Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan, Waspada Empat Modus Kejahatan Finansial Perbankan Ini!

8 Mei 2019   21:08 Diperbarui: 8 Mei 2019   21:10 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadan yang penuh berkah, tak lantas membuat pelaku kejahatan finansial perbankan jengah. Intensitas kejahatan di bulan paling istimewa bagi umat muslim ini, justru berpotensi semakin berlipat dibanding bulan lain. Kebutuhan sandang dan papan yang meningkat di kala Ramadan dan menjelang Hari Raya Idulfitri, membuat nasabah lebih sering melakukan transaksi perbankan.

Nasabah lebih sering bolak-balik ke mesin ATM, buka-tutup aplikasi e-banking, hingga berkali-kali gesek kartu debit /kartu kredit di mesin EDC. Apalagi sejak pertengahan Ramadan, umat muslim biasanya mendapatkan tunjangan hari raya, yang besarannya mencapai satu kali gaji.

Sementara itu, si penjahat juga semakin kreatif mencari kelengahan nasabah. Kini kejahatan tak melulu dilakukan secara langsung, seperti merampok usai nasabah mengambil uang dari ATM/bank, atau mencopet saat nasabah lengah, tetapi juga dilakukan dengan cara yang lebih canggih.

Mengiming-imingi Uang Tunai dengan Jumlah Besar

Ramadan tahun lalu mertua saya nyaris tertipu. Jumat sore menjelang magrib, tiba-tiba beliau ditelepon oleh seorang bapak-bapak. Orang tersebut mengaku dari bagian kepegawaian suatu instansi dimana mertua saya pernah bekerja. Penipu itu bilang mertua saya akan mendapat uang tambahan pensiun. Tambahan uang kadeudeuh sebesar Rp30 juta.

Saat pensiun, mertua saya memang mendapat uang kadeudeuh. Itu makanya mertua saya sempat percaya. Terlebih orang tersebut tahu data-data pribadi dari mertua saya, mulai dari nama lengkap, tanggal lahir, nomor pegawai, masa kerja, hingga nomor rekening bank tempat mertua saya biasa menerima uang pensiun.

Saat orang tersebut meminta sejumlah dana untuk biaya pengurusan uang kadeudeuh tersebut, mertua saya tetap percaya. Mertua bahkan sempat meminta tolong adik ipar untuk mentransfer dana sesuai dengan jumlah yang diminta. Beruntung saat itu adik ipar sedang tidak bisa melakukan transaksi perbankan. Hingga akhirnya, mertua menyadari kalau itu adalah penipuan.

Mertua menyadari kalau itu penipuan karena orang tersebut terus menelepon mertua untuk segera mentransfer dana yang diminta. Orang tersebut bahkan menelepon mertua hingga malam hari. Saat mertua bilang beliau tidak bisa mentransfer sendiri karena tidak memiliki ATM, orang tersebut meminta agar mertua meminta tolong pada orang lain, selain adik ipar. 

Orang itu mengancam bila tidak ditransfer, tambahan uang kadeudeuh itu akan hangus. Belakangan, setelah mertua mengobrol dengan (mantan) rekan sejawat, ternyata tak pernah ada tambahan uang seperti itu.

Penipu memang kerap mengiming-imingi uang dengan jumlah yang menggiurkan untuk mendapatkan keuntungan dari kita. Mereka juga kerap mengancam, bila tidak mentransfer dana hingga waktu tertentu, uang yang seharusnya akan kita dapatkan akan hangus. Dulu pada pertengahan tahun 2000-an saya kerap mendapatkan iming-iming uang seperti itu. Biasanya mereka menelepon secara langsung dengan gaya resmi seolah dari suatu instansi.

Belakangan, mereka tak lagi menelepon, namun mengirim pesan singkat melalui SMS. Mereka terkadang mengaku dari provider, terkadang dari bank, atau instansi lain. Mereka menginformasikan kita mendapatkan uang tunai karena beruntung menjadi salah satu pemenang undian.

Tipuan melalui SMS seperti itu sekarang sepertinya sudah tak lagi mempan. Masyarakat sudah banyak yang pintar. Namun penipuan dengan mengatasnamakan instansi tertentu, terlebih bila disertai dengan data-data pribadi yang valid dan akurat, terkadang memakan korban.

