Mohon tunggu...
N. Alam Pratama
N. Alam Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Lingkar Ide

Penikmat musik, anime dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apa yang Terpenting bagi Hidup

14 Agustus 2023   16:37 Diperbarui: 14 Agustus 2023   16:56 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memulai tulisan ini dengan marah, sekaligus menolak kalah. Di antara distorsi kegembiraan "The Ballad of Jimmy & Johnny" milik Rancid dan rasa haru atas masa lalu yang muncul tiba-tiba dari folder ingatan dalam otak: aku menulis sekaligus menangis. Namun setidaknya seorang baik pernah berkata kepadaku, "Ada hikmah dari setiap peristiwa, semua tinggal bagaimana diri menafsir dan memberi makna sebagai bekal pengetahuan yang membesarkan tekad dan kekuatan atau untuk jatuh di jurang keputusasaan tanpa nyala harapan, sebab manusia dibekali akal untuk memilih dan hati untuk meyakini" Ah, kalimat itu adalah keindahan selain puisi dan doa-doa. Lagu pelipur lara yang menyihir sedih menjadi senyum. Aku mengingat, dan terus mengingat sambil menguntai terimakasih lewat doa-doa untuk segala kebaikannya.

Bertahan untuk hidup adalah tidak bisa ditolak. Bertahan bukan berarti menerima begitu saja, melainkan bertarung dan berdoa. Pun, bukan pula posisi terpukul telak dan bersiap menerima fakta pahitnya kekalahan, melainkan sikap teguh melanjutkan pertempuran untuk bangkit dan menang. Artinya, bertahan adalah keyakinan untuk melanjutkan hidup. Entah kalah atau menang tidak akan ada yang pernah berhenti. Tidak akan pernah ada yang berakhir.

Omong-omong soal kemenangan dan kekalahan, tentu setiap orang pernah mengalami baik secara personal maupun komunal. Namun apa artinya semua itu? Mungkin, kemenangan adalah bentuk validasi atas segala kerja keras yang berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dilakukan, sehingga dalam posisi ini kemenangan memantik kembang api kegembiraan di pesta penghujung malam dan kekalahan yang muram. Sedang kekalahan adalah keterpurukan dan kegetiran, menyiksa dan hina, kekecewaan atas rasa lelah dan kegagalan di antara tangis yang memecah hening dan marah yang membakar waktu.

Bila kemenangan dirayakan dengan pesta pora, kembang api, Wine dan luapan kebahagiaan diri yang menjadi-jadi, maka perayaan kekalahan adalah tangis histeris di antara gelap dan redup nyala lilin di hadapan peti mati kemenangan yang segera dikuburkan. Lantas, apa setelah itu semua?

Kemenangan dan kekalahan adalah sama. Bukan akhir, pun bukan awal. Keduanya hanya akan menjadi dongeng di kemudian hari, yang baik terarsipkan secara rapi atau berantakan oleh memori peradaban. Rapi dalam bentuk kata dan frasa, kalimat dan paragraf dilembar kertas bernomor dan berjudul. Berantakan dalam ingatan kolektif pribadi dan orang lain, di jalan-jalan, tembok-tembok dan benda lain yang merekam, atau disuatu peristiwa yang nyaris sama. Tidak ada kemenangan yang patut dirayakan secara berlebihan, pun bukan berarti berhenti dan mati untuk sebuah kekalahan. Sebab akan datang kemenangan dan kekalahan lain di lain hari. Yang perlu dirayakan dalam gembira hanyalah menjalani hidup di atas lumpur kesia-siaan dengan tanpa ragu; menyemai kebaikan untuk tiap yang dijumpa dan berani memulai hal baru, juga melakukan pergulatan eksistensial. Sedang yang perlu ditangisi dan disesali bukanlah kekalahan, melainkan diri yang berhenti bertualang dan putus asa, terkungkung di dalam tempurung siklus kehidupan yang membosankan dan kehilangan imajinasi. Sebab, bila hidup tak lagi bermakna, monoton dan terus-menerus berkutat dengan derita, maka akan lebih baik mati. Begitulah kiranya.

Mengingat kemenangan dan kekalahan berarti mengurai ironi dan ketidakbermaknaan. Memikirkan pencapaian berarti mendengar John Lennon mengutuk The Beatles yang membuatnya populer. Apa arti dari ambisi bila nantinya manusia hanya abadi dalam mati?

Aku berkutat pada refleksi atas kegelisahan yang ku alami. Bertanya dan berusaha menjawab, mengorganisir ulang bacaan dan pengalaman. Menghisap rokok dan minum kopi. Mendengar musik yang berputar acak; Rancid, Social Distortion, Bad Religion, Pennywise, The Interrupters, NOFX dan yang lain silih berganti menggerogoti sepi. Dan, aku musti membayangkan diri untuk bahagia, serupa anjuran Albert Camus untuk membayangkan Sisifus bahagia, "The struggle itself towards the height is enough to fill a man's hearth. One must imagine Sissyphus happy" begitu ungkap Camus.

Kegelisahan adalah akumulasi dari kemenangan dan kekalahan. Ia tumbuh di atas tanah harapan yang lapang dan hampa. Semakin kuat di antara pikiran dan tekanan sosial hingga jiwa menampung seabrek beban yang harus dipenuhi. Sebuah beban "sosial" sebab standar kehidupan yang diorkestrasikan oleh mekanisme pasar. Pada hal ini aku benar-benar mengutuk kapitalisme yang jahat. Pun, meskipun mengutuk adalah sia-sia. Fuck Capitalism!

Perasaan gelisah juga muncul akibat keseharian yang monoton, membosankan dan menjenuhkan; bangun tidur, mandi, berangkat kerja atau kuliah, menyelesaiakan tugas dari dosen atau dateline pekerjaan, makan, pulang, pun sesekali nongkrong di caf, tidur. Sekaligus memikul tuntutan akan masa depan yang abstrak. Sebab, sedang satu tuntutan terpenuhi, tuntutan lain masih saja menghantui dan mengganggu. Akhirnya, hidup cuman sekedar berlomba memanjat tebing kesia-siaan untuk memungut keping-keping ketidakberartian.

Aku hopeless di antara kerumunan dan keadaan. Seperti Meursault yang morbid dalam L'Etranger yang ditulis Albert Camus; aku careless, pasif dan tidak punya semangat hidup. Melankolis dan mencoba romantis. Aku melihat kesibukan demi kesibukan orang lain setiap hari, mendengar pertengkaran dan gerutu. Bertengkar karena saling berebut posisi, gerutu karena hilang ekspektasi. Selalu saja seperti itu. Aku muak dan meludah. Orang-orang hanya melakukan rutinitas yang sama setiap harinya. Tidak beranjak. Terjebak dalam garis waktu. Namun, aku pun ternyata sama. Bila orang-orang terasing dari dirinya sendiri sebab harus hidup sesuai konvensi dan standar hidup peradaban modern, maka aku adalah alien yang terdampar di panggung teater masyarakat modern. Kenyataan ini sungguh menjengkelkan.

Kegelisahan adalah situasi eksistensial yang memantik diri untuk memberi respon. Masing-masing dari punya caranya sendiri untuk merespon situasi eksistensial tersebut. Baik sesuai atau tidak dengan konvensi sosial yang berjalan dan hukum yang berlaku, itu adalah pilihan responsif masing-masing. Misal, suatu hari ada seorang anarkis yang digerayangi kegelisahan akibat kejahatan struktural (red: negara) yang terus berlanjut, dari Kulon Progo, Yogyakarta dan tanah Wadas, Jawa Tengah, dari Pakel, Jawa Timur hingga Bara-baraya, Sulawesi Selatan, dari Pembantaian Talangsari, Tragedi Kanjuruhan dan tragedi kemanusiaan lain. Dari desa-desa yang tanahnya dirampas dan kampung kota yang digusur. Dari pembangunan yang menyisakan bencana dan bekas represifitas aparat. Kegelisahan demi kegelisahan yang terakumulasi menjelma rasa benci dan kecewa di antara bensin dan sumbu api yang membakar pos polisi. Tentu, bila merujuk pada konvensi sosial yang berjalan itu adalah tindakan biadab dan bila mengacu hukum negara, maka itu adalah kejahatan. Namun, sebuah tindakan tidak melulu dipandang secara biner; benar dan salah, baik dan jahat, atau beradab dan biadab. Apapun memiliki motif dan visi yang menyatu dengan pengalaman dan kenyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun