Awal Oktober 2022 publik dihebohkan dengan kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus adopsi anak secara ilegal untuk tujuan eksploitasi oleh "Ayah Sejuta Anak" atau Suhendra di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Bahkan santer terdengar kabar dari berbagai pemberitaan di media sosial, terkuaknya kasus ini menurut keterangan Kapolres Bogor AKBP Iman Imanuddin setelah mendapatkan informasi adanya dugaan perdagangan anak tersebut melakukan penangkapan terhadap Suhendra yang terkenal sebagai "Ayah Sejuta Anak".
Suhendra dalam melancarkan aksinya mengumpulkan para perempuan yang hamil. Setelah melahirkan, bayi tersebut kemudian diambil oleh Suhendra.
Menurut informasi yang tersebar di kanal-kanal sosial media, dikabarkan bahwa pengadopsi dimintai sejumlah uang Rp 15 Juta dari setiap satu anak oleh Suhendra mengatas namakan Yayasan Ayah Sejuta Anak. Tidak ada yang menduga, ternyata ada motif ekonomi dibalik aksi Suhendra ini.
Malansir pernyataan Nahar dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, menyebutkan bahwa dalam kasus di atas ada beberapa dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh terduga pelaku, diantaranya (1) praktek adopsi ilegal dengan indikasi tidak sesuai peraturan dan pemalsuan dokumen; (2) melakukan perdagangan anak dan TPPO dengan modus adopsi anak; (3) kekerasan terhadap korban melalui intimidasi dan pemaksaan menyerahkan bayi paska kelahiran; (4) eksploitasi perempuan dan anak melalui medsos untuk dijadikan konten yang dapat mengumpulkan donasi; dan (5) pelanggaran lain terkait ijin yayasan dan Lembaga Kesejahteraan Sosial.
Merujuk pada Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, pengertiannya adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Berdasarkan pasal tersebut, unsur tindak pidana perdagangan orang ada tiga yaitu: unsur proses, cara dan eksploitasi. Jika ketiganya terpenuhi maka bisa dikategorikan sebagai perdagangan orang.
Sedangkan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, dan atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 1 ayat 3 UU No 21 Tahun 2007).
Sedangkan yang disebut proses adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.
Sebenarnya, sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang tidaklah main-main yaitu kurungan Penjara dan atau Denda. Sanksi kurungan penjara, minimal 3 tahun maksimal 15 tahun. Sanksi denda bagi pelaku perorangan Rp 150-600 juta, sementara untuk perusahaan sanksi penjaranya minimal 9 tahun dan maksimal 45 tahun, atau denda minimal sebesar Rp 360 juta, dan maksimal Rp 1,8 miliar.
Hemat penulis, menyikapi kejadian adopsi anak illegal oleh "Ayah Sejuta Anak", setiap orang dapat berperan melakukan pencegahan TPPO sedini mungkin.
Masyarakat juga dapat berperan aktif melakukan pengawasan dan melaporkan jika terjadi kasus-kasus kekerasan serta TPPO yang terjadi di lingkungannya. Dengan berani melapor, masyarakat sudah terlibat mencegah berulangnya kasus sejenis terjadi kembali serta telah membangun kesadaran kritis.
Misalnya melaporkannya pada yang mengetahui segala bentuk kasus kekerasan dan dugaan TPPO kepada SAPA129 KemenPPPA melalui hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129 atau melaporkan ke polisi setempat.
Sedangkan di tingkat Negara, pemerintah mulai dari pusat hingga kelurahan juga perlu meningkatkan kapasitas aparatnya agar semakin sadar terhadap bahaya tindak pidana perdagangan orang, khususnya adopsi anak illegal. Para penegak hukum dan kementrian komunikasi dan informatika juga perlu bekerja bersama melakukan patrol "daring" di media sosial untuk menyisir akun-akun yang diduga kuat menawarkan jasa adopsi.
Tidak kalah penting, agaknya setiap orang juga perlu meningkatkan literasi pengetahuan tentang kerentanan anak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Tujuannya, agar tidak mudah tergiur dengan tawaran sejumlah uang dari orang yang berniat melakukan adopsi anak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H