Abstrak
Keadilan sosial merupakan salah satu nilai fundamental yang diusung dalam ajaran Islam dan termaktub dalam Al-Qur'an, khususnya melalui kisah-kisah para nabi, termasuk Nabi Syuaib AS. Kisah Nabi Syuaib AS dalam Al-Qur'an memperlihatkan bagaimana seorang pemimpin menegakkan keadilan sosial di tengah masyarakat yang mengalami ketimpangan ekonomi dan moralitas. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis konsep keadilan sosial yang diperlihatkan dalam kisah Nabi Syuaib AS dalam Al-Qur'an, serta membandingkannya dengan konsep keadilan sosial yang diterapkan oleh para pemimpin zaman modern. Melalui pendekatan tafsir tematik dan studi komparatif, paper ini mengeksplorasi kesamaan dan perbedaan prinsip-prinsip keadilan sosial yang dipraktikkan Nabi Syuaib AS dan bagaimana hal ini relevan bagi konteks kepemimpinan saat ini.
Kata Kunci: Keadilan Sosial, Al-Qur'an, Nabi Syuaib AS, Pemimpin Modern, Kepemimpinan, Tafsir Tematik, Studi Komparatif
Pendahuluan      Â
                    Â
Dalam Islam, keadilan adalah prinsip dasar yang harus dipegang teguh. Allah memiliki sifat Maha Adil (al-'Adlu), yang sepatutnya diteladani oleh hamba-Nya. Bagi banyak orang, keadilan sosial adalah cita-cita yang tinggi. Bahkan, banyak negara menyatakan bahwa salah satu tujuan utama mereka adalah menegakkan keadilan.[1] Dalam Islam, terdapat banyak perintah untuk menegakkan keadilan karena agama ini menginginkan agar setiap individu dapat menikmati hak-haknya sebagai manusia, termasuk terpenuhinya kebutuhan dasar seperti keamanan dalam beragama, perlindungan jiwa, raga, dan kehormatan, keselamatan akal, perlindungan terhadap harta benda, serta kelangsungan keturunan. Penegakan keadilan (al-'adl) di dalam kehidupan masyarakat menjadi sarana utama untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut.[2]
Â
Para ulama fiqh dan mufassir mendefinisikan keadilan sebagai pelaksanaan hukum Tuhan, di mana manusia menegakkan hukum sesuai syariat agama sebagaimana yang diwahyukan oleh Allah kepada nabi-nabi dan rasul-Nya. Oleh karena itu, menegakkan keadilan berarti menjalankan perintah Allah SWT dalam menegakkan keadilan.[3] Dalam Islam, keadilan mencakup berbagai aspek kehidupan, terutama dalam bidang dan sistem hukumnya. Sebagai prinsip yang berada setelah tauhid, konsep keadilan ini mencakup hubungan yang luas, seperti hubungan antara individu dengan dirinya sendiri, antara individu dengan sesama manusia dan masyarakat, hubungan antara individu dengan hakim dan pihak yang bersengketa, serta hubungan dengan berbagai pihak lainnya yang terkait.[4]
Â
Dan Pendekatan Keadilan Sosial dalam Kepemimpinan Modern di zaman modern ini, pemimpin sering kali dihadapkan pada tantangan untuk mencapai keadilan sosial dalam masyarakat yang sangat beragam. Konsep keadilan sosial modern sering kali mencakup berbagai aspek, seperti keadilan ekonomi, politik, dan sosial. Pemimpin seperti Nelson Mandela, Martin Luther King Jr., dan Angela Merkel, misalnya, telah menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial dengan menekankan pada kesetaraan hak, penghapusan diskriminasi, dan pemberdayaan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat.[5]
Â
Nelson Mandela, misalnya, dalam perjuangannya melawan apartheid di Afrika Selatan, menekankan pentingnya rekonsiliasi dan kesetaraan rasial, serta keadilan sosial bagi semua lapisan masyarakat.[6] Konsep ini dapat dilihat sebagai relevansi dari prinsip keadilan yang diajarkan oleh Nabi Syuaib AS, di mana perjuangan untuk keadilan ekonomi dan sosial dipandang sebagai kewajiban moral yang harus ditegakkan oleh pemimpin.[7]
Â
Sementara itu, Martin Luther King Jr. di Amerika Serikat menekankan pentingnya perlawanan terhadap ketidakadilan rasial dan diskriminasi. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal mendorong kesetaraan sosial dan menuntut pengakuan terhadap hak-hak dasar setiap individu, yang sejatinya adalah refleksi dari ajaran Nabi Syuaib AS mengenai pentingnya kesejahteraan masyarakat secara adil.[8]
Â
- Kisah Nabi Syuaib AS
Â
Nabi Syu'aib AS memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi Ibrahim AS melalui garis keturunan salah satu putra Ibrahim, yaitu Madyan. Ibunya sendiri adalah putri dari Nabi Luth AS. Karena itu, Nabi Syu'aib diutus setelah Nabi Luth AS namun sebelum Nabi Musa AS. Urutan ini didasarkan pada ayat Al-Qur'an, yaitu dalam Surah Hud ayat 89 dan Surah Al-A'raf ayat 103.
Â
Salah satu rasul Allah SWT yang disebutkan dalam Al-Qur'an, menggambarkan bagaimana beliau menerapkan keadilan sosial di tengah masyarakatnya, yaitu Bani Midyan. Nabi Syuaib AS terkenal atas kebijaksanaan dan keadilannya dalam memimpin. Kisah Nabi Syuaib AS, salah satu rasul Allah SWT yang disebutkan dalam Al-Qur'an, menggambarkan bagaimana beliau menerapkan keadilan sosial di tengah masyarakatnya, yaitu Bani Midyan. Nabi Syuaib AS terkenal atas kebijaksanaan dan keadilannya dalam memimpin.
Â
Nabi Syu'aib memulai dakwahnya dengan mengajak kaumnya untuk bertauhid, yaitu menyembah Allah dan meniadakan kekuatan apa pun yang menguasai diri selain-Nya. Dalam ajaran ini, hawa nafsu termasuk salah satu kekuatan yang sering mendominasi manusia.[9] Oleh sebab itu, dakwah Syu'aib juga berfokus pada mengoreksi perilaku buruk kaumnya yang dapat dikatakan sebagai bentuk penyembahan kepada hawa nafsu. Di antara perilaku menyimpang yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan kaum Madyan adalah: (1) mengurangi timbangan dan takaran, (2) mengambil hak orang lain secara curang, (3) menimbulkan kerusakan di muka bumi,[10] (4) mengancam orang beriman untuk membunuh mereka jika tidak menyerahkan harta, dan (5) menghalangi orang lain dari jalan Allah.
Â
Dan dalam surah Hud ayat 84-86:
Â
"Dan kepada penduduk Madyan kami utus saudara mereka, Syu'aib. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik atau makmur. Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan (kiamat) (84). Wahai Kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hakhak mereka dan jangan pula membuat kejahatan di muka bumi dengan berbuat kerusakan (85). Sisa yang halal dari Allah adalah yang baik bagimu jika kamu orang yang beriman dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu (86).
