Bagi masyarakat pun tidak boleh mudah untuk terprovokasi oleh hoaks. Sehingga, penyebaran hoaks tidak akan meluas karena mampu berhenti disatu titik (orang).
Membuatkan sanksi bagi penyebar hoaks
Jika Aku Menjadi Kementrian Agama dengan segera akan membuat sanksi tegas bagi penyebar haoks. Sanksi ini dibuat sebagai senjata bagi pembuat dan penyebar hoaks. Jika terbukti membuat hoaks maka pelaku berhak mendapatkan sanksi berupa pemberhentian akses penggunaan media sosial selama kurun waktu yang ditentukan (sesuai dengan kejahatan).Â
Tidak hanya itu saja, Jika Aku Menjadi Kementrian Agama dan berhasil menemukan pelaku pembuat hoaks maka identitas pelaku harus disebarluaskan agar semua lapisan mengetahui. Sehingga, siapa pun tanpa pandang bulu tidak akan pernah berani membuat hoaks.
Sedangkan sanksi bagi penyebar hoaks dilarang untuk menggunakan teknologi digital jenis apapun. Selain itu, pelaku penyebar hoaks untuk bisa dibina agar bisa menghilangkan niat untuk menyebar hoaks. Sehingga, pengguna media sosial maupun teknologi digital yang masih sehat informasi tidak terpengaruh oleh niat untuk menyebarkan hoaks.
Sanksi ini wajib diberlakukan sebagai rambu-rambu bagi semuanya. Jadi, pengguna media sosial maupun teknologi digital akan lebih berhati-hati dan lebih bijak dalam menyaring informasi yang ada.Â
Mengajak pengguna media sosial maupun teknologi digital untuk bisa mengendalikan diri dalam bermedia sosialÂ
Jika Aku Menjadi Kementrian Agama harus bisa memengaruhi pengguna media sosial maupun teknologi digital untuk bermedia secara sehat. Dengan Media yang sehat secara otomatis akan berdampak pada pengendalian diri. Dampak positifnya, pengguna media sosial maupun teknologi digital akan lebih mudah mengendalikan diri agar tidak terpancing dan terprovokasi oleh hoaks sebab sudah mempunyai bentang bermedia yang sehat.
Itulah langkah-langkah yang bisa dilakukan Jika Aku Menjadi Kementrian Agama dalam melawan hoaks. Selain itu pula, Jika Aku Menjadi Kementrian Agama maka akan berani mengodekan berita. Mengodekan berita ini sebagai pondasi media sehat. Dimana informasi maupun berita yang disebarluaskan harus mempunyai kode sesuai dengan penikmat informasi.
Misalkan saja, berita untuk anak-anak maka diberi kode A, berita untuk remaja maka diberi kode R, dan berita untuk dewasa diberi kode D. Pengkodean ini dilakukan agar anak maupun remaja tidak bebas memakan informasi orang dewasa.Â
Sedangkan orang dewasa berhak menikmati informasi anak maupun remaja karena orang dewasa secara pemikiran sudah mempunyai penalaran bagus daripada anak maupun remaja. Selain itu, perlawanan hoaks dapat diatasi sedini mungkin dari anak maupun remaja yang kondisi emosionalnya terkadang masih labil. Sehingga, pengguna media sosial maupun teknologi dapat menikmati sesuai dengan tingkatanya. Â Â