Itu makanya kita jangan mudah percaya. Lakukan cek dan ricek. Tanya langsung kepada instansi yang bersangkutan. Bila instansi tersebut betul akan memberikan reward --seperti kasus mertua saya, pasti juga tidak akan mendadak seperti itu. Kalaupun ada biaya administrasi, tidak harus saat itu juga mentransfer uang. Mereka pasti mengabari jauh-jauh hari. Bahkan mungkin diberi tahu tidak hanya melalui telepon atau SMS, tetapi melalui surat resmi, atau setidaknya e-mail.

Melakukan Skimming

Saya termasuk tipikal orang yang berhati-hati, terutama yang menyangkut uang. Namun nyatanya pada pertengahan 2016 lalu, saya kena juga menjadi korban skimming. Uang saya yang disimpan di suatu bank nasional, ludes, hanya menyisakan dana minimal bank, yang memang tidak bisa ditarik, sebesar Rp100.000. Beruntung setelah melapor kepada pihak bank, uang saya bisa kembali utuh.

Saat tabungan saya dikuras habis, saya tidak menyadari sama sekali. Saya baru tahu saat si petugas bank menelepon sekitar pukul 20.00 WIB, menanyakan apakah Jumat sore tadi saya menarik uang di Italia, Eropa? Jelas saya jawab tidak. Saya sedang duduk santai di rumah, di Batam, Kepulauan Riau, sementara kartu ATM dan buku tabungan tersimpan rapi di laci kamar.

Setelah berkomunikasi dengan pihak bank, petugas mengatakan kemungkinan kartu ATM saya digandakan usai menarik uang di salah satu pusat perkantoran di Batam. Sebelum saya, katanya ada dua orang yang mengalami hal yang sama. Dua orang tersebut juga melakukan transaksi di mesin ATM yang sama.

Saat belum tahu uang saya akan diganti pihak bank, saya sempat lemas. Emosi juga. Saya bahkan sempat menuliskan artikelnya di Kompasiana. Beruntung uang tersebut ternyata masih rezeki saya. Sehingga, bisa tetap digunakan untuk keperluan yang memang sudah saya rencanakan jauh-jauh hari.

Agar kejadian tersebut tidak terulang, sekarang saya lebih berhati-hati. Tidak lagi terlalu sering bolak-balik mengambil uang di mesin ATM. Dulu saya sering kali mengambil uang secukupnya hanya untuk keperluan makan siang. Saking seringnya, saya bisa setiap hari mengambil uang di mesin ATM, tanpa peduli kondisi mesin ATM tersebut.

Ternyata semakin sering mengambil uang di mesin ATM, semakin meningkatkan risiko terkena kejahatan finansial perbankan. Terlebih bila kita teledor, tidak berhati-hati. Asal mengambil uang, tidak peduli kondisi mesin ATM tersebut seperti apa, lingkungan di sekitar bagaimana.

Mesin ATM yang berada di lingkungan yang sepi memiliki potensi tidak aman yang lebih besar. Selain takut setelah mengambil uang tiba-tiba ada yang menyergap, khawatir juga mesin ATM tersebut sudah dipasangi alat untuk skimming. Bila tidak ada petugas keamanan dari bank atau dari venue, jarang didatangi orang, bukan tidak mungkin menjadi target utama penjahat karena lebih leluasa dipasangi alat kan?

Oleh karena itu, sekarang saya lebih memilih mengambil uang di mesin ATM dekat rumah yang ada petugas keamanan. Selain itu, setiap kali memencet nomor PIN, tombol nomor di mesin ATM selalu saya tutupi. Tak hanya itu, saya juga mengganti kartu ATM saya yang tanpa chip, dengan yang disisipi chip agar tidak mudah digandakan.

Begitupula saat bertransaksi di EDC pusat perbelanjaan. Meski saldo tabungan saya tidak banyak, saya lebih memilih untuk berhati-hati. Melihat apakah bertransaksi melaui EDC di pusat perbelanjaan tersebut cukup aman, bila dirasa kurang aman, saya memilih membayar secara tunai.

