Mohon tunggu...
N. Alam Pratama
N. Alam Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Lingkar Ide

Penikmat musik, anime dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Diary

Catatan untuk Seorang Perempuan Bagian 2

2 Januari 2024   14:09 Diperbarui: 2 Januari 2024   14:10 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Erich Fromm, seorang filsuf psikologi-sosial asal Jerman, beranggapan bahwa cinta bukan sekedar hubungan timbal-balik (symbiotyc unuion) antara dua orang atau lebih yang membuat masing-masing mendapat kesenangan semata. Namun cinta adalah keaktifan dalam dualitas aktif-pasif. Sebagai entitas aktif, cinta adalah serupa energi di dalam diri yang mengaktifkan kehendak menjadi aktivitas otonom yang termanifestasikan dalam ucapan dan tindakan.

Mungkin, bila cinta adalah immaterial dan nirdimensi (fana dari ruang dan waktu) pada muasalnya, maka agak bisa dibilang menistakan cinta bila mengubah wujudnya menjadi material dan berdimensi. Sebab akan menghilangkan kemurnian cinta dan membuatnya menjadi bias. Namun, pertanyaanya, bagaimana akan mengetahui hal yang absolut bila tidak mengerti negasinya? Bagaimana mengetahui cinta bila tanpa ucapan dan tindakan yang dilakukan? Artinya, cinta yang immaterial dan nirdimensi mesti harus dinegasikan ke dalam bentuk material dan berdimensi agar mendapati kuantifikasinya; seberapa dalam, luas dan besar cinta itu.

Setiap individu punya keunikannya masing-masing baik berupa karakter, hobi, minat, bakat, dsb maka perlu untuk disadari bahwa ketika mencintai seseorang berarti tidak mencintai benda mati (objek) melainkan mencintai subjek yang hidup dan dinamis. Meskipun telah mengikrarkan bahwa "aku dan kamu telah menjadi kita" yang perlu digarisbawahi adalah sublimasi tersebut bersifat paradoksal akibat "kita" adalah gabungan dua individu yang berbeda.

Sebab itu, agar terhindar dari penciptaan standar ideal dan tercemar lumpur narsistik maka, menurut Fromm, cinta memiliki titik koordinatnya: hormat (respect) sebagai bentuk meng-subjek-an atau menghidupi eksistensi seseoang. Peduli (care) adalah empati atas derita yang dialami dan perhatian secara aktif untuk pertumbuhan dan kehidupan seseorang. Tanggung jawab (responbility) sebagai bentuk responsif atas kebutuhan seseorang dengan tanpa perasaan terbebani, melainkan secara sukarela. Dan pengetahuan (knowledge) adalah memahami betul seorang yang dicintai baik pada dimensi rasio, emosional maupun intuitifnya. Pun, sebab cinta adalah keaktifan, maka sudah semestinya lebih banyak untuk memberi daripada untuk menerima.

Mencintai merupakan pilihan untuk tumbuh bersama di antara perbedaan demi perbedaan yang pasti dengan meniadakan ego. Maksudku, mencintai berarti mengenal, memahami hingga taraf paling dalam adalah mengalami apa yang terjadi, dilakukan dan dirasakan satu sama lain. Tidak mengatakan aku mencintaimu namun diam-diam sekaligus memakai standar ideal yang dikonduktori oleh libido guna memvonis yang lain.

Apalagi, malah meletakkan pada logika kalkulatif serupa maksim kapitalisme yang berlaku di peradaban modern hari ini "Aku akan memberimu sesuai dengan apa yang ku terima". Bila semacam itu, maka  mencintai sama halnya cuma sebagai transaksi kepribadian dengan cinta yang dijadikan sebagai medianya. Palsu.

Akhirnya, aku selesai menulis ini. Malam ini kembali aku tak menepati janji untuk tidur lebih awal. Aku tahu, pagi hari aku dan Arin akan sama-sama memberi maaf. Arin akan memaafkanku sebab aku tidak tidur dan bangun lebih awal. Sedang aku akan memaafkan Arin sebab Ia pasti merasa bersalah akibat tidak bisa membangunkanku pagi-pagi.

Tentu aku sangat ingin waktu pagi adalah merasakan belaian jari Arin yang lembut tanpa maaf dan salah sebelum tersentuh dingin air dan sinar matahari. Maka, untuk harap tentang pagi yang harmonis itu, aku akan merawat cinta selembut-lembutnya seperti seorang ibu yang merawat bayinya dari mulai merangkak, berdiri, berjalan dan berlari. Pun aku meyakini, bahwa Arin juga sama.

Meski akan sangat sulit, rumit dan merepotkan. Tapi begitulah cinta dan praktik mencintai yang oleh Erich Fromm dikatakan sebagai seni. Sebab, tidak ada seorang pelukis pun yang mampu mengkonfigurasikan imajinasi, tinta dan kanvas menjadi keindahan dengan hanya melihat Les Demoiselles d'Avignon milik Picasso, Monalisa milik Leonardo da Vinci atau The Persistence of Memory Salvador Dali, dsb tanpa berkali-kali menumpahkan tinta di lembar kanvas yang bersih.

Sebab seni adalah keindahan, maka cinta pun adalah keindahan dalam setiap proses dan hasilnya. Dan, mencintai Arin adalah melukiskan keindahan hidup ditengah keterasingan akibat rutinitas kerja yang menjadi anak kandung kapitalisme. Sebab, mencintai Arin adalah hal paling eksistensial.

Sebelum ku matikan laptop. Ku buka diary notebook milik Arin yang dititipkan padaku:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun