Sultan kemudian mengeluarkan aturan tentang pelaksanaan meugang tersebut. Sultan melihat bahwa pada waktu itu, Aceh memiliki kekayaan alam yang melimpah, sehingga Sultan tidak ingin ada rakyatnya yang menderita dalam menyambut bulan Ramadhan.
Di dalam tradisi masyarakat Aceh, menyambut Ramadhan harus dalam bentuk pesta besar dan berkumpul bersama semua anggota keluarga sehingga diadakanlah meugang.
Jika di dalam sebuah desa ada orang yang tidak mampu untuk membeli daging, maka kepala desa akan mengumpulkan uang secara patungan dengan warga setempat agar warga yang tidak mampu tersebut dapat membeli dan memakan daging juga pada hari itu. Inilah indahnya saling berbagi dalam tradisi meugang.
Perayaan meugang memiliki beberapa nilai-nilai dalam Islam dan adat istiadat masyarakat Aceh, yaitu: Pertama, nilai religius. Meugang pada hari Raya Idul Fitri adalah sebagai bentuk perayaan setelah sebulan penuh mensucikan diri dari lapar, haus, dan hawa nafsu di bulan Ramadhan.
Kedua, nilai berbagi kepada sesama. Perayaan meugang adalah momen bagi orang kaya untuk membagikan sedekah mereka kepada fakir miskin.
Ketiga, nilai kebersamaan. Tradisi meugang akan menjadi hal yang penting karena pada hari itu semua keluarga akan bertemu dan bersilahturahmi kembali. Mereka yang merantau di negeri orang akan segera pulang ke kampung halaman agar dapat berkumpul bersama keluarganya pada hari meugang.
Keempat, menghormati kedua orang tua dan teungku. Tradisi meugang akan menjadi ajang bagi anak-anak untuk menghormati orang tuanya, para menantu menghormati mertuanya, dan para santri biasanya akan mengunjungi rumah para teungku atau guru ngaji dengan membawakan masakan dari daging meugang, sebagai bentuk penghormatan kepada mereka karena telah mengajarkan ilmu agama dan mendidik mereka dengan tulus dan ikhlas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H