Beberapa waktu lalu, teman saya sempat galau. Masalahnya, sang ayah meminta izin untuk menikah lagi. Alasannya, si ayah merasa kesepian tinggal di rumah sendirian. Tidak ada teman berbagi.Â
Sang istri sudah meninggal beberapa tahun lalu, anak-anak sudah besar. Semua sudah berumah tangga dan tinggal di rumah terpisah.
Teman saya mengatakan, ia keberatan ayahnya menikah lagi. Meski memiliki penghasilan sendiri dari uang pensiun, sang ayah sudah tergolong sepuh. Sudah memasuki usia pensiun.Â
Ia ingin ayahnya menikmati masa tua dengan menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak dan cucu, bukan membentuk keluarga baru yang berpotensi mengundang konflik baru.
Anak Beda dengan Pasangan
Saat orangtua menjadi single parent karena bercerai atau pasangan meninggal, anak-anak yang sudah dewasa umumnya enggan sang ibu atau ayah menikah lagi. Apalagi bila ibu atau ayah sudah tergolong sepuh. Mereka maunya sang ibu atau ayah menghabiskan masa tua bersama mereka.
Bila merasa kesepian di rumah sendirian karena semua anak sudah menikah dan tinggal di rumah masing-masing, sang ibu atau ayah bisa menginap bergiliran di rumah sang anak. Bermain dan menghabiskan waktu dengan cucu tercinta. Pindah dari rumah satu anak ke rumah anak lain secara bergantian.
Namun, anak-cucu dengan pasangan itu berbeda lho. Perannya berbeda. Saya pernah mengobrol dengan beberapa orangtua tunggal yang ingin menikah lagi.Â
Mereka bilang, seterbuka apapun komunikasi dengan anak, tidak akan seterbuka dengan pasangan. Ada hal-hal yang tidak bisa diungkapkan ke anak.
Selain itu, anak dan orangtua berbeda generasi. Ada hal-hal tertentu yang tidak akan dipahami oleh anak. Walaupun statusnya sudah sama-sama menjadi orangtua. Anak, apalagi sudah berumah tangga, umumnya juga sudah memiliki prioritas sendiri. Selain pekerjaan, ada istri/suami dan anak-anak mereka.
Jadi, menurut saya, kalau ibu atau ayah kita ingin menikah lagi, lebih baik diizinkan. Biarkan beliau menikmati masa tuanya dengan pasangan baru.Â
Namun, untuk menghindari konflik ke depannya, sebelum mereka menikah, cek lebih dulu latar belakang calon ayah atau ibu (sambung) kita tersebut.
Jangan Suami Orang
Beberapa waktu lalu ada salah satu kerabat yang ingin menikah lagi. Anak-anaknya awalnya mengizinkan. Mereka tahu, tidak bisa sepanjang waktu menghabiskan waktu dengan sang ibu. Namun, setelah dicek ternyata calon suaminya masih suami orang. Alhasil, pernikahan tersebut batal.
Si ibu beralasan, ia mau menikah dengan pria tersebut karena istrinya mengizinkan ia menikah dengan suaminya. Apalagi ia tidak menuntut apapun. Ia memiliki penghasilan sendiri.
Ia ingin menikah lagi karena merasa kesepian, ingin berbagi cerita dan keluh-kesah sepanjang waktu dengan seseorang. Kebetulan pria yang akan ia nikahi tersebut adalah teman lamanya yang sudah lama tidak bersua.
Menurut saya, keputusan dari anak-anaknya sudah betul. Meski istri dari pria tersebut mengizinkan, pasti ke depan akan ada masalah. Nikah dengan pria single saja ada masalah, apalagi ini pria beristri yang sudah memiliki banyak anak. Belum lagi omongan dari keluarga dan tetangga.
Cap "pelakor" bisa langsung tersemat. Apalagi si ibu itu juga dulu bercerai dengan sang suami karena suaminya menikah lagi dengan perempuan lain. Masa dulu bercerai karena tidak mau "dimadu", sekarang malah menjadi "madu"?
Cari yang Tulus
Ada orang yang mau menikahi janda/duda sepuh karena cinta, tetapi tidak sedikit juga karena embel-embel lain. Gold digger. Tergiur dengan uang pensiun misalnya, atau harta dari duda/janda tersebut.
Dulu ada saudara yang seperti ini. Ia ditinggalkan sang istri saat sudah sepuh. Istrinya meninggal. Ia seorang pensiunan PNS dengan harta yang lumayan. Tidak memliki anak pula.Â
Alhasil, banyak yang ingin menjadi istrinya, bahkan perempuan-perempuan yang secara usia lebih cocok menjadi anaknya.
Beberapa lama setelah istrinya meninggal, keluarga saya sempat menawarkan untuk mencarikan ia istri baru. Kami berencana mencarikan istri yang benar-benar baik dan tulus. Namun, ia menolak. Alasannya tidak berniat menikah lagi.
Tak berapa lama ternyata ia menikah lagi dengan janda yang terkenal matre dan suka morotin. Meski sudah sepuh juga, janda tersebut memang masih terlihat cantik dan menarik.
Awalnya keluarga mereka terlihat baik-baik saja. Tidak berapa lama harga-benda saudara saya itu mulai dijual, termasuk rumah yang ditempati. Mereka juga meminjam uang ke bank dan dibayar dengan cara mencicil dengan uang pensiunan. Setelah itu, mereka pindah ke kampung sang istri.
Alasannya mau membuat rumah dan usaha di sana. Namun, ternyata uang-uang tersebut habis begitu saja. Tidak ada rumah, sawah, kebun, ataupun usaha lainnya.
Saat sudah tidak memiliki apa-apa lagi, saudara saya itu ditelantarkan. Sakit pun tidak dibawa ke dokter, apalagi rumah sakit, hingga akhirnya meninggal.
Saat kebetulan kami berkunjung dan ia sedang sakit, kami biasanya memaksa ia dibawa ke rumah sakit. Kami rawat hingga sembuh, setelah sembuh dikembalikan lagi ke istrinya karena saudara saya itu yang minta.
Namun, kampung istrinya itu lumayan jauh dari keluarga kami, jadi tidak setiap waktu bisa ke sana. Sebelum ia meninggal, kami sempat meminta ia tinggal bersama salah satu dari kami, tetapi saudara saya itu menolak. Mungkin tidak enak hati. Apalagi kami saudara dari pihak almarhumah istrinya, bukan saudaranya secara langsung.
Akibat kejadian ini, nenek saya dulu selalu berdoa, biar kakek saya yang meninggal duluan, jangan nenek saya. Takut kakek saya menikah lagi dan terulang kejadian seperti itu hehe. Tak terbayang katanya, kakek saya menderita di akhir hidupnya gara-gara salah pilih istri baru.
Cari yang Sudah Tidak Ada Tanggungan
Dulu saat ibu saya meninggal, saya bilang ke ayah saya, saya izinkan beliau menikah lagi. Namun, agar tetap bisa menikmati hari tua, sebaiknya menikah dengan seseorang yang sudah tidak memiliki tanggungan. Anak-anaknya sudah selesai sekolah/kuliah, kalau bisa bahkan sudah menikah dan hidup mandiri.
Bukan apa-apa, kalau kita menikah dengan seseorang berarti sudah siap berbagi suka dan duka. Kalau istri/suami (baru) kita memiliki anak yang masih sekolah, otomatis harus mau berbagi beban. Kalau mau menikahi ibunya/ayahnya, harus juga mau mengurusi anak-anaknya.
Jangan sampai di hari tua malah dipusingkan dengan biaya ini dan itu. Kalau masih muda dan memiliki penghasilan yang cukup mungkin tidak masalah. Khawatirnya, badan sudah ringkih, penghasilan tidak seberapa, masih harus menghasilkan uang banyak untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Namun, jodoh memang tidak ada yang tahu. Terkadang datang begitu saja.
***
Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H