Pun, selain respon atas situasi eksistensial seperti seorang anarkis yang berani, ada pula yang tenggelam dalam keputusasaan dan depresi. Ada yang mencoba lari dari kenyataan, mencoba hidup di dunia fantasi dengan media ganja, heroin, sabu-sabu dan obat-obatan. Ada pula yang membunuh kegelisahan dengan mengikat tali di kepala dan melayang atau seperti Kurt Cobain yang meninggalkan selembar surat dan menyasarkan peluru shotgun di kepala. Aku, pun kamu punya cara masing-masing untuk merespon situasi eksistensial. Apapun itu yang diyakini, tepat untuk dilakukan. Tidak ada yang baik dan buruk. Tidak ada.
Suatu hari aku dapat kabar melalui pesan whatsapp dari salah seorang intel polisi yang ku kenal baik secara personal. Ya, secara personal, tidak untuk cara pandang dan keberpihakan politik. Tentu aku benar-benar membuat garis embarkasi secara tegas untuk hal-hal politik. Pun, perkenalan kami adalah akibat dari satu panggung demonstrasi dan panggung demonstrasi lain. Tentu aku pun enggan bersekongkol dengannya.Â
Aku pun sempat menulis selebaran via story whatsapp menuduhnya dan berpuluh-puluh anggota lain melakukan intimadasi, mencoba menggagalkan aksi protes disahkannya "Omnibuslaw Cipta Kerja" selama berjam-jam hingga hampir shubuh di salah satu hotel kota ini tepat sebelum aku dan beberapa teman-teman bersiap membakar ban dan mencaci meraka beserta seluruh institusi negara lainnya.Â
Pesan yang ia sampaikan waktu itu adalah tragedi bunuh diri tetanggaku sendiri yang rumahnya hanya berjarak jalan dan satu rumah dari rumahku, sekaligus menanyaiku apakah aku tahu atau tidak. Dengan perasaan kaget, Aku hanya menjawab secara singkat, "aku tidak tahu". Pun sebenarnya, aku juga nyaris tidak peduli dan cuman menyimpulkan bahwa tentu ada motif tertentu dari tindakan seorang laki-laki tua yang mengakhiri hidup dengan gantung diri; kabur dari depresi dan putus asa, mengakhiri hidup sebagai respon atas situasi eksistensial yang menyakitkan. Entah seberapa hebatnya perasaan depresi yang tiap hari menghantui dan menampar hati, merancukan psikologi hingga ia berani menentukan cara untuk mati secara mandiri, aku tidak tahu. Yang aku tahu, kehidupanku masih terus berlanjut dan tidak ada yang berubah; berhadapan dengan penderitaan dan merespon situasi eksistensialku sendiri, melihat orang lain tetap menjalankan rutinitas yang sama dan buatku bosan.
"Mereka mengatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan seorang pengecut; juga menyatakan bahwa hanya orang gila yang melakukan itu; dan hal lain yang membuat orang bunuh diri terlihat buruk; atau mereka membuat pernyataan irasional bahwa bunuh diri itu salah; cukup jelas bahwa setiap orang di dunia ini memiliki sisi yang tidak dapat disentuh oleh orang lain, yaitu kehidupan personalnya" -Arthur Scopenhauer, Studies in pessimism: The Essays (2004)
Yang ada, hidup tinggalah hidup. Suatu hal yang pikirku adalah sangat subjektif. Pun bila para filsuf saling berebut dan berdebat makna hidup yang objektif. Maka tak salah seorang depresif mendefinisikan hidup sebagai yang nirmakna, hingga bunuh diri menjadi pilihan paling rasional. Meskipun beberapa orang, mungkin kebanyakan, menganggap bahwa tindakan bunuh diri adalah bodoh dan pengecut, pecundang dan keliru, tapi apa makna hidup bagi seorang depresif dan putus asa? Yang melihat ujung kehidupan hanyalah mati dan ketidakbermaknaan hidup adalah diyakini. Aku enggan buat membenarkan dan menyalahkan. Sebab, tindakan bunuh diri, pikirku tidak sesederhana bahwa seorang ingin mati saja. Melainkan kompleks dan misteri. Misal, Socrates mengutuk tindakan bunuh diri adalah salah dan tolol, namun ia pun mati secara monumental dengan menenggak racun setelah divonis pengadilan sebagai racun keimanan yang merusak. Padahal, ia punya kesempatan buat hidup dengan syarat mengakui apa yang diajarkannya adalah kesesatan dan/atau kabur sesuai apa yang telah direncakan oleh murid-muridnya. Namun ia memilih menenggak racun dan berkhotbah untuk tidak takut mati demi kebenaran yang diyakini.
Kadang, perasaan sebagai manusia yang asing dan merasa keberadaan diri sebagai yang berbeda mewujud di tengah komunal dan lingkungan sosial. Sebagai yang berbeda, kerap sekali mendapat stigma miring sebab tidak memenuhi standar baku konvensi sosial yang berlaku. Misal, mencoba mempresentasikan bunuh diri sebagai pilihan paling rasional dan tepat bagi seorang depresif yang punya masalah-masalah fundamental dan tak punya jalan keluar akan dianggap gila dan tidak waras. Sama halnya ketika ngomongin bahwa seorang perempuan yang sengaja mempublish aktivitas seksualnya dengan sadar sebagai salah satu ekspresi kebebasan dirinya sendiri sebagai perempuan atau Ganja adalah medium buat rekreasi diri dan penyembuhan mental.Â
Semua itu adalah tabu dan terbilang tolol. Praktis, ruang-ruang bercerita dan berkeluh kesah bagi orang-orang medioker menyoal segala kegelisahan, masalah-masalah hidup dan segala nihilitasnya dan kepencundangan sebagai manusia yang bernafas menjadi semakin sempit. Akhirnya, yang tersisa baginya hanyalah ruang kemurungan dan kemalangan ditengah kehidupan yang seakan cuman diliputi kebanalan yang menyeramkan dan konvensi sosial/komunal yang hipokrit.
Mungkin apa yang ku katakan terdengar gelap, suicide, suram dan cenderung pesimis. Namun, bila memang humanisme dan otonomi-diri yang diresepkan oleh John Locke benar adanya maka tidak ada yang lebih buruk dan menjijikkan daripada memaksa seorang untuk tetap hidup di tengah hasratnya untuk mati adalah hal yang paling fundamental; Tidak ada yang lebih najis dan tidak manusiawi dari memaksakan kehendak atas pilihan seseorang.Â
Akhirnya, di bawah langit sore yang mendung kota hujan, seorang yang memilik hasrat untuk mati menyadari bahwa tidak ada yang lebih alamiah dari air mata, pun tidak ada yang lebih jujur dari kemarahan atas keputusasaan yang pasrah dan masalah yang tidak memiliki jalan keluar. Mau ngomong apapun tentang segala kegelisahan dan uneg-uneg kehidupan, seabrek masalah dan beban-beban abstrak yang menghantui di setiap helaan nafas. Siapapun tidak akan pernah memahami dan merasakan penderitaan yang begitu hebat secara paripurna. Mereka hanya merasasakan duka lara dalam semacam simulasi impuls emosi yang mewujud rasa empati dan simpati. Kemudian dilupakan dan ditanggalkan di hari yang baru.Â
Kehidupan terus berlanjut. Dan berlanjut seperti biasanya; merasakan kemalangan demi kemalangan, kebosanan demi kebosanan dan skeptis sekaligus sinis; Menyeduh kopi dan mendengarkan musik menjadi alternatif meredamkan intensi untuk mati; Tidak akan ada yang benar-benar (mau) mengetahui dan memahami secara utuh situasi dan kondisi personal; dan, sambil berharap untuk mati daripada berkali-kali dicabik dan dimakan Elang, Prometheus masih menunggu Zeus menyelamatkannya dari hukuman atas perbuatannya; pun sisifus tak henti-hentinya mendorong batu, setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari sampai jantungnya berhenti berdetak. Akan tetapi, seorang yang secara esensial ingin mati, harus tetap membayangkan dirinya bahagia. Dan seseorang juga benar-benar harus membayangakan bahwa Prometheus rematik, sisifus kesleo, Nietzsche tipes dan Albert Camus asam lambung.