Mohon tunggu...
Cut Dian
Cut Dian Mohon Tunggu... Dosen - Saya dosen di salah satu perguruan tinggi swasta Banda Aceh

Saya memiliki hobby seputar tulis-menulis

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Dari Gampong Blang Leumak Ready to Switch untuk Gapai Asa!

15 September 2020   17:10 Diperbarui: 15 September 2020   17:20 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan salah Bunda mengandung, bila aku terlahir sebagai anak desa yang tinggal di sebuah perkampungan bernama desa Blang Leumak, berjarak 30 km dari ibu kota Kabupaten Nagan Raya. Sebuah desa yang sangat dekat dengan kawasan pertambangan emas, yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat setempat. 

Pun bukan salah Bapak mendidik, jika diusiaku yang belum genap 17 tahun, aku begitu menikmati detik-detik terindah mengayuh sepeda touring bersama seragam abu-abu berbau supak, melintasi jalan berpasir menuju SMA Negeri terdekat dari desaku yang berjarak 15 km.

 Meski beberapa anak laki-laki di desaku lebih menyukai kehidupan berduit sebagai penambang emas tradisional, yang mengolah bongkahan batu besar menjadi butiran emas yang siap dijual di Pasar Simpang Empat, namun keinginanku untuk mengenakan jubah hitam, topi toga, slayer berlogo universitas favorit, serta mengacung erat gulungan sertifikat keilmuanku di suatu hari nanti, lebih membuncah dibandingkan apapun yang dijanjikan oleh desaku.

Aku hanya anak desa yang bermimpi dapat mengecap pendidikan tinggi pada disiplin ilmu teknik pertambangan pada suatu saat nanti. Sebuah disiplin ilmu yang menerapkan pengetahuan dan teknologi untuk mengekstrak mineral dari perut bumi, melalui proses eksplorasi yang tepat, bertanggung jawab dan ramah lingkungan.

Setidaknya, menurutku itulah cara yang dibutuhkan oleh desaku untuk tetap eksis sebagai desa yang kaya sumber daya alam, namun terbebas dari cemaran limbah berbahaya.

Namun sayang, beberapa bulan terakhir ini, aku si anak desa yang menggantungkan harapan setinggi bintang di langit, merasa tak berdaya ketika dihadapkan situasi pandemi yang menghebohkan manusia di seantero dunia. 

Aku harus berpisah sementara waktu dengan bangku-bangku sekolah yang kerap kutulisi rumus-rumus kimia dan fisika, debu kapur tulis yang selalu menempel di ujung hidungku usai memecahkan soalan-soalan rumit di papan tulis, suara serak guru yang menjelaskan pelajaran berulang-ulang, serta sekumpulan buku-buku usang yang berjejer pada rak besi perpustakaan sekolah. 

Kata berita, makhluk kecil tak kasat mata berbadan mahkota-lah yang telah merenggut semua kebebasan itu. Dan kita semua harus menjaga jarak antara satu dengan lainnya mulai saat ini.

Dengan hati nelangsang tertatih-tatih kujajaki pengetahuan dari rumah kecilku yang berada jauh dari kata metropolis. Entahlah, Aku tidak tahu dari mana aku akan memulai semuanya. 

Meja belajarku tidak banyak memuat buku-buku pengetahuan yang harus kulahap setiap hari. Sementara itu, pendidikanku di bangku SMA sudah memasuki tahap akhir. Bagaimana caraku berlaga menghadapi SNMPTN nanti, jika cita-citaku tidak mampu lagi untuk kutepis.

Dalam kekalutan yang mendera, pada suatu pagi aku bertemu dengan Bu Sinta. Guru mata pelajaran Teknologi Terapan/Informatika di SMA ku yang belum lama menyelesaikan studi S2-nya di Jakarta. Bu Sinta menjadi guru favorit di sekolahku karena kebaikan dan kepandaian dalam mengarahkan dan membimbing siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun