Kepada Muhali (Guru agama islam SMAN 7 Mataram) kepada Lalu Wirebakti (Humas dan guru SMAN 7 Mataram), kepada Hanafi (Kepala KCD Ampenan), kepada Sukrian Pembina Pramuka SMAN 7 Mataram), kepada Drs. H. sin (Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Mataram) di perangkat handphone masing-masing 7.
Menimbang, bahwa perbuatan saksi Haji imam Mudawin, Mulhakim S.H. dan saksi a de charge Muhajidin, S.Pd yang aktif memindahkan, mentransfer, mengirimkan dan menyebarkan data elektronik yang merupakan Informasi Elektronik tentang data rekaman digital pembicaraan atau percakapan antara Haji Muslim dan terdakwa tersebut yang ditujukan kepada orang lain, yaitu saksi Dra. Hj. Indah Deporwati, MPd, Muhalim Lalu Wirebakti, Hanafi, Sukrian, dan Drs. H. Isin dapat dikategorikan sebagai perbuatan "mendistribusikan" dan "mentransmisikan" serta "membuat dapat diaksesnya "Informasi Elektronik".
Dalam perjalanan kasus tersebut, jaksa mengajukan kasasi. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan pengadilan negeri Mataram setelah sebelumnya menyatakan BNM bebas. Putusan MA menyebut jika BNM dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana UU ITE dengan ancaman pidana enam bulan dan denda lima ratus juta rupiah. Jika denda tersebut tidak dibayarkan makan akan diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Bisakah anda bayangkan seorang korban pelecehan seksual malah dikurung dan di denda gegara merekam pembicaraan konten melecehkan harga diri perempuan? Kiranya nalar sehat sangat sulit mencernanya.
Alasan MA memutus BNM bersalah karena dianggap telah melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE menyebarluaskan informasi elektronik yang mengandung muatan asusila. Memang, pada akhirnya BNM menyatakan berniat mengajukan peninjauan kembali atas putusan kasasi MA dengan nomor 574/Pid.Sus/2018 yang memvonis BNM bersalah atas perekaman konten yang BNM lakukan. Â Dalam beberapa kesempatan BNM menegaskan bahwa sebenarnya dirinyalah korban pelecehan seksual tersebut. Oleh karenya BNM meminta hukumannya diringankan dan berharap tidak dipenjara.
Kasus ini akhirnya mendapat perhatian publik dan mengundang empati dari pelbagai kalangan; aktivis gender, akademisi, penggiat anti kekerasan seksual, organisasi, LSM dan individu-individu yang memiliki kepedulian terhadap kasus ini. Bahkan BNM secara khusus meminta keadilan kepada Presiden Joko Widodo. "Saya tidak bersalah. Saya minta keadilan yang seadil-adilnya," kata BNM, sebagaimana dikutip dari laman https://nasional.kompas.com/read/2018/11/15/16065251/penjelasan-ma-soal-putusan-kasasi-kasus-baiq-nuril-maknun.
Dalam konteks ini saya ingin menyampaikan jika para korban pelecehan seksual biasanya cenderung "DIAM" dan mendapatkan perlawan sedemikian rupa oleh para pelakunya. Dari beberapa pengalaman yang saya ketahui, korban pelecehan seksual ternyata harus berjuang sendiri melawan ketidakadilan. Sudah menjadi korban, terstigma, mendapatkan perlakuan diskriminatif serta dirundung oleh lingkungan sekitarnya karena melaporkan peristiwa yang di alaminya. Untuk mencegah dan meminimalisir kejadian serupa para korban pelecehan seksual seharusnya mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya oleh negara karena berani mengungkapnya. Selain itu, para korban pelecehan semestinya mendapatkan perlindungan dari negara agar terhindar dari segala macam bentuk ancaman yang sangat mungkin dilakukan oleh pelaku dan orang-orang yang se-kubu dengan pelaku. Semoga kasus ini tidak menyurutkan keberanian perempuan memperjuangkan hak dan keadilan. Wallohu a'lam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H