Matanya menyala merah di raut wajahnya yang pucat, seperti seorang perempuan gypsy sewaktu musim dingin baru menghabiskan Scotch whisky di bantaran sungai Eden. Tubuhnya menggigil digerogoti dingin akibat angin yang mengamuk dan makan yang juga tertunda. Sedang, lampu-lampu yang temaram mengiringi tinta hitam mengepung permukaan Kota Lama dan hujan yang semakin deras membasahi arsitektur kuno, jalanan paving dan harap yang mengganggu. Ia tetap merekahkan senyum.
Melihatnya tersenyum, berarti ia sedang berbagi hangat. Dan hangat yang lahir dari senyum adalah tanpa api, maka kehangatan itu perlu dirawat sebaik dan selembut mungkin di dalam altar hati yang suci. Pun, senyumnya bukan cuma ia maksudkan sebagai metode untuk membius khawatirku terhadap pesakitannya. Namun, senyumnya adalah lentera yang ia curi dari si sinis Diogenes de Sinope; jujur dan sederhana yang menyihir jejak nafas cemas dan terengah di paru-paru Jawa Tengah menjadi sepotong roti yang yang harus dibagi.
Keadaan yang dingin, lelah dan parau, sama seperti Paris saat musim panas yang membuat Sartre dan Beauvoir lebih banyak menghabiskan waktu di pojok Shakespeare & co, menghindari terik dan kerumitan ekonomi dengan membaca sampai larut. Malam itu, aku dan Arin sepakat menghabiskan waktu dengan berteduh sampai air di langit surut. Sekaligus bersikeras meredam gelisah yang menyalak dalam benak.
Aku tahu, sebenarnya ia gelisah. Setidaknya dua hal yang membuatnya gelisah, sakitnya yang tak kunjung membaik dan subuh sudah harus berangkat ke Ibu Kota. Tapi ia selalu tangguh dan tidak cengeng. Dan, selalu pintar menyembunyikan perasaan. Sama seperti dahulu Ia menyembunyikan kasih sayang bertahun-tahun di pojok hati dan diary notebook yang disimpan rapi di lemari pojok kamar. Malam itu, Ia sembunyikan perasaan gelisah di dalam sebuah mantra yang berkali-kali ia bisikkan kepada sunyi secara khusyuk dan manis"God I belive, You always strengthen".
Pucat pasi wajah Arin dan kelopak mata kemerah-merahan yang berkaca-kaca adalah kalimat kegelisahan yang ia simpan serapat-rapatnya dalam hati bersama api keinginan untuk segara pulang dan meninggalkan kemalangan perjalanan yang tak terduga. Ia dengan senyum dan cerita, waktu itu adalah upaya agar serotonin dalam tubuh mengirimkan sinyal kepada sel saraf bahwa ia baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Seperti seorang perempuan tua di sebuah desa di Edinburgh, Skotlandia pada akhir abad pertengahan yang setiap pagi dengan lembut dan suci merawat Sapi di rerumputan hijau yang luas belakang rumah, mengolah bir di seperempat malam yang dingin sambil menyanyikan Scarborough Fair sebagai mantra anti wabah hitam yang menyerang seantero Britania Raya dan setia menunggu damai-tenangnya hari perayaan Misa di gereja tiba. Namun, turut serta menanggung cemas dan gelisah akibat perburuan penyihir bisa saja mengakhiri hidupnya dengan tragis. Pun, Arin, ia menanggung cemas dan gelisahnya tentang sakit dan lelah yang akan berkepanjangan. Dan, aku, segeralah merangkulnya erat di antara temaram dan angin yang berkecamuk, seperti Arin yang tersenyum, untuk sekedar berbagi hangat dan tekad buat bertahan, berdua.
Aku tahu. Meski Semarang, setidaknya kota lama waktu itu, adalah malam yang berkerudung suram dan dikerubungi takut, juga sepi dan detak waktu tergadaikan. Namun, ada sepotong bahagia sederhana yang harus dirawat dalam kenang yang manis, seperti sisa-sisa hujan bulan juni yang ditulis liris pak Sapardi. Sepotong bahagia itu adalah bekas senyum dan peluk yang menghangatkan, juga tekad dan keyakinan yang menguatkan untuk tetap bertahan; bertahan dari badai dan sakit, dingin dan basah, lelah dan lapar, juga bertahan untuk tetap hidup dan sinis pada antagonisme kapitalisme yang tak terinterupsi. Sebab bahagia di planet yang dikelola oleh sistem kapitalisme adalah fragmen dari keadaan yang amat sangat dengan mudah dirampas oleh Aristokrat, oligark dan politisi. Sedang, derita adalah kisah yang tak berkesudahan mencari muaranya; kecuali pengadilan, jeruji besi dan kematian.
Komune Paris, runtuhnya tembok Berlin, revolusi Oktober, revolusi kebudayaan Tiongkok Occupy Wall Street hingga reformasi Indonesia 1998 tidak pernah benar-benar selesai. Sedang kapitalisme selalu mereproduksi ruang dan waktunya. Dan, sejarah akan terus berlanjut, entah kapan waktu menang yang sebenar-benarnya dirayakan, setelah sampai kota kelahiran dan waktu subuh Arin berangkat ke Jakarta, aku tidak ingin jarak adalah menjadi akhir. Jarak adalah sekedar tidak bertemunya mata dengan mata dan percakapan secara langsung; aku tidak ingin pertemuan dengan Arin benar-benar selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H