Â
Ayat ini menggambarkan dialog antara Nabi Syu'aib dengan kaumnya yang hidup dalam keserakahan,[11] padahal Allah telah menganugerahi mereka kekayaan yang melimpah. Nabi Syu'aib merasa khawatir terhadap kaumnya yang cenderung mengabaikan perintah Allah, karena ia tahu bahwa kelalaian mereka dalam bersikap adil dapat mendatangkan azab. Dalam nasihatnya, Nabi Syu'aib selalu menekankan pentingnya menjaga ketauhidan, yaitu hanya menyembah Allah, dan mengingatkan kaumnya untuk berhati-hati dalam urusan takaran dan timbangan. Nabi Syu'aib menegaskan bahwa keadilan dalam semua aspek kehidupan akan membawa keberkahan dari Allah.[12]
Â
Dari sudut pandang sosial, Nabi Syu'aib sebenarnya dihormati oleh kaumnya, tetapi ketika ia menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah dan berhenti berbuat kerusakan, mereka tetap menolak dan meremehkan kebaikan yang ia sampaikan. Salah satu bentuk kerusakan yang mereka lakukan adalah mengabaikan keadilan dalam takaran dan timbangan,[13] yang menurut Ibn Katsr adalah sikap yang merugikan hak-hak orang lain. Nabi Syu'aib memperingatkan kaumnya untuk menimbang dengan adil, tidak mengurangi atau menambah dalam transaksi, serta menghindari menutup akses jalan bagi orang lain. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: " ," yang menurut Ibn Abbas berarti "Rezeki Tuhan lebih baik untukmu."[14]
Â
Secara keseluruhan, ayat ini menekankan pentingnya nilai tauhid dan muamalah dalam hidup. Hanya Allah yang berhak disembah, dan manusia wajib bersikap adil dalam urusan dunia, termasuk dalam menakar dan menimbang, agar hak-hak orang lain tidak terabaikan. Sebagaimana tertulis dalam surah al-Mutaffifin ayat 1-5, Allah mengutuk orang-orang yang curang dalam timbangan, karena perbuatan tersebut merupakan bentuk penghinaan terhadap firman-Nya.[15] Bagi mereka yang berlaku curang, siksaan dunia dan akhirat menanti. Allah mengingatkan bahwa Dia telah memberi nikmat berupa kekayaan, sehingga tak ada alasan untuk curang. Rezeki yang diperoleh dengan cara yang halal akan mendatangkan balasan kebaikan dari Allah.[16]
Â
Hikmah dari ayat ini adalah pentingnya mencari rezeki yang halal. Jika menjadi pedagang, jadilah pedagang yang jujur dengan tidak mengurangi hak pembeli. Dalam konteks kemajuan zaman, transaksi jual-beli di era digital pun menuntut kejujuran, terutama dalam mendeskripsikan produk dengan benar agar pembeli mengetahui ukuran, berat, dan bahan yang sebenarnya. Begitu pula dalam profesi lain, seperti guru dan pelajar, kejujuran dan tanggung jawab adalah kunci. Guru hendaknya mendidik dengan baik dan menjadi teladan, sedangkan pelajar harus berusaha keras dalam belajar dan menghindari plagiarisme atau kecurangan.
Â
Dalam konteks kepemimpinan, ayat ini juga menyiratkan bahwa seorang pemimpin harus menegakkan keadilan, memberi teladan kebaikan, dan memimpin dengan penuh tanggung jawab. Pemimpin yang jujur dan adil akan membawa keberkahan bagi masyarakatnya. Seperti Nabi Syu'aib yang dengan gigih mengajak kaumnya pada kebaikan meski ditolak, seorang pemimpin harus tegas dalam membela kebenaran dan mendorong pengikutnya untuk taat kepada aturan yang berlaku serta menghindari kecurangan. Dengan demikian, masyarakat akan terhindar dari azab yang disebabkan oleh ketidakadilan, dan sebagai gantinya, mereka akan merasakan keberkahan hidup di bawah kepemimpinan yang adil dan bertakwa.
Â
- Studi Kasus Pemimpin Zaman Modern
Â
Prinsip-prinsip yang dibawa Nabi Syuaib AS masih relevan hingga kini. Di era modern, ketidakadilan sosial-ekonomi juga melanda banyak negara. Misalnya, korupsi yang merajalela di sektor publik mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar karena kekayaan negara hanya dinikmati oleh segelintir elit politik. Selain itu, monopoli ekonomi oleh perusahaan besar menekan usaha kecil dan mempersempit peluang masyarakat bawah untuk memperoleh kesejahteraan yang layak.[17] Fenomena eksploitasi sumber daya alam juga menambah kompleksitas masalah sosial-ekonomi, karena kekayaan alam dieksploitasi tanpa memikirkan dampak jangka panjang bagi masyarakat sekitar.
