Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Zuly Qodir dan Pemikiran Islam Syariah di Indonesia

10 November 2022   15:26 Diperbarui: 10 November 2022   15:45 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul depan buku, dokumentasi pribadi

Membaca buku "Islam Syariah vis a vis Negara Ideologi Gerakan Politik Indonesia" yang ditulis oleh Zuly Qodir, tampaknya setiap pembacanya akan memperoleh suguhan menu spesial isu sosial keagamaan dalam kacamata sosiologis, bukan dogmatis.

Menurut penulisnya, buku ini memuat karangan-karangan yang telah terbit di jurnal akademik universitas di Yogyakarta yang mendapatkan tambahan di beberapa bagian yang disesuaikan dengan konteks kekinian. Dalam konteks hubungan Agama dan Negara dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, Zuly Qodir mengungkapkan setidaknya ada 3 hal.

Pertama, masalah teologis yang menempel pada kehidupan umat beragama oleh sebab turunan dari ideologi-keyakinan penganut setiap agama yang ada. Biasanya disebut sebagai klaim kebenaran (truth claim) yang menganggap bahwa di luar agama yang dianut tidak lebih dari agama palsu.

Masalah semakin rumit karena klaim kebenaran ini seolah-olah mendapatkan legitimasi dari kitab suci yang dipahami secara kaku-tekstual. Akibatnya pemahaman terhadap teks suci tersebut tidak memasukkan dimensi sejarah sosial (social historic) yang menjadi bagian dari basis hadirnya teks suci tiap agama.

Terutama yang menyangkut pada agama Ibrahim; Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiga agama ini tidak pernah lepas dari pertentangan atau dalam istilah Zuly perebutan wilayah dakwah-misi untuk memperluas penganut di tengah masyarakat.

Kedua, masalah kultural. Misalnya tentang konversi (hijrah) agama ternyata menjadi problem politis sebab disinyalir ada peran kelompok keagamaan (baca:Islam). Dalam konteks ini Zuly menyontohkan konversi agama di masyarakat Jawa Hindu yang hijrah ke Islam di lereng Tengger, Semeru.

"sebenarnya perpindahan agama dapatlah dipandang sebagai sebuah proses sosial yang wajar, tatkala perpindahan agama dilakukan dengan cara sadar, tanpa paksaan.." (hlm.xi).

Berangkat dari pernyataan di atas, tampak jelas bahwa sejauh yang dirasakan ada semacam pelabelan negatif ketika terjadi konversi dari agama satu ke agama lain. Padahal, boleh jadi ketika seseorang pindah agama karena menemukan "pertolongan" Tuhan dan merasa lebih meyakini pada agama barunya.

Sampul depan buku, dokumentasi pribadi
Sampul depan buku, dokumentasi pribadi

Perpindahan agama menurut Zuly, bukan merupakan masalah teologis yang mengkhawatirkan. Alasannya jelas, karena kepenganutan agama di dalam tradisi sebagian besar kalangan masyarakat lebih dekat dengan faktor keturunan dan pengaruh lingkungan. Contohnya begini, jika Bapak-Nenek moyang beragama Islam sangat dimungkinkan beragama Islam, begitu seterusnya.

Ketiga, masalah struktural atau akibat kontrol dan keterlibatan negara yang sangat kuat "ikut campur" dalam kehidupan umat beragama. Terbitnya Surat Keputusan Bersama pendirian rumah ibadah adalah contohnya.

Akibatnya sering kali muncul tuduhan-tuduhan dan kecurigaan antar umat beragama, misalnya isu Kristenisasi, Islamisasi, Katolikisasi dan hembusan "gosip" bantuan luar negeri atas pendirian Gereja.

Selain SKB, problem lain yang kerap muncul adalah terasa dominan keterlibatan negara dalam urusan agama, misalnya hadirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur secara rigid kehidupan umat beragama, bukan hanya Islam. Di sana diatur boleh-tidaknya Perkawinan Antar Agama, Hak perwalian, Hak Pewarisan dan Adopsi anak.

Dari sini setiap orang dapat membayangkan jika umat beragama sungguh tidak mudah menghadirkan agama sebagai sesuatu yang personal, bahkan genuine (murni).

"Dalam konteks masyarakat yang pluralistik, maka syariah hemat saya harus mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan kaum minoritas, menghormatinya sebagai bagian dari hak-hak dasar yang harus diakuinya" (hlm.xv).

Ketika membaca buku ini kita akan diajak berkeliling mengitari cakrawala pengetahuan keislaman kontemporer yang saya andaikan seperti puzzle berserak yang berusaha dikumpulkan oleh Zuly Qodir. Lalu ia tawarkan jalan keluar atas munculnya ketiga problem di atas.

Tawaran solusi oleh Zuly yang menyebut bahwa cara pandang standar ganda perlu diubah menjadi cara pandang pluralis yang menempatkan kesetaraan dalam kebenaran agama yang akan menumbuhkan mutual trust antarumat beragama. Tampaknya menarik untuk disimak bagaimana nasib dan keberlanjutan jalan keluar yang disampaikan olehnya.

Saya meyakini jika para penggiat isu agama dan sosial pasti tidak asing dengan sosok penulis yang satu ini. Zuly Qodir merupakan presidium Jaringan Intelektual Muhammadiyah, penulis aktif di berbagai media cetak dan alumni Ponpes Krapyak Yogyakarta serta Doktor Sosiologi di Universitas Gajah Mada. Saat ini Zuly Qodir merupakan Lektor Kepala Prodi Program Doktor Politik Islam-Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Beberapa bukunya yang pernah diterbitkan antara lain, Agama dalam Bayang-bayang Kekuasaan, Agama dan Etos Dagang, Ada apa dengan Pesantren Ngruki, Syariah Demokratik: Pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia, Islam Liberal, Pembaharuan Pemikiran Islam.

Bagi saya, buku ini sangat penting dibaca, bahkan perlu dijadikan bahan acuan untuk melihat dan meninjau ulang hubungan antara agama dan negara. Sekian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun