Sayang untuk beberapa bangunan ibadah dan fasilitas umum lain sudah banyak yang tidak terawat. Gereja protestan misalkan, sudah tidak lagi terlihat berbentuk gereja. Rumah ibadah tersebut nyaris roboh tergerus cuaca dan pepohonan yang tumbuh liar. Begitu juga dengan bangunan Barrack dan Youth Center.
Saat berkunjung beberapa waktu lalu, saya sempat mencari-cari surau di bekas penampungan para pengungsi tersebut. Sekadar ingin tahu seperti apa bentuk suraunya. Namun, setelah berkeliling-keliling tidak juga bertemu. Entah terlewat, entah sudah tidak ada lagi bangunannya.
Menurut salah satu penjaga pintu masuk Camp Vietnam, tempat pengungsian itu dulu tak hanya dihuni oleh para pengungsi yang beragam Katolik, Kristen, dan Buddha. Namun, ada juga yang beragama Islam.
Pengungsi yang beragam Islam, umumnya pengungsi dari Kamboja. Menurut petugas, Camp Vietnam ini dulu memang tak hanya ditinggali pengungsi dari Vietnam, tetapi juga para pengungsi dari Kamboja. Bedanya, para pengungsi dari Kamboja jumlahnya jauh lebih sedikit.
Selain itu, para pengungsi dari Kamboja tersebut sebelumnya lebih dulu ditampung di Jakarta sekitar satu tahun. Mereka tidak langsung ditempatkan di Pulau Galang. Itu makanya ada beberapa warga Kamboja yang lancar berbahasa Indonesia dan memeluk Agama Islam.
Sukses Dijadikan Tempat Isolasi
Selama ditampung di Vietnam Camp dari tahun 1979 hingga 1995, sekitar 250 pengungsi tidak diberi akses untuk berinteraksi dengan penduduk di luar pengungsian. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pengawasan, penjagaan, dan pengaturan keamanan.
Selain itu juga untuk meminimalisasi penyebaran penyakit Vietnam Rose yang dibawa oleh para pengungsi. Saat itu, bila ada pengungsi yang mencoba melarikan diri, hukumannya adalah penjara.