Â
Nabi Syuaib AS mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus memegang prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial. Sayangnya, dalam banyak kasus, para pemimpin modern lebih mengutamakan keuntungan material daripada kesejahteraan sosial. Mereka sering kali tergoda oleh godaan materi dan kuasa sehingga melupakan moralitas. Prinsip-prinsip kepemimpinan Nabi Syuaib AS menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial, nilai-nilai yang sangat diperlukan bagi pemimpin modern untuk mengatasi masalah ketidakadilan social.[18]
Â
- Solusi dan Implementasi Keadilan Sosial di Zaman Modern
Prinsip-prinsip keadilan sosial yang diajarkan oleh Nabi Syuaib AS dapat diterapkan dalam kebijakan publik modern dengan berbagai cara. Misalnya, pemerintah dapat melakukan reformasi sistem perdagangan agar lebih adil bagi semua lapisan masyarakat. Penguatan hukum untuk melindungi hak-hak ekonomi masyarakat, termasuk menindak tegas praktik korupsi, monopoli, dan eksploitasi sumber daya alam, juga penting untuk menciptakan keseimbangan ekonomi.[19]
Pemimpin modern dapat belajar dari Nabi Syuaib AS dalam menegakkan kejujuran dan transparansi dalam setiap aktivitas ekonomi. Mereka juga dapat memprioritaskan program-program yang membantu ekonomi rakyat kecil serta melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan yang berdampak pada kesejahteraan sosial. Dengan demikian, kebijakan yang diambil tidak hanya akan menguntungkan segelintir orang, tetapi juga mendorong terciptanya masyarakat yang lebih adil dan berimbang.
Â
Daftar Pustaka
Â
Ahmad al-Saw al-Maliki, Hsyiyah al-Swi 'ala Tafsr al-Jallain, Juz.3, h. 232.
Â
Ahmad Musafa al-Marghi, Tafsr al-Margh, h. 343
Â
Arif, Abdul. Pemimpin dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017.
Â
Didin Hafidhuddin, Agar Layar Tetap Terkembang: Upaya Menyelamatkan Umat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 249
Â
 Imduddn Abu alFida' Ismail Ibn Katsr, Tafsr al-Qur'n al-'Azm, , Jilid. 3,
Â
Jalal al-Dn al-Suyut, Ad-Durr al-Mansr F Tafsr al-Ma'sr, Beirut: Dr al-Fikr, 1983, Jilid 3, hal. 190.
Â
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Tasikmalaya: Lathifah Press, 2009), h. 72
Â
King, M.L. (1963). Letter from Birmingham Jail. Martin Luther King, Jr. Research and Education Institute.
Â
Mandela, N. (1994). Long Walk to Freedom: The Autobiography of Nelson Mandela. Little, Brown and Company)
Â
Muhammad Dhiaduddin Rais, Teori Politik Islam, Op. Cit., h. 268
Â
Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press)
Â
Setiawan, Taufiq. "Dampak Korupsi terhadap Ketimpangan Ekonomi." Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, vol. 20, no. 3, 2021, pp. 45-58.
Â
Siregar, Andi. "Prinsip Keadilan Sosial dalam Kebijakan Publik." Jurnal Kebijakan Publik, vol. 19, no. 4, 2019.
Â
Wahbah al-Zahail, al-Tafsr al-Was (Bairut: Dr alFikr, 2000), 1065.
Â
Yusuf, A. (2020). Prophetic Leadership: A Model for Modern Justice. Journal of Islamic Studies)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H