Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pernikahan dan "Kerikil" dalam Rumah Tangga

4 Juli 2019   11:07 Diperbarui: 4 Juli 2019   18:44 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Unsplash.com/Scott Webb (@scottwebb)

Jelas saja film cinta endingnya romantis, durasinya hanya dua jam. Coba delapan tahun, endingnya pasti miris.

Saat membaca kata-kata tersebut melalui sebuah meme yang dibagikan salah satu teman di media sosial, saya langsung merasa tergelitik. Kok bisa ya kata-kata di meme tersebut begitu pas? Mungkin itu memang curahan hati si pembuat meme hehe.

Memang tidak semua pernikahan berakhir miris. Namun, setiap pernikahan hampir tidak ada yang dijalani dengan suasana yang selalu manis. Pasti ada saja "kerikil" yang menjadi sandungan. Batu sandungan tersebut bisa berasal dari internal suami/istri itu sendiri, bisa juga dari pihak luar.

Friksi dalam pernikahan pasti akan selalu ada. Bedanya mungkin, apakah hanya akan menjadi masalah sepele yang akan berlalu begitu saja, atau justru membesar dan menghancurkan pernikahan yang dibangun.

Saat remaja dulu saya pernah berpikir, bila kita menemukan orang yang tepat, pernikahan yang dijalani pasti akan sangat menyenangkan, bebas dari masalah. Namun ternyata, setiap pernikahan memiliki "air mata" sendiri.

Pasangan Tidak Seperti yang Dibayangkan
Saat Katie Holmes menikah dengan Tom Cruise pada akhir 2006, jujur saya sempat iri. Bukan, bukan karena saya ngefans dengan Tom Cruise. Namun berpikir betapa beruntungnya Katie bisa menikah dengan orang yang ia idolakan sejak remaja dulu. Mimpi yang menjadi nyata.

Namun ternyata menikah dengan superstar yang diidolakan sejak kecil tak menjamin pernikahan menjadi mulus. Tak berapa lama mereka malah bercerai. Mirisnya, meski Katie sempat memasang poster Tom Cruise di plafon kamar selama bertahun-tahun karena begitu cintanya dengan sang idola, justru saat sudah menjadi Nyonya Cruise, ia yang menggugat cerai sang suami.

Rasa kagum dan cinta memang tidak cukup untuk mempertahankan pernikahan. Perlu komitmen. Apalagi mungkin sebagai seorang fans yang menikah dengan sang idola ada ekspektasi lain yang lumayan tinggi. Saat ada hal yang ternyata tidak sesuai harapan, rasa kecewanya mungkin malah lebih besar.

Apalagi rasa cinta dan kagum tidak abadi. Bila tak dipupuk, bisa memudar, akhirnya hilang tak bersisa. Hal yang tersisa hanya rasa jengkel yang terus menumpuk dan akhirnya menjadi bola salju. Menggelinding membuat si pasangan suami istri itu akhirnya memutuskan untuk berpisah karena merasa tidak ada kecocokan lagi.

Berdasarkan beberapa portal berita, Katie Holmes dan Tom Cruise konon berpisah karena agama yang dianut sang (mantan) suami. Bila terus mempertahankan pernikahan tersebut, Katie khawatir kelak akan memberi dampak yang kurang baik pada buah hati mereka, Suri Cruise.

Padahal menurut beberapa artikel, sebelum menikah Katie sudah tahu agama yang dianut Tom. Orangtua Katie bahkan sempat "memboikot" pernikahan mereka karena dilangsungkan dengan upacara keagamaan yang dianut Tom. Namun saat itu, Katie seperti oke-oke saja. Tidak masalah dengan agama yang dipilih Tom.

Menerima hal yang kurang "sreg" di hati, sepertinya kerap menjadi budaya calon pengantin. Saat berpacaran hingga upacara pernikahan berlangsung, kita kerap mengabaikan hal-hal yang tidak kita sukai dari pasangan. Saat itu, hal yang tidak kita sukai itu seolah bukan masalah yang berarti, setelah bertahun-tahun menikah baru dipermasalahkan dan terkadang jadi pemicu pertengkaran, bahkan perceraian.

Seperti kebiasaan merokok misalnya. Saat berpacaran pasti kita sudah tahu apakah (calon) suami/istri kita perokok atau bukan. Bila tidak suka pasangan yang merokok, jangan menikah dengan perokok. Jangan berharap setelah menikah bisa mengubah pasangan hidup kita. Tidak akan. Kalaupun bisa butuh usaha ekstra. Lebih baik sejak awal kita cari pasangan sesuai dengan yang kita inginkan.

Campur Tangan Mertua dan Ipar
Saya punya beberapa teman yang memiliki hubungan cukup harmonis dengan pasangan masing-masing. Meski demikian mereka akhirnya bercerai. Penyebabnya karena campur tangan mertua (beberapa ditambah campur tangan ipar) yang lumayan dominan dalam pernikahan yang mereka bina.

Dulu ada teman saya yang bertengkar hebat dengan sang ibu mertua hanya karena ia tidak suka anaknya diberi empeng. Ia tidak mau membiasakan anaknya mengempeng. Alasannya khawatir memberi dampak buruk untuk gigi, gusi dan psikologis si anak. Namun sang mertua berpikiran lain. Ia merasa semua anaknya diberi empeng, dan tidak ada dampak buruk apapun.

Akhirnya pasangan suami istri yang (awalnya) saling mencintai itu bercerai. Si suami bilang ia tidak bisa menikah dengan perempuan yang tidak sayang dengan ibu kandungnya. Sementara si istri bilang ia bukan tidak sayang dengan ibu dari sang suami. Ia hanya merasa ingin diberi kelonggaran untuk membesarkan sang buah hati dengan caranya sendiri.

Kondisi seperti itu memang serba salah. Perlu sikap besar dari si suami dan istri agar pernikahan tidak terkoyak oleh pihak luar. Apalagi hanya karena suatu hal yang mungkin bagi sebagian orang tidak terlalu krusial.

Namun benar deh, secinta apapun kita dengan suami/istri, ada kalanya kita berada di situasi yang membuat kita menjadi si "sumbu pendek". Rasanya ingin marah, ingin mengakhiri semuanya. Terlebih bila pasangan juga sama-sama terpancing emosi. Itu makanya mungkin ada nasihat jangan mengambil keputusan saat kita sedang marah. Nanti menyesal.

Sebab, terkadang setelah dipikirkan ulang. Sedikit lebih bersabar. Mau memberi jeda agar masalah tersebut sedikit "surut". Terkadang suka merasa malu sendiri. Kok bisa ya waktu itu sebegitu marahnya hanya karena persoalan yang tidak besar. Kok bisa merasa ingin menyerah mengakhiri semuanya.

Persoalan Terkait Si Buah Hati
Ada yang bilang, bila pasangan suami-istri belum dikaruniai anak, biasanya lebih rentan bercerai. Ada benarnya. Tidak sedikit orang yang memutuskan berpisah karena setelah sekian tahun menikah belum juga diberi keturunan. Namun jangan salah, diberi titipan buah hati juga bisa menjadi pemicu pertengkaran, bahkan perceraian.

Salah satu contohnya seperti yang saya ceritakan di atas. Teman saya yang bertengkar dengan sang mertua karena berbeda pendapat terkait pola pengasuhan anak. Ujung-ujungnya teman saya itu juga bertengkar dengan suami karena si suami merasa teman saya itu kurang menghargai sang ibu.

Tanpa ada campur tangan pihak luar pun terkait pola pengasuhan anak terkadang menjadi permasalahan yang cukup besar. Apalagi bila kita dan suami dibesarkan dengan pola asuh yang berbeda. Terlebih bila masing-masing suami/istri merasa pola asuh dari keluarga besarnya merupakan pola asuh yang tebaik.

Di satu sisi terkadang pernikahan itu terasa rumit, tetapi di sisi lain juga terkadang terlihat sederhana. Semua tergantung kita menyikapinya. Meski suami setia, bertanggungjawab, tidak kasar dan tak suka memukul, selalu ada ujian di setiap pernikahan. Bentuknya beragam dan berbeda-beda.

Bagi pasangan lain hal tersebut mungkin adalah berkah, tapi bagi pasangan yang lainnya bisa menjadi musibah. Pikiran setiap orang berbeda-beda, begitu juga dengan sudut pandang. Selain itu, situasi dan kondisi yang dialami setiap pasangan juga cukup berpengaruh menilai sesuatu itu anugrah atau malah menjadi musibah.

Perceraian terkadang tidak bisa dihindari. Namun saat niat itu terbersit dalam hati, coba pikirkan ulang. Coba kita ingat saat jomblo dulu, bagaimana khusyunya berdoa pada Allah SWT agar diberi pendamping hidup. Selama masalah tersebut bukan sesuatu yang prinsipil, coba pikirkan ulang.

Kalaupun kita berpisah dengan pasangan yang sekarang dan menikah lagi dengan orang lain yang saat ini kita nilai lebih baik, bukan tidak mungkin ke depan kita akan menghadapi masalah yang sama. Ujung-ujungnya masa bercerai lagi?

Apalagi seburuk-buruknya sebuah pernikahan pasti ada sisi membahagiakan. Apalagi bila kita menikah dengan pilihan kita sendiri tanpa paksaan. Bila menikah hanya berisi hal buruk, pasti sudah tidak ada lagi orang di dunia ini yang mau menikah. Buktinya, malah semakin banyak yang berdoa agar segera diberi pasangan hidup hehe.

Ini sebenarnya mengingatkan diri saya sendiri. Tidak ada niat untuk menggurui. Apalagi pernikahan saya juga masih seumur jagung. Perjalanan masih jauh dan panjang. Semoga dimudahkan. Aamiin. Salam Kompasiana! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun