial media berperan sebagai pemimpin implisit yang inovatif, menghasilkan konten Islam yang lebih mudah diakses dan menarik bagi muslim yang mayoritas adalah generasi muda. Hal ini membedakan mereka dari pemimpin agama terdahulu yang mungkin lebih konservatif dalam pendekatannya.