Perkawinan dan kontrak sosial
Merujuk pada UU No. 1 Tahun 1974, bahwa akad nikah yang lazim disebut perkawinan didefinisikan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari sini kita dapat melihat bahwa pernikahan bukanlah peristiwa "main-main" karena selain dicatatkan secara hukum juga ada hubungannya dengan Tuhan (bagi yang beriman). Bahkan dalam kitab suci Al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 185 telah digambarkan bahwa istri dan suami sebagai pakaian. Istri pakaian bagi suami dan suami pakaian bagi istri.
Kita semua memahami jika pakaian memiliki fungsi menutupi dan melindungi pemakainya. Menutupi yang tidak "baik" seperti kekurangan istri dan suami yang tidak perlu diumbar vulgar kepada publik. Melindungi dari segala bentuk "bahaya" yang mengancam keutuhan rumah tangga.
Melindungi disini bukan dimaknai salah satu pihak pasti lebih kuat, namun keduanya justru memiliki kelemahan masing-masing. Oleh karenanya kedua belah pihak agaknya perlu mengedepankan prinsip kesalingan; saling menjaga, saling melengkapi dan saling menguatkan.
Meminjam istilah M. Amin Abdullah dalam Menuju Keluarga Bahagia menyebutkan bahwa rumah tangga adalah bangunan yang dibentuk dan "kontrak sosial" dua belah pihak (istri- suami), sudah seharusnya keduanya memiliki tanggung jawab dalam mengelola, merawat hubungan dan memperindah rumah tangga tersebut agar terjaga keutuhannya.
Perempuan dan laki-laki yang telah terikat "kontrak sosial" atau dalam bahasa al-Qur'an biasa disebut miitsaqon gholiidhon (perjanjian yang kokoh, lagi berat) yang tentu saja memiliki perbedaan setelahnya. Karena sudah terikat kontrak, maka kedua belah pihak tidak bisa seenaknya sendiri karena ada konsekuensi logis setelah penanda tanganan kontrak tersebut yang disaksikan oleh banyak orang.
Saking pentingnya kontrak sosial tersebut, tentu akan berdampak pada kesediaan mengemban amanah. Istri amanah suami dan sebaliknya suami amanah istri. Dalam hal ini amanah tidak boleh dimaknai sebagai hubungan kepemilikan. Keduanya memiliki posisi setara dan sejajar dalam memenuhi hak dan kewajiban. Keduanya juga memiliki tanggung jawab yang sama terhadap-NYA. Baik istri maupun suami keduanya perlu memiliki kesadaran penuh untuk beradaptasi akan kehadiran pasangannya.
Karena pernikahan adalah hubungan yang sederajat, maka tidak semestinya menghalangi atau mematikan peran seseorang di luar rumah apalagi peran tersebut juga memiliki kemanfaatan bagi rumah tangga. Semestinya kontrak sosial ini membuat keduanya semakin menguatkan posisi, meningkatkan kemampuan keduanya. Dengan catatan tidak ada paksaan dan didasarkan pada musyawarah mufakat.
Dalam gambaran yang lebih luas, pernikahan adalah proses meninggalkan fase kehidupan sendiri, dan sebagai proses memasuki kehidupan bersama yang menyinergikan kedua belah pihak yang berbeda jenis kelamin, latar belakang, konstruksi nilai bahkan berbeda kultur dan kebiasaan.
Inilah contoh paling nyata dalam kehidupan pernikahan, bahwa keragaman sebagai keniscayaan yang tidak mudah dibantah. Keragaman ini akan "dilebur", dicairkan, dialirkan atau dipadatkan dalam institusi pernikahan. Artinya ada tantangan bagaimana cara kita merespon realitas segala perbedaan demi mencapai keluarga yang nyaman, aman, sehat dan sejahtera.