Dan dalam surah Hud ayat 84-86:
Â
"Dan kepada penduduk Madyan kami utus saudara mereka, Syu'aib. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik atau makmur. Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan (kiamat) (84). Wahai Kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hakhak mereka dan jangan pula membuat kejahatan di muka bumi dengan berbuat kerusakan (85). Sisa yang halal dari Allah adalah yang baik bagimu jika kamu orang yang beriman dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu (86).
Â
Ayat ini menggambarkan dialog antara Nabi Syu'aib dengan kaumnya yang hidup dalam keserakahan,[11] padahal Allah telah menganugerahi mereka kekayaan yang melimpah. Nabi Syu'aib merasa khawatir terhadap kaumnya yang cenderung mengabaikan perintah Allah, karena ia tahu bahwa kelalaian mereka dalam bersikap adil dapat mendatangkan azab. Dalam nasihatnya, Nabi Syu'aib selalu menekankan pentingnya menjaga ketauhidan, yaitu hanya menyembah Allah, dan mengingatkan kaumnya untuk berhati-hati dalam urusan takaran dan timbangan. Nabi Syu'aib menegaskan bahwa keadilan dalam semua aspek kehidupan akan membawa keberkahan dari Allah.[12]
Â
Dari sudut pandang sosial, Nabi Syu'aib sebenarnya dihormati oleh kaumnya, tetapi ketika ia menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah dan berhenti berbuat kerusakan, mereka tetap menolak dan meremehkan kebaikan yang ia sampaikan. Salah satu bentuk kerusakan yang mereka lakukan adalah mengabaikan keadilan dalam takaran dan timbangan,[13] yang menurut Ibn Katsr adalah sikap yang merugikan hak-hak orang lain. Nabi Syu'aib memperingatkan kaumnya untuk menimbang dengan adil, tidak mengurangi atau menambah dalam transaksi, serta menghindari menutup akses jalan bagi orang lain. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: " ," yang menurut Ibn Abbas berarti "Rezeki Tuhan lebih baik untukmu."[14]
Â
Secara keseluruhan, ayat ini menekankan pentingnya nilai tauhid dan muamalah dalam hidup. Hanya Allah yang berhak disembah, dan manusia wajib bersikap adil dalam urusan dunia, termasuk dalam menakar dan menimbang, agar hak-hak orang lain tidak terabaikan. Sebagaimana tertulis dalam surah al-Mutaffifin ayat 1-5, Allah mengutuk orang-orang yang curang dalam timbangan, karena perbuatan tersebut merupakan bentuk penghinaan terhadap firman-Nya.[15] Bagi mereka yang berlaku curang, siksaan dunia dan akhirat menanti. Allah mengingatkan bahwa Dia telah memberi nikmat berupa kekayaan, sehingga tak ada alasan untuk curang. Rezeki yang diperoleh dengan cara yang halal akan mendatangkan balasan kebaikan dari Allah.[16]
Â
Hikmah dari ayat ini adalah pentingnya mencari rezeki yang halal. Jika menjadi pedagang, jadilah pedagang yang jujur dengan tidak mengurangi hak pembeli. Dalam konteks kemajuan zaman, transaksi jual-beli di era digital pun menuntut kejujuran, terutama dalam mendeskripsikan produk dengan benar agar pembeli mengetahui ukuran, berat, dan bahan yang sebenarnya. Begitu pula dalam profesi lain, seperti guru dan pelajar, kejujuran dan tanggung jawab adalah kunci. Guru hendaknya mendidik dengan baik dan menjadi teladan, sedangkan pelajar harus berusaha keras dalam belajar dan menghindari plagiarisme atau kecurangan.