Saat naik motor sendirian, kebetulan bertemu orang yang sedang jalan kaki, biasanya ia tawari untuk ia antarkan gratis ke tempat tujuan. Tanpa meminta bayaran. Terkadang ada yang ternyata tujuannya ke pasar tradisional yang lumayan jauh, bukan ke arah yang sekalian ia lewat.
Alhasil, saat ia sakit, banyak yang menjenguk.
Sudah Seperti Orang Tua Sendiri
Saat melihat kondisi si tetangga, saya berpikir, ini mah tidak lama juga pulang ke rumah. Biar kami nanti puas-puas menjenguk di rumah.
Dan, benar, beberapa hari kemudian beliau sudah boleh pulang ke rumah.
Nah, saat ia sudah pulang ke rumah, saya tidak cepat-cepat menjenguk. Pasalnya, selama beberapa hari sepulang dari rumah sakit, hampir sepanjang waktu ada saja orang yang menjenguk. Ramai.
Kami berpikir, ah gampang lah, cuma lima langkah dari rumah, kami jenguknya nanti saja setelah kondisi agak sepi.
Apalagi beberapa hari kemudian suami saya bertugas ke luar kota, anak-anak juga sibuk sekolah. Saya berpikir nanti saja menjenguknya bareng-satu keluarga, sambil menunggu tidak terlalu banyak yang menjenguk.
Apalagi si tetangga dan istrinya ini dulu sempat menjadi sosok orang tua kedua untuk anak saya, sosok kakek dan nenek mungkin lebih tepatnya.
Anak (anak) saya sering dititipkan di sana. Bahkan menginap, baik hanya hitungan hari, hingga hitungan minggu.
Saat ada urusan pekerjaan yang mengharuskan saya pergi ke luar kota, saya lebih percaya menitipkan anak-anak saya ke si tetangga itu, dibanding tinggal dengan ayahnya.