Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kisah Preman Taubat di Zaman Nabi Isa

3 Juli 2022   19:17 Diperbarui: 3 Juli 2022   19:58 1159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin mencatat sebuah kisah inspiratif yang bisa diambil sebagai pembelajaran. Kisah ini tentang Hawariyin yang merupakan orang-orang hebat, kekasih Allah, dan para pengikut Nabi Isa 'alaihissalam.

KH. Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha telah menceritakannya dalam sebuah tayangan yang diunggah oleh akun Instagram gusbaha.official sebagaimana diceritakan kembali oleh laman muslimobsession.com

Suatu hari, saat Hawariyin sedang menempuh perjalanan. Tampak terlihat oleh seorang preman sangat tertarik mengikuti orang-orang shalih tersebut. Dia pun langsung bergabung dalam barisan rombongan.

Namun di antara Hawariyin ternyata ada salah seorang yang merasa risih dengan kehadiran preman.

"Aku dikenal wali, kok dekat dengan preman?!" ungkap Gus Baha.

Maka si wali lantas mempercepat jalannya. Sedangkan preman sejak awal memperlambat jalannya. Preman ini rupanya rendah diri dan merasa orang semacam dirinya tidak layak bersama orang shalih.

"Intinya, preman ini menjaga kesopanan, sementara si wali memelihara keangkuhan." ujar Gus Baha.

Lalu apa yang terjadi? Saat itu juga Allah berfirman kepada Nabi Isa 'alaihissalam.

"Isa, dua orang ini memulai amal dari nol! Wali ini Aku hapus amalnya, preman ini Aku hapus semua dosanya." Gus Baha menambahkan.

Semuanya nol-nol. Menurut Gus Baha, satu pihak (preman) memperoleh barakahnya adab (etika), sementara satunya lagi (wali) mendapat konsekuensi dari perilaku ujub (sombong).

"Jadi kita tidak pernah tahu, Allah itu meletakkan ridha-Nya di mana dan meletakkan sukhtu (murka-Nya) di mana!" pungkas Gus Baha.

Kisah di atas, semoga dapat menjadi pembelajaran setiap orang agar tidak merasa paling baik diantara yang lain. Meminjam istilah Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah karena seburuk-buruknya manusia harus ada baiknya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun