Mohon tunggu...
Cut Intan Rouzatul Jannah
Cut Intan Rouzatul Jannah Mohon Tunggu... Mahasiswa di IAIN Langsa

Cut Intan Rouzatul Jannah Mahasiswa IAIN Langsa Prodi Bimbingan dan Konseling Islam

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Tradisi Meugang untuk Menyambut Bulan Ramadhan di Aceh

16 April 2021   15:55 Diperbarui: 16 April 2021   16:05 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan suci Ramadhan adalah bulan dimana kemuliaan dan keberkahan sangat melimpah pada bulan ini. Banyak pahala yang bisa kita dapatkan dalam bulan ini, maka dari itu banyak umat muslim yang selalu merindukan hadirnya bulan Ramadhan.

Biasanya sebelum Ramadhan tiba, di beberapa daerah di Indonesia khususnya di Aceh memiliki tradisi tersendiri dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Salah satu tradisi itu adalah Meugang.

Meugang adalah rangkaian kegiatan mulai dari membeli, mengolah, serta menyantap daging sapi atau kerbau menjelang puasa, tepatnya dua hari sebelum datangnya bulan Ramadhan.

Bagi masyarakat Aceh, menyambut Ramadhan atau lebaran tanpa meugang akan terasa hambar. Walaupun meugang itu bukan suatu kewajiban, tapi sudah menjadi suatu keharusan, sehingga jarang sekali kita temui masyarakat Aceh yang tidak memakan daging pada saat hari meugang.

Meugang berasal dari kalimat "Mak Meugang"atau "Makmu That Gang Nyan", yang artinya "Makmur sekali pasar itu". Karena pada hari itu seluruh pasar akan terlihat sangat ramai dibanding hari-hari biasanya.

Tradisi meugang ini adalah tradisi penyambutan bulan Ramadhan di Aceh yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Walaupun sudah sangat lama, tradisi tersebut masih tetap ada sampai sekarang.

Tradisi menyantap daging ini sekaligus menjadi simbol bahwa semua umat Islam dapat ikut menikmati makanan mewah tanpa memandang status masyarakat. Baik orang kaya maupun miskin tetap menikmati masakan berupa daging pada hari meugang itu.

Masyarakat aceh biasanya akan mengolah daging menjadi menu santapan berupa rendang, di goreng, masak putih, direbus, di sop, masak merah, atau daging asam keueung.

Menu daging tersebut selanjutnya akan di santap bersama-sama dengan keluarga saat hari itu.

Di pedesaan (gampong) yang masih kuat adatnya, menantu laki-laki yang masih tinggal di rumah mertuanya mempunyai kewajiban membawa pulang daging di saat Meugang untuk dimasak.

Apalagi bagi seorang pengantin baru akan menjadi hal yang memalukan sekaligus aib jika tidak membawa pulang daging ke rumah mertuanya. Sehingga untuk mempersiapkan meugang harus dari jauh-jauh hari karena meugang bukan hanya sekedar tradisi tapi juga masalah harga diri dan gengsi.

Biasanya pada hari meugang akan menjadi hari berkumpulnya untuk semua anggota keluarga. Jika ada anggota keluarga yang merantau pasti akan pulang untuk menikmati makmeugang bersama keluarga satu hari menjelang bulan suci Ramadhan.

Dokpri
Dokpri
Di beberapa titik akan terdapat lapak-lapak kecil para pedagang penjual daging meugang. Jalanan akan terlihat sangat ramai dari hari-hari biasanya. Banyak masyarakat yang membeli daging untuk dimasak saat meugang atau di simpan untuk menu di bulan puasa selama beberapa hari.

Dengan permintaan daging yang meningkat drastis menjelang meugang, maka harga daging sapi juga akan melonjak naik.

Sebenarnya bukan hanya daging sapi saja yang ada pada saat meugang, daging kerbau juga ada. Tetapi karena permintaan daging sapi lebih banyak, maka jumlah daging sapi yang di pasok lebih banyak di pasar saat meugang.

Tradisi Meugang ini tidak hanya dilakukan pada saat menjelang bulan Ramadhan saja. Masyarakat di Aceh menggelar tradisi ini sebanyak tiga kali dalam satu tahun, yaitu menjelang Ramadhan, perayaan Idul Fitri, dan Perayaan Idul Adha.

Meugang merupakan tradisi unik masyarakat Aceh yang sudah berlangsung sekitar 400 tahun silam. Tradisi ini muncul pada masa kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607 sampai dengan 1636.

Pada masa pemerintahannya, sering diadakan acara pemotongan hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagikan ke seluruh masyarakat, terutama menjelang datangnya bulan Ramadhan.

Hal ini dilakukan sebagai ungakapan rasa syukur Sultan kepada Allah SWT atas kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Selain itu hal ini juga dilakukan sebagai rasa berterima kasih Sultan kepada rakyatnya yang sudah mengabdi dan terus mendukung pemerintahannya.

Sultan Iskandar dikenal sangat mencintai rakyatnya, termasuk kaum fakir miskin, anak-anak yatim, dan kaum duafa. Ketiganya menjadi tanggung jawab Sultan untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya.

Meugang bermula ketika para bangsawan atau hulubalang Aceh berbagi rezeki dengan membagi-bagikan zakat berupa makanan dan pakaian kepada kaum fakir miskin dan yatim piatu di Aceh.

Kebiasaan membagikan makanan dan pakaian ini disertai juga penyembelihan sapi yang selanjutnya dagingnya akan dibagikan kepada mereka secara merata,

Sultan kemudian mengeluarkan aturan tentang pelaksanaan meugang tersebut. Sultan melihat bahwa pada waktu itu, Aceh memiliki kekayaan alam yang melimpah, sehingga Sultan tidak ingin ada rakyatnya yang menderita dalam menyambut bulan Ramadhan.

Di dalam tradisi masyarakat Aceh, menyambut Ramadhan harus dalam bentuk pesta besar dan berkumpul bersama semua anggota keluarga sehingga diadakanlah meugang.

Jika di dalam sebuah desa ada orang yang tidak mampu untuk membeli daging, maka kepala desa akan mengumpulkan uang secara patungan dengan warga setempat agar warga yang tidak mampu tersebut dapat membeli dan memakan daging juga pada hari itu. Inilah indahnya saling berbagi dalam tradisi meugang.

Perayaan meugang memiliki beberapa nilai-nilai dalam Islam dan adat istiadat masyarakat Aceh, yaitu: Pertama, nilai religius. Meugang pada hari Raya Idul Fitri adalah sebagai bentuk perayaan setelah sebulan penuh mensucikan diri dari lapar, haus, dan hawa nafsu di bulan Ramadhan.

Kedua, nilai berbagi kepada sesama. Perayaan meugang adalah momen bagi orang kaya untuk membagikan sedekah mereka kepada fakir miskin.

Ketiga, nilai kebersamaan. Tradisi meugang akan menjadi hal yang penting karena pada hari itu semua keluarga akan bertemu dan bersilahturahmi kembali. Mereka yang merantau di negeri orang akan segera pulang ke kampung halaman agar dapat berkumpul bersama keluarganya pada hari meugang.

Keempat, menghormati kedua orang tua dan teungku. Tradisi meugang akan menjadi ajang bagi anak-anak untuk menghormati orang tuanya, para menantu menghormati mertuanya, dan para santri biasanya akan mengunjungi rumah para teungku atau guru ngaji dengan membawakan masakan dari daging meugang, sebagai bentuk penghormatan kepada mereka karena telah mengajarkan ilmu agama dan mendidik mereka dengan tulus dan ikhlas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun