Tiba-tiba Camus berkunjung ke kepala, Ia sampaikan kabar yang sedikit buatku tersenyum, "Tak apa, sampai hari ini, di gunung Tartarus, si Sisifus masih mendorong batu!". Mungkin, kesia-siaan akan selalu lebih unggul dari ribuan keringat. Sebab Sisifus dan bahagianya yang mampus adalah menyoal perjudian Tuhan. Mungkin. Aku juga masih pikirkannya. Atau, lebih layak melihat Sisifus yang bahagia, sementara sebenarnya Ia menderita. Nampaknya, akan lebih realistis. Entahlah.
Aku berdiri sejenak. Meraih ponsel yang sedang mengisi daya di atas meja, di samping "Norwegian Wood" milik Murakami yang lusuh setelah ada notifikasi pesan yang berbunyi. Ku harap, pesan dari Arin yang sebelumnya berpamitan akan segera mati suri. Ya, Ia bilang mati suri, bukan tidur.
Dengan getir, aku melihat sinis. Sebab, ternyata hanya pesan dari seorang di salah satu grup yang membagikan desas-desus informasi susunan kabinet jendral pelanggar HAM yang akan segera dilantik. Maniak politik kekuasaan yang hobi menghibah jatah dan menjilat. Sampah!
Ku tutup whatsapp dengan jijik, lalu ku buka spotify, kuletakkan kembali di atas meja setelahnya. Biarkan daftar lagu yang terangkum berputar berurutan.
Kesepian selalu berhasil mengantarkan kesepian lain yang tak pernah dirasa Nietsczche yang sifilis sibuk memaki gerombolan manusia dari dalam kamarnya. Dan, aku berhenti memaki sepi pasca Dongker membantuku mengorganisir marah dengan "Bertaruh Pada Api". Sialnya, setelahnya adalah "Sedih Memandang Mimpi" yang berulang ungkapkan pameo pasca sepasang kekasih berbagi gelisah di 34 kamar kosan; Sudah seharusnya cinta terus tumbuh, lebih dari ini, dari hari ini. Sudah seharusnya cinta terus tumbuh, lebih dari ini, dari esok hari.
Ku lihat wajahku di kaca jendela yang tempias. Ia nampak pucat, lelah dan nelangsa. Tertinggal diam di bibirnya yang kaku membeku. Tergantungkan hampa di hitam kornea mata yang kosong pandangnya. Ia nampak ingin sampaikan kejujuran yang belum pernah tersampaikan.
Aku mununggu dengan seksama. Menerka cara bagaimana Ia akan bicara.
Tujuh menit dua puluh tiga detik terhitung telah lewat. Ia masih saja diam. Namun nampak lebih muram. Seperti kehilangan pesta, cinta dan kata yang membuat seolah yang tersisa dari hidup hanya sunyi menyedihkan yang tak patut dirayakan dengan satupun gembira.
"Bukankah, ada yang ingin kau sampaikan?", ku tanyakan pada bayanganku di kaca jendela yang masih saja tempias.
Ia masih saja diam, tak menjawab.
"Bagaimana kau ingin segalanya berakhir?", tanyaku lagi.