Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 22 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. Hingga kini, dari 45 anggota DPRD Kota Malang, sebanyak 41 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Lembaga antirasuah itu sebelumnya telah terlebih dahulu menetapkan 19 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka. Dengan demikian, hanya tersisa empat anggota di DPRD Kota Malang, Jawa Timur.
"Hingga saat ini dari total 45 anggotaDPRD Kota Malang, sudah ada 41 anggota yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan, Senin (3/9/2018).
KPK menduga 22 tersangka itu menerima fee masing-masing Rp 12,5 juta hingga Rp 50 juta dari Wali Kota nonaktif Malang Moch Anton. Uang itu disinyalir terkait persetujuan penetapan RAPBD-P Malang tahun 2015.
4/9/2018 (www.liputan6.com)
Dasar Hukum Pemberantasan Korupsi
Begitu merebaknya korupsi, maka Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa ketentuan untuk mencegah dan memberantas korupsi. Dasar hukum pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah:
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
2. UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;Â
4. Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi;
5. Peraturan Presiden  Nomor 55 tahun 2012 tentang Strategi Nasional (stranas) Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang 2012-2025 dan Jangka  Menengah 2012-2014.
Dalam pasal 5 UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN diatur antara lain bahwa setiap penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, setiap aparatur Negara tidak boleh melakukan korupsi. 11/4/2013 (bppk.kemenkeu.go.id)
Meski dengan berbagai langkah upaya untuk pencegahan korupsi di lakukan, tapi nyatanya korupsi masih tetap marak. Ada banyak faktor kenapa pemberantasan korupsi masih juga belum efektif. Diantaranya adalah:
- Sistem sekuler dengan akidah pemisahan agama dari negara dan kehidupan menyebabkan nilai-nilai ketakwaan hilang dari politik dan pemerintahan. Tidak ada pada diri para politisi dan pejabat kesadaran senantiasa diawasi oleh Allah.
- Sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi dan pejabat yang mustahil bisa tertutupi dari gaji dan tunjangan selama menjabat.
- Sistem hukum berbelit untuk untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Dan sanksi koruptor yang ringan yang tidak membuat efek jera.
Pemberantasan korupsi secara efektif sulit kalau masih bergantung kepada sistem yang ada yaitu demokrasi-sekuler. Praktek korupsi hanya bisa di berantas dengan sistem hukum syariah.
Dalam syariah jelas harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan dan sebagainya sekalipun di sebut hadiah yang melebihi kewajaran yang tidak bisa di buktikan diperoleh secara legal, semua itu termasuk harta ghulul (korupsi).
Untuk para pelaku korupsi, Islam memberikan sanksi yang bisa memberikan efek cegah dan jera. Kadar sanksi atas tindak korupsi diserahkan kepada ijtihad khalifah atau qadhi (hakim), bisa di sita, di ekspos, penjara, hingga hukuman mati dengan mempertimbangkan dampak, kerugian bagi negara dan dhararnya bagi masyarakat.
Maka dengan sistem pemberantasan korupsi menurut syariah Islam, niscaya pemberantasan korupsi akan bisa diwujudkan.
Wallahu a'lam bi ash-shawab
Cucu Suwarsih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H