Mohon tunggu...
N. Alam Pratama
N. Alam Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Lingkar Ide

Penikmat musik, anime dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Diary

Catatan untuk Seorang Perempuan Bagian 2

2 Januari 2024   14:09 Diperbarui: 2 Januari 2024   14:10 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Catatan Untuk Seorang Perempuan Bagian 2

Detak arloji dalam kamar yang sunyi memaksaku untuk mengorganisir ulang waktu dan pengalaman yang telah usang

Arin tidak terlalu suka pesta dan ramai. Ia lebih memilih pergi ke cafe atau makan di angkringan daripada menyalakan kembang api di sesak kerumunan alun-alun atau taman kota sewaktu perayaan malam tahun baru. Tapi, Ia sebenarnya suka merayakan bahagia secara kecil-kecilan dengan lilin warna Merah, surprise, teh maupun Anggur dan hadiah.

Dahulu sekali, di Basrah, Irak, hidup seorang sufisme perempuan yang luhur; Rabia'ah al-Adawiyah sang Syahidatul 'isyqil Ilahi. Ia lebih banyak membunuh waktu dengan ibadah dan berdoa dikesunyiaan yang teramat dalam ketimbang terkoneksi dengan kehidupan luar rumahnya yang terik dan sesak. Di Jakarta, saat ini, Arin lebih banyak menghabiskan waktu libur di kamarnya yang wangi dan rapi atau pergi ke Starbucks; membaca dan menulis. Atau, sebab ia adalah pekerja urban, bukan sufistik, maka saat weekend, ia bunuh waktu dengan menyelesaikan daftar pekerjaan yang menumpuk dan minum kopi. Kemudian terseok-seok pulang akibat hujan.

Sedang, Apabila suatu hari sang Syahidatul 'isyqil Ilahi berjalan di pasar membawa obor dan air untuk membakar surga dan menyiram neraka. Maka di suatu hari lain, Arin membawa pamflet dan megafon di Senayan atau sesekali setiap Kamis di depan istana kepresidenan untuk sekedar ikut mencari keadilan yang telah lama hilang.

Serupa Rabi'ah al-Adawiyah menerbangkan doa-doanya lewat sunyi dan sendiri ke langit-langit semesta yang luas, Arin menguntai harap dan asa untuk segala hal baik sekaligus mengutuk hal buruk, kebijakan negara dan segala kekerasan baik dari dalam kamar sewaktu malam atau depan istana kepresidenan. Ia pasti akan sangat manis.

Arin, Cinta dan "The Art of Loving"

Arin jarang sekali mengirim pesan whatsapp yang manis atau mengolah senja dan hujan menjadi kalam suci a la anak indie hari ini (red: anak senja). Namun,diam-diam ia juga menulis puisi. Meski demikian, bagiku, Ia adalah romantis dalam diam dan dingin, juga berisik dan cerewetnya. Dengan kata lain ia romantis disetiap ke-randoman-nya.

Senja dan hujan tidak dibutuhkan oleh Arin untuk menjadi romantis. Sebab Arin akan romantis dengan caranya sendiri; setiap hari mengirim pesan yang nyaris sama; menanyakan kabar, makan dan aktivitas. Sampai tiba malam hari, ia ngajak makan dan nongkrong di caf juga pergi ke kebun Teh Tambi atau telaga esok hari kendarai Scoopy Hitamnya; Ternyata ia telah meninggalkan Jakarta tanpa memberi kabar lebih dulu. Atau, telepon berkali-kali, berisik dan cerewet di pagi hari akibat aku kesiangan atau bermalas-malasan, telat sholat subuh juga sarapan dan minum kopi.

Tidak. Arin, tidak memaksaku untuk bangun pagi apalagi memposisikanku cuma sebagai objek. Pun sebaliknya. Bangun pagi adalah konklusi dari beberapa premis yang diperdebatkan yang berdampak pada kesepakatan bersama: Aku berjanji untuk bangun pagi setiap hari sedang Arin berjanji akan membangunkanku setiap pagi.

Kesepakatan bersama dalam sebuah hubungan percintaan (setidaknya bagi aku dan Arin) adalah upaya dan kesadaran untuk membangun hubungan yang setara; tidak ada dominasi tertentu yang akan berdampak pada terjadinya paksaan, pengekangan juga kekerasan akibat adanya posisi yang saling bertentangan. Salah satu pihak sebagai objek yang inferior sedang di sisi lain sebagai subjek yang superior. Dengan kata lain, cinta adalah saling meng-subjek-an satu sama lain, bukan meng-objek-an yang lain. Kekuatan cinta seperti inilah yang akan membawa pada keindahan karena tidak didasari oleh hasrat hewani untuk sekedar memiliki.

Erich Fromm, seorang filsuf psikologi-sosial asal Jerman, beranggapan bahwa cinta bukan sekedar hubungan timbal-balik (symbiotyc unuion) antara dua orang atau lebih yang membuat masing-masing mendapat kesenangan semata. Namun cinta adalah keaktifan dalam dualitas aktif-pasif. Sebagai entitas aktif, cinta adalah serupa energi di dalam diri yang mengaktifkan kehendak menjadi aktivitas otonom yang termanifestasikan dalam ucapan dan tindakan.

