Mohon tunggu...
N. Alam Pratama
N. Alam Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Lingkar Ide

Penikmat musik, anime dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Diary

Catatan untuk Seorang Perempuan

1 September 2023   16:06 Diperbarui: 1 September 2023   16:08 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Untuk Seorang Perempuan

Di antara hujan dan gelap, seorang perempuan berbisik kepada sunyi;
"God, I belive, You always strengthen"

Waktu itu, di penghujung sore Semarang, hujan menyiram polusi udara dan meredam radiator raksasa bernama rumah kaca dan aspal hitam yang beberapa jam lalu turut serta membuat seisi kota panas.

Kota Lama, hujan dan "The River in the Pines" yang ditembang-sedihkan Joan Baez adalah suasana menuju malam yang melankolis sekaligus tragis; tukang becak cemas dan murung karena cuma mangkal buat menunggu hujan reda, bukan penumpang. Pun aku; murung dan cemas. Murung karena harus memarkirkan motor di tepi jalan dan menunda pulang. Cemas akibat Arin pucat dan mengeluh sakitnya kambuh.

Aku tak bisa memutuskan apakah harus mencari apotek buat beli obat dan meninggalkan Arin sendiri di bawah kanopi lawas berukuran kecil bangunan kuno atau berdua hujan-hujanan mencari apotek sekaligus melanjutkan pulang.

Pun, aku tidak bisa menyimpulkan apakah rasa cemas dan sedih adalah akibat melihat ia menahan sakit dan pucat atau karena menyaksikan ketimpangan kelas, ketidakadilan ekonomi dan banalitas pembangunan yang menyisakan bencana ekologi. Sebab, ia selain mengeluhkan sakitnya yang tiba-tiba menyerang tubuh, juga marah dan cemas. Marah karena melihat derita kelas bawah yang sudah naik seleher dan cemas kalau tak lama lagi banjir akan ikut naik ke leher.

Walau Semarang tak sejahat dan sedigdaya Jakarta yang jadi pusat kosmos derita dan kegaduhan daerah, setidaknya menjadi representasi atas kedigdayaan Jakarta yang memarjinalkan seluruh lapisan masyarakat kelas bawah, juga meninggalkan jejak kerusakan dan bencana mendatang daerah-daerah Jawa Tengah. Sebab, pada prinsipnya, Jakarta-Semarang adalah sama; prasyarat berjalannya mode of production kapitalisme global yang busuk secara lebih bar-bar melalui kertas, telepon dan aparat keamanan; logika kekuasaan teritori dan logika kekuasaan kapitalistik yang berkompromi demi kepentingan masing-masing yang oleh David Harvey, seorang intelektual marxis asal Inggris kemudian didakwakan, bahwa imperialisme-kapitalis terlahir dari relasi dialektis dua logika tersebut.

Henry Lefebvre, Seorang intelektual marxis lain asal Prancis juga menganggap bahwa keberhasilan kapitalisme dalam memperpanjang nafasnya adalah dengan production of space. Ruang (space) di dalam peradaban kapitalisme modern secara spasial (spacial space) adalah arena pertarungan yang diperebutkan tanpa menemui titik akhirnya. Sedang ruang social (social space) dibentuk oleh hubungan masyarakat baik secara individu maupun kolektif yang dipengaruhi oleh corak produksi dominan. Akibat dari tangan raksasa kapitalisme modern yang mencengkram kuat, maka ruang secara spasial oleh kapitalisme selalu disesuaikan dengan kepentingan kapital hingga mental dan kondisi masyarakat di dalam ruang sosial juga terpengaruh. Hal inilah yang oleh Lefebvre diistilahkan sebagai production of social space; relasi antara ruang spasial dengan masyarakat.

Kapitalisme global dengan sistem kerjanya yang busuk, jahat dan tamak adalah malapetaka besar bagi siapapun tanpa terkecuali; membangun logika ruang abstrak sebagai basis akumulasi kapital; ruang bisnis yang destruktif dan kekuasan kapital politik negara; memaksa petani Wadas dan Kendeng cerai dengan tanah kandungnya yang menghidupi dan dihidupi dengan penuh cinta, kasih, harap dan asa. Sedang Semarang sejatinya tetaplah kehidupan yang kompleks dan suasana kota-pelabuhan yang berisik, terik matahari yang ganas dan deru mesin industri yang arogan juga pergaulan sosial dan perilaku muda-mudi hype kelas menengah metropolis yang urban dan immoral. Tentu, kondisi tersebut hanya bagian dari keseluruhan yang membentuk Semarang, sebab di bagian lain ada tangis dan lapar tunawisma dan anak jalanan di bilangan kota lama dan simpang lima, perasaan was-was dan takut masyarakat pesisir bila air laut meluap, kemiskinan akut dan krisis air yang parah, dan beberapa perempuan dan laki-laki yang sibuk menyesuaikan diri dengan standar kecantikan dan kemapanan, sedang beberapa yang lain mengutuk mitos kecantikan dan anti-kemapanan. Pun, ada aku dan Arin yang terjebak hujan dan berbagi gelisah, dibilangan kota lama yang sunyi dan sedih, berteduh dan termenung menyaksikan kerlip lampu-lampu jalan dan bangunan temaram, serta air hujan yang turun menggenang dan satu-dua mobil melintas pelan di hadapan.

Aku tahu, Arin selalu menyimpan sakitnya sendiri dihadapan banyak orang, Namun diam-diam sebenarnya ia juga mengeluh kepadaku. Persis seperti malam itu di antara arsitektur kuno, tepi jalan Kota Lama yang abu-abu dan hujan yang mengingatkan pada aroma kopi hangat buatan Abror. Sial, aku benar-benar ingin cepat sampai kota kelahiran.

Meski Arin kadang mengeluhkan kondisinya padaku, namun ia tak mau kalau aku terlalu mencampuri urusan tubuh, sakit dan kehendaknya. Sebab itu, aku juga tak mau memaksakan kehendak padanya, "I have a choice and I know the consequences. So, I'm always happy" begitu katanya. Padahal mendengar keluh dan rintih ketika ia menahan sakit, bagiku adalah serupa mendengar pak Pramoedya bercerita "Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer" yang buat hati sengsara.

Matanya menyala merah di raut wajahnya yang pucat, seperti seorang perempuan gypsy sewaktu musim dingin baru menghabiskan Scotch whisky di bantaran sungai Eden. Tubuhnya menggigil digerogoti dingin akibat angin yang mengamuk dan makan yang juga tertunda. Sedang, lampu-lampu yang temaram mengiringi tinta hitam mengepung permukaan Kota Lama dan hujan yang semakin deras membasahi arsitektur kuno, jalanan paving dan harap yang mengganggu. Ia tetap merekahkan senyum.

Melihatnya tersenyum, berarti ia sedang berbagi hangat. Dan hangat yang lahir dari senyum adalah tanpa api, maka kehangatan itu perlu dirawat sebaik dan selembut mungkin di dalam altar hati yang suci. Pun, senyumnya bukan cuma ia maksudkan sebagai metode untuk membius khawatirku terhadap pesakitannya. Namun, senyumnya adalah lentera yang ia curi dari si sinis Diogenes de Sinope; jujur dan sederhana yang menyihir jejak nafas cemas dan terengah di paru-paru Jawa Tengah menjadi sepotong roti yang yang harus dibagi.

Keadaan yang dingin, lelah dan parau, sama seperti Paris saat musim panas yang membuat Sartre dan Beauvoir lebih banyak menghabiskan waktu di pojok Shakespeare & co, menghindari terik dan kerumitan ekonomi dengan membaca sampai larut. Malam itu, aku dan Arin sepakat menghabiskan waktu dengan berteduh sampai air di langit surut. Sekaligus bersikeras meredam gelisah yang menyalak dalam benak.

Aku tahu, sebenarnya ia gelisah. Setidaknya dua hal yang membuatnya gelisah, sakitnya yang tak kunjung membaik dan subuh sudah harus berangkat ke Ibu Kota. Tapi ia selalu tangguh dan tidak cengeng. Dan, selalu pintar menyembunyikan perasaan. Sama seperti dahulu Ia menyembunyikan kasih sayang bertahun-tahun di pojok hati dan diary notebook yang disimpan rapi di lemari pojok kamar. Malam itu, Ia sembunyikan perasaan gelisah di dalam sebuah mantra yang berkali-kali ia bisikkan kepada sunyi secara khusyuk dan manis"God I belive, You always strengthen".

Pucat pasi wajah Arin dan kelopak mata kemerah-merahan yang berkaca-kaca adalah kalimat kegelisahan yang ia simpan serapat-rapatnya dalam hati bersama api keinginan untuk segara pulang dan meninggalkan kemalangan perjalanan yang tak terduga. Ia dengan senyum dan cerita, waktu itu adalah upaya agar serotonin dalam tubuh mengirimkan sinyal kepada sel saraf bahwa ia baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Seperti seorang perempuan tua di sebuah desa di Edinburgh, Skotlandia pada akhir abad pertengahan yang setiap pagi dengan lembut dan suci merawat Sapi di rerumputan hijau yang luas belakang rumah, mengolah bir di seperempat malam yang dingin sambil menyanyikan Scarborough Fair sebagai mantra anti wabah hitam yang menyerang seantero Britania Raya dan setia menunggu damai-tenangnya hari perayaan Misa di gereja tiba. Namun, turut serta menanggung cemas dan gelisah akibat perburuan penyihir bisa saja mengakhiri hidupnya dengan tragis. Pun, Arin, ia menanggung cemas dan gelisahnya tentang sakit dan lelah yang akan berkepanjangan. Dan, aku, segeralah merangkulnya erat di antara temaram dan angin yang berkecamuk, seperti Arin yang tersenyum, untuk sekedar berbagi hangat dan tekad buat bertahan, berdua.

Aku tahu. Meski Semarang, setidaknya kota lama waktu itu, adalah malam yang berkerudung suram dan dikerubungi takut, juga sepi dan detak waktu tergadaikan. Namun, ada sepotong bahagia sederhana yang harus dirawat dalam kenang yang manis, seperti sisa-sisa hujan bulan juni yang ditulis liris pak Sapardi. Sepotong bahagia itu adalah bekas senyum dan peluk yang menghangatkan, juga tekad dan keyakinan yang menguatkan untuk tetap bertahan; bertahan dari badai dan sakit, dingin dan basah, lelah dan lapar, juga bertahan untuk tetap hidup dan sinis pada antagonisme kapitalisme yang tak terinterupsi. Sebab bahagia di planet yang dikelola oleh sistem kapitalisme adalah fragmen dari keadaan yang amat sangat dengan mudah dirampas oleh Aristokrat, oligark dan politisi. Sedang, derita adalah kisah yang tak berkesudahan mencari muaranya; kecuali pengadilan, jeruji besi dan kematian.

Komune Paris, runtuhnya tembok Berlin, revolusi Oktober, revolusi kebudayaan Tiongkok Occupy Wall Street hingga reformasi Indonesia 1998 tidak pernah benar-benar selesai. Sedang kapitalisme selalu mereproduksi ruang dan waktunya. Dan, sejarah akan terus berlanjut, entah kapan waktu menang yang sebenar-benarnya dirayakan, setelah sampai kota kelahiran dan waktu subuh Arin berangkat ke Jakarta, aku tidak ingin jarak adalah menjadi akhir. Jarak adalah sekedar tidak bertemunya mata dengan mata dan percakapan secara langsung; aku tidak ingin pertemuan dengan Arin benar-benar selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun