Padahal menurut beberapa artikel, sebelum menikah Katie sudah tahu agama yang dianut Tom. Orangtua Katie bahkan sempat "memboikot" pernikahan mereka karena dilangsungkan dengan upacara keagamaan yang dianut Tom. Namun saat itu, Katie seperti oke-oke saja. Tidak masalah dengan agama yang dipilih Tom.
Menerima hal yang kurang "sreg" di hati, sepertinya kerap menjadi budaya calon pengantin. Saat berpacaran hingga upacara pernikahan berlangsung, kita kerap mengabaikan hal-hal yang tidak kita sukai dari pasangan. Saat itu, hal yang tidak kita sukai itu seolah bukan masalah yang berarti, setelah bertahun-tahun menikah baru dipermasalahkan dan terkadang jadi pemicu pertengkaran, bahkan perceraian.
Seperti kebiasaan merokok misalnya. Saat berpacaran pasti kita sudah tahu apakah (calon) suami/istri kita perokok atau bukan. Bila tidak suka pasangan yang merokok, jangan menikah dengan perokok. Jangan berharap setelah menikah bisa mengubah pasangan hidup kita. Tidak akan. Kalaupun bisa butuh usaha ekstra. Lebih baik sejak awal kita cari pasangan sesuai dengan yang kita inginkan.
Campur Tangan Mertua dan Ipar
Saya punya beberapa teman yang memiliki hubungan cukup harmonis dengan pasangan masing-masing. Meski demikian mereka akhirnya bercerai. Penyebabnya karena campur tangan mertua (beberapa ditambah campur tangan ipar) yang lumayan dominan dalam pernikahan yang mereka bina.
Dulu ada teman saya yang bertengkar hebat dengan sang ibu mertua hanya karena ia tidak suka anaknya diberi empeng. Ia tidak mau membiasakan anaknya mengempeng. Alasannya khawatir memberi dampak buruk untuk gigi, gusi dan psikologis si anak. Namun sang mertua berpikiran lain. Ia merasa semua anaknya diberi empeng, dan tidak ada dampak buruk apapun.
Akhirnya pasangan suami istri yang (awalnya) saling mencintai itu bercerai. Si suami bilang ia tidak bisa menikah dengan perempuan yang tidak sayang dengan ibu kandungnya. Sementara si istri bilang ia bukan tidak sayang dengan ibu dari sang suami. Ia hanya merasa ingin diberi kelonggaran untuk membesarkan sang buah hati dengan caranya sendiri.
Kondisi seperti itu memang serba salah. Perlu sikap besar dari si suami dan istri agar pernikahan tidak terkoyak oleh pihak luar. Apalagi hanya karena suatu hal yang mungkin bagi sebagian orang tidak terlalu krusial.
Namun benar deh, secinta apapun kita dengan suami/istri, ada kalanya kita berada di situasi yang membuat kita menjadi si "sumbu pendek". Rasanya ingin marah, ingin mengakhiri semuanya. Terlebih bila pasangan juga sama-sama terpancing emosi. Itu makanya mungkin ada nasihat jangan mengambil keputusan saat kita sedang marah. Nanti menyesal.
Sebab, terkadang setelah dipikirkan ulang. Sedikit lebih bersabar. Mau memberi jeda agar masalah tersebut sedikit "surut". Terkadang suka merasa malu sendiri. Kok bisa ya waktu itu sebegitu marahnya hanya karena persoalan yang tidak besar. Kok bisa merasa ingin menyerah mengakhiri semuanya.
Persoalan Terkait Si Buah Hati
Ada yang bilang, bila pasangan suami-istri belum dikaruniai anak, biasanya lebih rentan bercerai. Ada benarnya. Tidak sedikit orang yang memutuskan berpisah karena setelah sekian tahun menikah belum juga diberi keturunan. Namun jangan salah, diberi titipan buah hati juga bisa menjadi pemicu pertengkaran, bahkan perceraian.
Salah satu contohnya seperti yang saya ceritakan di atas. Teman saya yang bertengkar dengan sang mertua karena berbeda pendapat terkait pola pengasuhan anak. Ujung-ujungnya teman saya itu juga bertengkar dengan suami karena si suami merasa teman saya itu kurang menghargai sang ibu.