Selain pakaian anak, perempuan yang sudah menikah --jago memasak, ataupun tidak, umumnya kerap tergoda untuk membeli aneka macam makanan. Tak hanya makanan  yang sudah siap santap yang wara wiri di aplikasi pesan-antar, tetapi juga yang masih berbentuk bahan makanan.
Saya termasuk salah satu dari para perempuan itu. Setiap kali melihat sayuran yang hijau segar di pasar, langsung masuk keranjang belanja, saat melihat tahu bertumpuk-tumpuk langsung bungkus, kala melihat sotong berukuran besar yang dijejer rapi, tak tahan untuk tidak membeli.
Begitu pula sewaktu melihat deretan makanan beku, tak "kuat iman" untuk tidak mencoba. Alasannya, untuk persediaan sewaktu malas memasak. Padahal di kantung belanja sudah ada satu ekor ayam, satu kilo daging sapi, udang hingga beberapa potong ikan tongkol.
Tiba waktu memasak, saya bukan mengolah lauk segar yang sudah dibeli, tetapi menggoreng makanan beku. Alasannya, lebih praktis. Usai memasak hanya perlu mencuci satu penggorengan. Kalau memasak sotong, harus mencuci wadah bekas menyiangi sotong, harus mencuci pisau atau gunting, harus mencuci talenan, mencuci penggorengan, belum lagi tangan menjadi bau amis.
Alasan lain, makanan beku lebih enak dibanding masakan yang saya buat sendiri, apalagi beberapa produk makanan beku dari negeri tetangga. Daripada memakan sotong tepung goreng masakan sendiri yang kerap alot seperti sandal jepit, mending memakan fish roll atau fish cake made in Singapura yang sudah pasti lezat.
Saat makanan beku sudah habis, rasa malas semakin intens menyerang. Lama tidak memasak dari bahan makanan segar, semakin enggan untuk memasak. Alhasil, lauk segar yang dibeli di pasar semakin terlupakan, teronggok di freezer hingga dilapisi bunga es.
Kini beralih membeli makanan siap santap. Buka-pilih-pesan makanan via Go Food atau Grab Food. Apalagi ada banyak promo harga dan ongkir, ada banyak makanan lezat yang ditawarkan. Terkadang melipir sebentar ke warung makan dekat rumah. Membeli aneka masakan untuk disantap.
Saat sadar uang belanja bulanan semakin menipis, baru teringat lauk segar yang dibeli di pasar. Akhirnya, karena melihat uang belanja yang tidak lagi memadai, terpaksa mengolah lauk segar itu.
Namun, karena sudah nyaris seminggu diendapkan begitu saja, Daging sotong yang tadinya kenyal, saat dikeluarkan dari kulkas, disiangi, dan dicuci air bersih, sudah meletot. Terkadang malah mengeluarkan bau amis khas. Tanda sotong tersebut tak lagi (begitu) segar.
Begitu juga dengan udang. Terlalu lama disimpan didalam kulkas, daging udang tidak lagi kenyal. Saat tidak lagi beku dan dicuci dengan air yang mengalir, daging udang itu perlahan mengelupas. Dagingnya memisahkan diri membentuk serpihan kecil. Ada bau amis juga yang menguar.
Tahu dan sayuran sudah jelas-jelas tak lagi bisa dikonsumsi. Kangkung yang tadinya hijau montok, daunnya berubah warna kekuningan, batangnya juga mengeriput. Layu. Tahu, saat diusap, seperti ada lendir. Licin. Selain itu, mengeluarkan bau tak enak bila didekatkan ke hidung.
Hanya Ikan, daging ayam dan daging sapi yang masih bisa diolah secara normal. Udang dan sotong harus diakali sedemikian rupa agar dapat diolah dengan rasa maksimal. Terkadang sotong dan udang dengan berat hari harus dibuang ke tempat sampah. Begitu pula dengan sayuran dan tahu.
Sedih. Sebal sama diri sendiri karena terlalu rakus berbelanja. Terlewat kalap, seolah besok tidak ada lagi kesempatan untuk membeli segala macam (bahan) makanan. Rasa itu biasanya semakin menjadi-jadi saat melihat dompet dan saldo tabungan.
Semakin "tipis" uang yang tertera, semakin rasa gusar berlipat-lipat. Bukan apa, akibat berbelanja yang tidak terkontrol. Akhirnya harus mengorbankan dana yang sebelumnya ditujukan untuk pengeluaran lain.
Saat Ramadan, kekalapan berbelanja (bahan) makanan biasanya semakin menjadi. Lihat (makanan) apa saja dibeli. Meja penuh oleh aneka takjil dan makanan berat untuk berbuka puasa. Terkadang, saking bernafsunya belanja, suka diniatkan sekalian untuk persediaan makan sahur.
Namun, kita lupa, ada banyak makanan yang berubah rasa saat dihangatkan kembali. Beberapa makanan bahkan memang ada yang tidak kuat untuk "diinapkan". Entah, cara memasaknya yang kurang tepat, atau memang jenis makanannya yang harus sekali habis usai dimasak. Alhasil, sisa makanan itu dibuang. Uang kembali melayang.
Kita pun menjadi golongan mubazir. Padahal kita berpuasa untuk menahan hawa nafsu, untuk berempati --merasakan bagaimana rasanya haus dan lapar, tetapi menjelang berbuka puasa, nafsu kembali diumbar, tujuan puasa seolah terlupakan begitu saja. Makan dan minum yang seharusnya dibatasi, malah tak terkendali.
Beli (Bahan) Makanan Seperlunya
Kata "sekalian" menjadi momok, menjadi alasan untuk berbelanja melebihi kebutuhan. Saya sekarang, saat berbelanja bahan pangan di pasar, tidak lagi suka-suka. Biasanya saya membuat daftar khusus, selama seminggu mau memasak apa. Nanti saya list apa saja lauk yang akan dibeli, sayuran, dan makanan tambahan, seperti tempe, tahu atau kentang. Sekalian bumbu yang dibutuhkan.
Untuk bumbu dapur dan sayuran, saya biasanya berbelanja lebih sedikit dari yang diperlukan. Saat tergoda untuk berbelanja lebih banyak, saya akan bilang ke diri sendiri, saya bisa membeli kekurangan sayuran dan bumbu dapur di warung dekat rumah. Dan nyatanya, hingga saya kembali ke pasar satu minggu kemudian, saya tidak memerlukan bumbu dan sayuran tambahan. Sayuran dan bumbu dapur yang saya beli ternyata cukup-cukup saja.
Untuk lauk saya biasanya membeli sesuai kebutuhan. Berbelanja lauk di warung dekat rumah terkadang harus berebutan dengan ibu-ibu lain. Belum lagi belanjanya juga harus sangat pagi. Pukul 07.00 harus sudah mulai berkompetisi memilih lauk, lewat sedikit, hanya tinggal tersisa sayuran dan bumbu dapur. Paling ikan yang jenisnya tidak terlalu saya suka.
Namun agar lauk hasil berbelanja dari pasar tidak mubazir, kita harus pintar memilah mana yang harus dimasak terlebih dahulu, mana yang bisa belakangan. Sotong dan udang harus dimasak lebih dulu. Maksimal dibekukan tiga hari, lewat dari itu dagingnya sudah tidak begitu segar.
Begitu juga dengan sayuran. Jangan membeli kangkung dan bayam untuk menu sayur selama satu minggu. Meski sudah dibungkus koran, tetap saja kesegarannya berbeda. Padukan dengan sayuran lain yang lebih tahan lama, ketimun misalnya, brokoli, atau kacang panjang.
Sayuran yang lebih rentan layu harus dimasak terlebih dahulu. Jangan terbalik. Selain itu, bila kita tahu tidak akan cukup banyak waktu untuk menyiangi kangkung dan bayam, jangan membeli kedua sayuran itu. Mending beli sayuran lain yang tidak terlalu ribet saat akan dimasak.
Dulu saya sering soalnya tergoda membeli kangkung karena terlihat segar, tetapi setelah dibeli ternyata malas menyiangi. Apalagi saat harus buru-buru memasak. Alhasil kangkung teronggok di kulkas dan akhirnya layu dan menguning. Tak layak lagi dikonsumsi. Akhirnya dibuang.
Bagi yang tidak terlalu hobi memasak, bila ke pasar setiap satu minggu sekali, jangan membeli kebutuhan memasak untuk satu minggu. Beli saja untuk kebutuhan lima hari. Percaya deh, meskipun sedang pandemi corona seperti saat ini, selalu saja ada alasan untuk membeli makanan yang sudah siap santap.
Bagi yang tidak hobi memasak, mengolah makanan itu sangat menyiksa. Sehingga, perlu rehat sejenak. Alhasil satu-dua hari libur memasak dulu. Atau memasak untuk sarapan dan makan siang, tetapi untuk makan malam membeli. Atau sebaliknya, memasak untuk makan malam, makan siang dan sarapan beli.
Daripada Menimbun Makanan, Lebih Baik Menyimpan Uangnya
Dulu saya diajari ibu saya. Jangan pernah membeli kebutuhan pokok sekaligus. Lebih baik menyimpan uangnya daripada menimbun barang yang kita butuhkan. Beli seperlunya saja untuk kebutuhan beberapa hari. Jangan untuk satu bulan sekaligus. Bila sudah habis, bisa membeli ulang.
Kita tidak tahu kan apa yang akan terjadi ke depan. Amit-amit sih ya, tapi misalkan sudah membeli satu karung beras yang berukuran besar untuk kebutuhan satu bulan sekaligus, eh rumah kita tiba-tiba terkena bajir lumayan besar. Beras rusak. Tidak lagi bisa dimakan. Atau, tiba-tiba ada tikus atau kecoa masuk rumah, beras terpapar tikus atau kecoa. Jijik kan kalau dimakan lagi.
Kalau membeli secara bertahap kita bisa membeli ulang, bila sudah membeli sekaligus, uang untuk membelinya sudah tidak ada. Kalau kita punya uang simpanan, kalau sama sekali tidak punya bagaimana. Masa harus tidak makan?
Terkait kecendrungan berbelanja kalap juga saya sudah mulai membenahi diri. Sayang uangnya terbuang begitu saja melalui makanan. Mending kalau makanannya termakan dan kita nikmati, ini malah terbuang. Lebih baik uangnya dikumpulkan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat.
Atau untuk disedekahkan, ketahuan kita bisa menambah pahala. Nah, kalau dibelikan makanan terus dibuang-buang, justru kita malah mendapat dosa. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H