Pondok Pesantren
Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an. Dalam Bahasa Jawa kata “santri” berarti murid. Sedangkan istilah pondok berasal dari bahasa Arab, funduuq (فندوق) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut dayah.
Biasanya, pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Dalam mengatur kehidupan di pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior yang disebuh lurah pondok untuk mengurus adik-adik kelasnya.
Tujuan para santri dipisahkan dari orangtua dan keluarga mereka adalah agar dapat belajar hidup mandiri dan meningkatkan hubungan dengan Allah ﷻ dan dengan kyai mereka.
Lingkungan dan Kegiatan Pondok Pesantren
Pesantren adalah suatu bentuk lingkungan “masyarakat” yang unik dan memiliki tata nilai kehidupan yang positif. Pada umumnya, Pesantren terpisah dari kehidupan sekitarnya.
Komplek pesantren minimal terdiri atas rumah kediaman pengasuh (Kiayi), masjid atau mushola, dan asrama santri. Tidak ada model atau patokan tertentu dalam pembangunan fisik Pesantren. Sehingga, penambahan bangunan demi bangunan dalam lingkungan Pesantren hanya mengambil bentuk improvisasi sekenanya belaka.
Pondok Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pendidikan ini pada awalnya merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam pada abad ke-13.
Proses pendidikan dalam pesantren sendiri terfokus pada pengkajian Al-Qur’an, Kitab-kitab kuning atau sebagian masyarakat menyebutnya kitab gundul pesantren yang memakai metode tersebut biasanya dinamakan pesantren salaf.
Lalu ada pesantren yang menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu umum biasanya disebut pesantren modern
Upaya Santri Untuk Mencintai Pancasila
Para ulama Indonesia mengajarkan tentang nasionalisme dan menekankan pentingnya persatuan bangsa kepada murid-muridnya, baik melalui jalur formal maupun non-formal. Para santri diajarkan tentang bagaimana mencintai tanah air, mengharmonikan antara agama dan negara yang didasari dengan satu dasar, yaitu Pancasila. Sehingga, nilai-nilai Pancasila seakan sudah melekat dalam keseharian para santri hingga hari ini.
Sila Pertama
Pesantren merupakan lembaga Islam yang mengedepankan sikap (adab). Sikap kepada Allah; dan sikap kepada sesama makhluk. Sikap vertikal kepada Allah merupakan cerminan bahwa pesantren merupakan lembaga yang berketuhanan dan hidup dengan Tuhan, tidak sekuler. Dan yang dituhankan adalah Tuhan, bukan manusia.
Pesantren selalu berusaha melawan ideologi-ideologi yang tidak sesuai dengan Islam dan Indonesia. Ideologi sekulerisme, materialisme, komunisme, dsb. tidak layak diterapkan di Indonesia yang berasaskan negara berketuhanan. Sehingga, orientasi kehidupannya adalah untuk Tuhan, bukan untuk manusia atau dunia.
Sila Kedua
Di pesantren, pendidikan diberikan secara adil kepada seluruh santri. Semua santri sama di mata hukum. Anak petani, guru, pedagang, dosen, rektor, dan bahkan anak kiai pesantren itu sendiri, jika melanggar syari’at, maka akan dipulangkan. Pesantren Tidak mengenal kasta dan tingkatan yang bersifat keduniaan. Karena dalam Islam, orang yang paling baik adalah orang yang bertaqwa.
Proses untuk menjadi orang yang bertaqwa harus dilalui dengan menjadi orang yang beradab. Beradab kepada Allah (menyembah, tidak menyekutukanNya), dan beradab kepada sesama makhluk. Ketika seseorang hanya beradab kepada Allah, maka belum dianggap sempurna tugasnya sebagai khalifah fil ardl.
Sebaliknya, jika hanya beradab kepada sesama makhluk, dan tidak beradab kepada Allah, maka -dalam kacamata Islam- ia termasuk orang yang merugi di akhiat, faqod khosiro khusronan mubina. Dan dari kacamata negara, ia termasuk yang munafiq. Mengaku Indonesia, namun tak mengamalkan pancasila.
Kaitannya dengan adab, KH. Hasyim Asy’ari telah menasihatkan kepada kita dalam kitabnya Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim, “Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakikatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.”
Sila Ketiga
Keberagaman pesantren merupakan cerminan atau miniatur Indonesia. Santri-santri datang dari berbagai daerah dari sabang sampai merauke, dan bahkan dari luar negeri.
Salah satu wujud usaha memersatukan bangsa ala pesantren adalah dengan melarang santri suatu daerah tertentu tinggal dalam satu kamar, satu kelas, atau kelompok mengaji. Dalam satu kamar atau satu kelas harus diisi oleh santri dari berbagai daerah.
Bergaulnya pun tidak dianjurkan dengan teman satu daerah, namun harus menyeluruh. Sehingga teman di kelas, tidak sama dengan teman di kamar, pun tidak sama dengan kelompok mengaji, kelompok latihan pidato, kelompok latihan pramuka, dll.
Dengan cara itulah para santri ditekan untuk menekan egoisme kedaerahan, dan belajar menerima keadaan orang lain, toleransi, dan adaptasi. Sehingga, lulusan pesantren tidak asing dan tidak canggung dalam bermu’amalah dengan orang batak, orang madura, bugis, jawa, asmat, betawi, dayak, gayo, dsb. Ketika terjun di masyarakat kelak.
Sila keempat
Secara kepemilikan, pesantren terbagi menjadi dua macam, pesantren keluarga; dan pesantren wakaf untuk umat Islam. Pesantren keluarga merupakan pesantren yang kiai dipilih secara turun-temurun. Sedangkan pesantren wakaf, kiai dipilih oleh sejenis badan pemusyawaratan Kiai.
Dalam tradisi pesantren, masih dikenal istilah hirarki suara, yakni hirarki suara yang berdasarkan tingkat spiritual dan keilmuan. Suara seorang santri tidak bisa disamakan dengan suara kiai, suara santri tahun pertama berbeda dengan suara santri tahun keenam yang sudah mengemban amanah sebagai pengurus, Perbedaan ini bukan karena kiai dan pengurus lebih kaya atau memilliki jabatan, namun karena santri sadar bahwa kiai lebih memiliki kedalam spiritual dan keilmuan.
Demikian juga dalam Indonesia, suara orang yang memiliki kapabilitas, tahu informasi, faham sistem kenegaraan dan hubungan internasional, tidak bisa disamakan suaranya satu banding satu dengan orang yang tidak berilmu, tidak pernah mendengar informasi, dan tidak faham pemerintahan negara.
Oleh karena itu, santri tidak dilibatkan dalam menentukan ketua-ketua bidang dalam pesantren, karena belum memiliki kapabilitas dan belum mengetahui apa yang dibutuhkan pesantren. Lantas siapa yang memilih? Yang memilih adalah majelis permusyawaratan pesantren atau yayasan.
Sila kelima
Tugas utama seorang santri adalah belajar dan beribadah. Maka setiap santri mendapat hak dan kewajiban yang dalam hal tersebut. Tidak dibenarkan anak kiai bertindak semena-mena terhadap santri-santri yang ia anggap ‘numpang’ belajar di pesantren ayahnya.
Jatah makan yang diberikan pesantren kepada santri-santri ataupun anak kyai tetap sama. Lauknya pun sama, tempat tidurnya sama, ruang belajarnya sama, ilmu yang diberikan juga sama. Bahkan tak jarang, justru terkadang seorang kiai lebih ‘keras’ terhadap anaknya daripada kepada santri-santrinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H