Mencuri Data dengan Phising

Beberapa tahun lalu, saya pernah tergiur mendapatkan voucher belanja  dari sebuah pusat perbelanjaan ternama. Tak tanggung-tanggung voucher belanja yang ditawarkan mencapai Rp1 juta. Jumlah yang sangat lumayan untuk ukuran ibu rumah tangga seperti saya. Apalagi syaratnya cukup mudah, hanya mengisi data yang ditanyakan melalui sebuah link.

Saya sebenarnya bukan tipikal orang yang mudah tergiur. Saya paling takut meng-klik tautan yang tidak jelas. Namun karena tautan tersebut dibagikan teman lama yang cukup dipercaya melalui media sosial, ditambah tampilan link tersebut sangat mirip dengan situs resmi dari pusat perbelanjaan yang dicatut, saya akhirnya membuka tautan itu dan mengisi data yang ditanyakan.

Saya baru curiga itu penipuan saat data yang ditanyakan terlalu pribadi. Masa hanya untuk mendapatkan voucher belanja kita harus menyebutkan nama ibu kandung, kalau tanggal lahir kita sendiri mungkin masih masuk akal. Pada tautan tersebut juga diminta menuliskan nomor kartu kredit.

Waktu itu saya keluar begitu saja dari tautan, tak menyelesaikan data diri yang diminta. Meski saya tidak menuliskan seluruh data yang diminta, ternyata sebagian data diri yang saya ketik sudah tersimpan. Beberapa hari kemudian, ada bapak-bapak yang menelepon, katanya untuk mengkonfirmasi data yang sudah masuk.

Anehnya, hal pertama yang dikonfirmasi adalah apakah saya memiliki kartu kredit, saat saya bilang tidak, si bapak yang menelpon itu langsung bilang bye dan telepon ditutup. Tentu dengan diksi yang formal seolah-oleh ia perwakilan dari pusat perbelanjaan. Belakangan ada informasi bahwa pusat perbelanjaan tersebut tidak pernah menjalankan program/promosi seperti itu. Katanya tautan tersebut hanya untuk mencuri data, terutama bagi yang memiliki kartu kredit. Seram!

Agar terhindar dari phising memang perlu lebih berhati-hati. Jangan "gatal" meng-klik tautan yang tidak jelas. Jangan gegabah menyebarkan data pribadi. Jangan mudah tergiur mendapatkan hadiah gratis yang tidak jelas. Selain itu, pastikan kita meng-klik situs resmi, lihat lamannya, apakah itu benar-benar situs resmi, atau situs yang dibuat mirip.

Memalsukan Struk Transfer

Salah satu teman ada yang pernah nyaris tertipu dengan modus struk transfer palsu. Ia yang memiliki kost-kostan, tiba-tiba diwhatapps seseorang. Orang itu mengatakan tertarik untuk kost di tempat teman saya. Ia bilang sudah transfer. Teman saya bilang oke, besok tinggal masuk dan ambil kunci.

Beberapa menit kemudian orang itu mengirim pesan kembali sambil melampirkan foto bukti transferan. Ia mengatakan, ia kelebihan mentransfer, seharusnya Rp350 ribu menjadi Rp3,5 juta. Orang itu minta saat itu juga uangnya ditransfer kembali. Beruntung teman saya itu menggunakan e-banking sehingga dapat mengecek dana sudah masuk atau belum tanpa harus repot pergi ke mesin ATM. Ternyata belakangan baru diketahui bila orang tersebut berniat menipu.

Terkait kejahatan dengan bukti transfer palsu, harus cek dan ricek. Jangan buru-buru langsung mengembalikan uang, terlebih bila kita tidak mengenal orang tersebut. Lihat dulu di rekening kita apakah betul ada uang yang masuk dengan jumlah tersebut dari orang tersebut. Jangan panik saat didesak untuk segera transfer balik. Teman saya bahkan dibilang, "jangan jahat dong bu, balikin uang saya." Untungnya teman saya tetap berpikir jernih sehingga terhindar dari penipuan.

Ah, modus kejahatan perbankan sekarang semakin canggih saja. Semoga kita dihindarkan dari segala kejahatan. Aamiin. Salam Kompasiana! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun