Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang lebih sering dialami oleh istri masih menjadi permasalahan serius yang perlu mendapat perhatian. Komponen dalam rumah tangga, seperti suami yang mestinya menjadi rekan istri dalam mengelola keluarga ternyata malah menjadi pelaku kekerasan. Sedangkan istri kerapkali menjadi korban. Aspek sosial budaya, suami, ekonomi dan aspek individu disinyalir menjadi faktor penyebab KDRT.
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyebutkan bahwa pada tahun 2021, KDRT Ranah Personal sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Dalam konteks ini, bentuk kekerasan yang paling " menyedot " perhatian publik yakni kekerasan fisik 2.025 kasus (31%) yang menempati peringkat pertama disusul kekerasan jenis kelamin sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan kekerasan ekonomi sebanyak 680 kasus (10%).
Aspek sosial budaya
Adanya pandangan yang menyebut bahwa istri sebagai makhluk nomor dua dan suami sebagai pemegang otoritas kekuasaan di tingkat rumah tangga dan publik merupakan penyebab kekerasan. Penulis dapat mengingat dengan jelas, bahwa sejak kecil ada sebagian kecil keluarga di lingkungan tempat tinggal saya yang kerap menanamkan dan memperlihatkan praktik-praktik yang justru " merendahkan " istri dan " mengunggulkan " suami. Jika hal ini tidak disudahi, maka kekerasan akan terus terjadi. Suami akan " kebal " dari kritikan, dan haram dibantah meskipun tindakannya tidak benar.
Suburnya " prinsip " melayani suami dalam keadaan apapun yang sering diperdengarkan di forum-forum pertemuan, ternyata turut serta memperburuk keadaan istri. Jika istri tidak patuh " melayani " permintaan suami, biasanya akan mendapatkan stigma negatif sebagai istri yang tidak berbakti. Akibatnya rentan ada pemaksaan dalam hubungan. Sialnya, praktik-praktik seperti ini sering kali juga mendapat pembenaran dari tafsir-tafsir ajaran agama yang justru semakin merendahkan posisi istri.
Masih segar dalam ingatan penulis ketika masih usia sekolah di SD, ada pelajaran membaca yang memposisikan istri selalu berada di ruang dapur sedang menyiapkan minuman bagi suami yang sedang membaca surat kabar di ruang tamu. Tampak jelas, dalam relasi tersebut posisi suami dilayani, sedangkan istri melayani. Memang, dalam konteks ini contoh tersebut sangat mungkin dipahami tidak sama, namun saya hanya ingin menegaskan bahwa jika hanya sekedar membuat minum semua orang pasti bisa tidak harus istri. Bagi penulis, urusan peran rumah tangga  bukanlah urusan kodrati yang memang tidak dapat diubah. Penulis pernah mendengar suatu ungkapan yang menyebutkan bahwa kekuasaan seorang istri berada di dapur. Hal ini tentu saja semakin memperburuk istri, karena dianggap tidak perlu terlibat dalam peran wilayah publik, seperti; rapat di desa, rapat perencanaan pembangunan di dusun, suara mereka biasanya hanya diwakilkan atau bahkan terkadang sebagai pelengkap saja.Â
Menurut hemat penulis, jika ada pembatasan hubungan suami istri hanya di wilayah biologis, sampai kapanpun keberadaan istri selalu dianggap inferior dan berada di bawah suami. Setahu penulis bahwa hubungan suami dan istri bukanlah sebagai majikan dan buruh, bukan yang di depan atau di belakang. Namun berdampingan, sederajat dan sejajar dengan mengedepankan prinsip kesalingan; saling membutuhkan, saling melindungi, saling melengkapi, saling berbagi dan saling menyayangi.
Aspek suami
Perlakuan " istimewa " yang sering diperoleh suami juga turut andil dalam menyumbang kekerasan terhadap perempuan. Kita mengenal istilah patriarki untuk menggambarkan bagaimana pengaruh ajaran kewenangan " tanpa batas " yang hanya diterima oleh suami. Meminjam istilah Michael Kaufman, seorang aktivis yang memimpin kampanye " Pita Putih " menyatakan bahwa penyebab terjadinya kekerasan pada perempuan berkaitan dengan tiga faktor yang merupakan cara laki-laki dalam menunjukan kekuasaannya, yaitu kekuasaan patriarki, hak istimewa, dan sikap yang permisif atau memperbolehkan.
Masalah menjadi semakin rumit ketika ada suami yang melakukan KDRT terhadap istri terkadang (masih) dianggap " wajar ", tanpa sangsi sosial, dan tidak diprotes. Tidak sedikit kasus yang terjadi ketika ada orang lain yang berusaha membantu korban malah diteriaki sebagai turut campur terhadap urusan rumah tangga orang lain. Akibatnya, praktik kekerasan semakin tumbuh subur.
Aspek ekonomi
Munculnya paham turun temurun yang menyederhanakan peran dan posisi istri hanya di wilayah rumah tangga serta suami berada di ranah publik, berimbas pada menguatnya pandangan yang menyebut suami sebagai pencari nafkah " utama ". Meskipun bekerja, istri tetap saja hanya disebut sebagai pencari nafkah tambahan dan biasanya upahnya tidak lebih tinggi dari suami.
Di satu sisi istri juga memilki peluang kerja yang sama seperti suami. Namun umumnya dibatasi pada peran yang dianggap sebagai identik istri. Misalnya sebagai penjahit, pemintal benang, perangkai bunga, pekerja rumah tangga, pembersih perabot dan pedagang sayuran serta sekretaris.
Di pihak lain, jika suami belum atau tidak bekerja sebagaimana seharusnya atau memiliki penghasilan yang " tinggi " maka umumnya dianggap lemah, malas dan rentan dirundung oleh sebagian kecil kalangan laki-laki. Di dalam hal ini penulis juga menyadari tidak sedikit suami yang mendapatkan perlakuan tidak adil dalam aspek ekonomi karena dipaksa mengikuti standar turun temurun bahwa suami harus bekerja menghasilkan uang. Informasi dan peluang pekerjaan semestinya menjadi hak setiap orang bukan hanya disematkan kepada laki-laki.Â
Istri rentan dalam aspek ekonomi karena dipaksa mengikuti kaidah " usang " yang menyebut bahwa istri sebagai pengikut laki-laki. Tujuannya agar tergantung atau bahkan dibuat tergantung kepada laki-laki. Istri, lebih sering butuh keberanian luar biasa agar berani " melawan " ketidakadilan karena secara ekonomi belum kuat. Makanya, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa istri kerap kali tidak berdaya jika mengalami kekerasan.
Aspek Individu
Istri dan suami serta unsur rumah tangga lainnya memiliki risiko yang sama sebagai korban atau sebagai pelaku kekerasan. Namun faktanya, istri lebih banyak menjadi korban akibat dari ketimpangan peran yang dijalaninya. Misalnya begini, jika ada perempuan atau laki-laki memilih menikah, lalu merawat, mengasuh dan mendidik anaknya. Hal ini merupakan peristiwa alamiah yang tidak perlu tentang sebagai akibat dari suatu pilihan dan konsekuensi logis. Masalah muncul karena proses alamiah tersebut disematkan sebagai kodrat istri dan diproduksi berulang yang akhirnya menjadi pengetahuan umum.
Istri, cenderung diremehkan perannya hanya pada area dapur, sumur dan kasur. Kondisi ini terkesan memaksa istri untuk " diam " di dalam rumah sebagai penjaga rumah tangga. Di sisi lain, ternyata tidak sedikit suami yang malah menikmati dan membenarkan anggapan tersebut. Ketika istri mencoba menolaknya, akan ada perlawanan dari suami.Â
Mengurangi kekerasan
Kita tidak bisa membiarkan begitu saja terhadap segala bentuk kekerasan. Butuh pelibatan seluruh komponen masyarakat yang dimulai dari individu, organisasi dan masyarakat umum. Saya membayangkan jika seluruh unsur dan para pemangku kepentingan berperan aktif sebagai upaya memerangi segala bentuk kekerasan melalui 2 jalan; struktural dan kultural.
Secara struktural, dapat dimulai dari pemerintahan desa sesuai dengan kewenangannya untuk dapat melakukan peningkatan pengetahuan terhadap warganya tanpa kecuali tentang isu keadilan dan kesetaraan serta masuk dalam anggaran desa agar mendapatkan prioritas pembiayaan. Karena, dalam pengalaman saya ternyata belum banyak pemerintahan desa yang memprioritaskan pembangunan non fisik seperti isu anti kekerasan dalam proses - proses perencanaan pembangunan desa.
Upaya peningkatan pengetahuan kepada warga hendaknya dikelola secara baik. Dijalankan secara terbuka, partisipatif, berkala, terukur dan berkelanjutan. Selanjutnya, pengambil kebijakan bersama warga bisa membentuk kelompok pencegah dan penanganan kekerasan yang melibatkan 3 komponen; perempuan, laki-laki dan kelompok muda sebagaimana saat ini yang terus dilakukan. Dengan begitu, warga akan merasa terpanggil turut serta dalam menangani kekerasan. Mereka akan melakukan penilaian kebutuhan jika ada korban kekerasan, bukan langsung memberikan " bantuan " secara materiil sebagaimana yang kerap dilakukan.
Sedangkan dalam konteks kultural, dapat dimulai dari diri kita sendiri dan keluarga untuk berani memulai perilaku baru yang menerapkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan dalam memperlakukan keluarga. Kita perlu membangun narasi bahwa kedudukan manusia sifatnya setara, hanya jenis kelamin yang membedakannya. Saya percaya jika setiap individu memiliki kemauan yang kuat maka " momok " kekerasan yang selama ini lebih sering menimpa istri dapat dihindari.
Kita juga dapat memproduksi konten kampanye anti kekerasan yang akan disebarluaskan melalui sosial media dan aplikasi perpesanan. Di tingkat ini setiap orang sangat mungkin dapat terlibat menyebarluaskan konten kampanye anti KDRT atau anti kekerasan terhadap perempuan. Secara sederhana kita bisa membagikan kutipan-kutipan yang berisi penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan.
Keberadaan forum dan organisasi di tingkat lokal desa juga bisa dimanfaatkan sebagai media pembelajaran dan pemberdayaan sebagai upaya mengurai, mengurangi dan bahkan menjadi garis terdepan melakukan pencegahan KDRT.Â
Karena, segala bentuk kekerasan yang sifatnya domestik saat ini sudah bukan menjadi rahasia umum sejak lahirnya UU No. 23 tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam penjelasannya undang-undang tersebut hadir sebagai upaya untuk mencegah, melindungi dan menindak pelaku kekerasan. Selain itu segala bentuk kekerasan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan sebagai kejahatan martabat kemanusiaan serta sebagai bentuk diskriminasi.Â
Hadirnya paham, konsep kesetaraan dan keadilan yang sejak lama telah diperjuangkan oleh berbagai kalangan, termasuk perempuan dan laki-laki sebenarnya memiliki cita-cita mulia, yakni agar setiap orang bebas dari segala bentuk kekerasan dan penindasan. Prinsip keadilan gender seperti akses, partisipasi, kontrol dan manfaat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini merupakan hak setiap individu tanpa perlu dilihat jenis kelaminnya. Semoga.Â
Saya ingin menggaris bawahi satu hal bahwa daur kekerasan kekerasan dalam rumah tangga yang kerap berulang dan dialami oleh istri, perlu dilawan agar para pelaku memahami bahwa tindakan KDRT merupakan bentuk lain dari hegemoni dan dominasi laki-laki atas istri. Saya juga memahami bahwa kekerasan dalam rumah tangga boleh jadi akan terus ada, namun sebagai individu kita juga bertanggung jawab untuk mencegahnya. Karena setiap orang memiliki peluang yang sama menjadi korban atau pelaku kekerasan. Hanya saja, peran kita sebagai manusia tidaklah cukup jika hanya menolak segala bentuk kekerasan, namun perlu terlibat aktif untuk mengeliminasinya. Semoga, wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H