Mungkin, bila cinta adalah immaterial dan nirdimensi (fana dari ruang dan waktu) pada muasalnya, maka agak bisa dibilang menistakan cinta bila mengubah wujudnya menjadi material dan berdimensi. Sebab akan menghilangkan kemurnian cinta dan membuatnya menjadi bias. Namun, pertanyaanya, bagaimana akan mengetahui hal yang absolut bila tidak mengerti negasinya? Bagaimana mengetahui cinta bila tanpa ucapan dan tindakan yang dilakukan? Artinya, cinta yang immaterial dan nirdimensi mesti harus dinegasikan ke dalam bentuk material dan berdimensi agar mendapati kuantifikasinya; seberapa dalam, luas dan besar cinta itu.

Setiap individu punya keunikannya masing-masing baik berupa karakter, hobi, minat, bakat, dsb maka perlu untuk disadari bahwa ketika mencintai seseorang berarti tidak mencintai benda mati (objek) melainkan mencintai subjek yang hidup dan dinamis. Meskipun telah mengikrarkan bahwa "aku dan kamu telah menjadi kita" yang perlu digarisbawahi adalah sublimasi tersebut bersifat paradoksal akibat "kita" adalah gabungan dua individu yang berbeda.

Sebab itu, agar terhindar dari penciptaan standar ideal dan tercemar lumpur narsistik maka, menurut Fromm, cinta memiliki titik koordinatnya: hormat (respect) sebagai bentuk meng-subjek-an atau menghidupi eksistensi seseoang. Peduli (care) adalah empati atas derita yang dialami dan perhatian secara aktif untuk pertumbuhan dan kehidupan seseorang. Tanggung jawab (responbility) sebagai bentuk responsif atas kebutuhan seseorang dengan tanpa perasaan terbebani, melainkan secara sukarela. Dan pengetahuan (knowledge) adalah memahami betul seorang yang dicintai baik pada dimensi rasio, emosional maupun intuitifnya. Pun, sebab cinta adalah keaktifan, maka sudah semestinya lebih banyak untuk memberi daripada untuk menerima.

Mencintai merupakan pilihan untuk tumbuh bersama di antara perbedaan demi perbedaan yang pasti dengan meniadakan ego. Maksudku, mencintai berarti mengenal, memahami hingga taraf paling dalam adalah mengalami apa yang terjadi, dilakukan dan dirasakan satu sama lain. Tidak mengatakan aku mencintaimu namun diam-diam sekaligus memakai standar ideal yang dikonduktori oleh libido guna memvonis yang lain.

Apalagi, malah meletakkan pada logika kalkulatif serupa maksim kapitalisme yang berlaku di peradaban modern hari ini "Aku akan memberimu sesuai dengan apa yang ku terima". Bila semacam itu, maka  mencintai sama halnya cuma sebagai transaksi kepribadian dengan cinta yang dijadikan sebagai medianya. Palsu.

Akhirnya, aku selesai menulis ini. Malam ini kembali aku tak menepati janji untuk tidur lebih awal. Aku tahu, pagi hari aku dan Arin akan sama-sama memberi maaf. Arin akan memaafkanku sebab aku tidak tidur dan bangun lebih awal. Sedang aku akan memaafkan Arin sebab Ia pasti merasa bersalah akibat tidak bisa membangunkanku pagi-pagi.

Tentu aku sangat ingin waktu pagi adalah merasakan belaian jari Arin yang lembut tanpa maaf dan salah sebelum tersentuh dingin air dan sinar matahari. Maka, untuk harap tentang pagi yang harmonis itu, aku akan merawat cinta selembut-lembutnya seperti seorang ibu yang merawat bayinya dari mulai merangkak, berdiri, berjalan dan berlari. Pun aku meyakini, bahwa Arin juga sama.

Meski akan sangat sulit, rumit dan merepotkan. Tapi begitulah cinta dan praktik mencintai yang oleh Erich Fromm dikatakan sebagai seni. Sebab, tidak ada seorang pelukis pun yang mampu mengkonfigurasikan imajinasi, tinta dan kanvas menjadi keindahan dengan hanya melihat Les Demoiselles d'Avignon milik Picasso, Monalisa milik Leonardo da Vinci atau The Persistence of Memory Salvador Dali, dsb tanpa berkali-kali menumpahkan tinta di lembar kanvas yang bersih.

Sebab seni adalah keindahan, maka cinta pun adalah keindahan dalam setiap proses dan hasilnya. Dan, mencintai Arin adalah melukiskan keindahan hidup ditengah keterasingan akibat rutinitas kerja yang menjadi anak kandung kapitalisme. Sebab, mencintai Arin adalah hal paling eksistensial.

Sebelum ku matikan laptop. Ku buka diary notebook milik Arin yang dititipkan padaku:

Jalan M.H. Thamrin, No. 9

Di dalam Starbucks yang mewah dan mahal

Aku menyaksikan

Jakarta dioperasikan dengan ayat-ayat kapital

(Jakarta, 3 Mei 2020)

Di kamar kontrakan

Sepulang dari rumah seorang teman

Aku bertanya dan menangis

Kenapa rindu ini tak pernah habis

Di kamar kontrakan

Setelah hujan-hujanan

Aku sendiri dan hati ini remuk

Berharap kita segera berbagi peluk

Dan, di kamar kontrakan

Ada hal yang tak bisa ku selesaikan

Meredam pilu akibat rindu

Belaian jari ibu juga pelukmu

(Semarang, 8 Oktober 2020)

Meski harap adalah tentang bahagia

Aku ingin kau tetap bagikan sedih yang menganga

Sebab aku tak ingin sekedar hari esok yang ada

Namun, sekarang yang bersama merasa

(Jakarta, 12 Desember  2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun